Mohon tunggu...
Sri Utami
Sri Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis adalah hobi yang sangat menyenangkan untuk saya. Saya bisa mengekspresikan rasa dalam untaian kata yang berlimpah. Menulis fiksi salah satu keajaiban imajinasi yang Tuhan karuniakan.

Selanjutnya

Tutup

Book

Keunikan Masyarakat dalam Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga

18 Juli 2024   14:52 Diperbarui: 18 Juli 2024   14:55 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga 

Penulis: Erni Aladjai 

Tahun terbit: 2021

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia 

Sinopsis: 

Haniyah dan Ala tinggal di rumah peninggalan nenek buyutnya, rumah itu disebut sebagai rumah teteruga. Ala yang memiliki kecacatan fisik yang terdapat di matanya seringkali diolok oleh teman-temannya dengan sebutan Ala juling. Perundungan yang dialaminya tidak hanya dari teman kelasnya, namun Ibu Guru Hijima seringkali memakinya dengan sebutan juling ketika Ala menjawab soal yang salah. Cerita ini dikisahkan berlatar belakang keadaan Indonesia Timur tahun 1990. Sekolah Ala yang berada di pelosok membuat tenaga pendidik terbatas jumlahnya. Ala seringkali menuliskan jumlah perundungan dari teman maupun gurunya di kayu tempat tidurnya. Perundungan tersebut mencapai 186 kali. Ala yang hidup bersama ibunya yang bernama Haniyah tumbuh dan dibesarkan melalui tradisi lisan atau petuah turun temurun.

Haniyah percaya bahwa Ala memiliki mata juling karena perbuatannya ketika hamil ia tidak sengaja memukul biawak sampai mati. Hingga sekarang, Haniyah sangat mencintai binatang dan makhluk yang ada di sekitarnya. Suatu ketika Ala tidak ingin pergi ke sekolah karena perundungan yang ia jalani selama di sekolah. Melihat putrinya tidak ingin seperti dirinya yang tidak melanjutkan sekolah setelah lulus Sekolah Dasar, Haniyah berharap Ala tidak ingin menjadi petani yang mudah dibodohi oleh pemerintah. Haniyah bergegas ke sekolah dan menegur Ibu guru Hijima sebagai wali kelas. Merasa dipermalukan di depan guru yang lain, Hijima mengunjungi rumah Haniyah dan meminta maaf kepada Ala.

Tidak hanya Ibu guru Hijima, kedua teman yang suka mengolok-olok Ala, yaitu Yolanda dan Siti Amaranti meminta maaf juga kepada Ala dan tidak ingin mengulangi perbuatannya lagi. Haniyah sebagai petani cengkih merasa sangat terpukul ketika putra kelima dari presiden Soeharto menerapkan sebuah aturan kepada para petani cengkih di Indonesia. Mereka harus menjual hasil panen cengkih mereka dengan harga murah. Haniyah dan masyarakat Desa Kon melakukan protes kepada Koperasi Unit Desa (KUD). Namun, para pegawai koperasi tidak menghiraukan protes tersebut dan menyuruh mereka untuk pergi ke kota dan bertemu dengan presiden. 

Novel ini adalah pengantar sejarah yang terjadi pada masa orde baru. Walaupun tidak seutuhnya membicarakan tragedi yang terjadi, namun novel ini mampu membuat kita sebagai pembaca akan tertarik dengan sistem organisasi masyarakatnya. Secara garis besar, novel ini mengisahkan Haniyah dan Ala yang hidup berdampingan dengan perbedaan keyakinan. Perbedaan tersebut tidak menyurutkan mereka untuk tetap saling bekerja sama. Novel ini juga menyajikan beberapa gambaran mitos yang tumbuh subur dalam masyarakat. 

Misalnya, Haniyah seorang ibu yang dibesarkan melalui tradisi lisan dari keluarganya membuatnya seringkali percaya bahwa sesuatu yang terjadi dikaitkan dengan hal-hal yang mistis. Ketika Ala lahir dan memiliki mata yang juling, Haniyah percaya bahwa hal tersebut terjadi karena ia memukul biawak hingga mati. Selain itu, Haniyah trauma jika ada petir atau kilatan yang menyambar, maka ia akan menutupi semua benda-benda yang terbuat dari kaca atau besi yang dapat mendatangkan petir. Masyarakat Desa Kon sangat menghargai gotong-royong. Ketika musim panen tiba, kebun milik Haniyah akan dipenuhi dengan warga yang membantu panen hasil cengkih.  Walaupun novel ini tidak menggambarkan peristiwa yang terjadi di orde baru secara detail, namun novel ini pantas jika dimasukkan ke dalam sastra masuk kurikulum. Bukan hanya masyarakat yang senang bergotong-royong, novel ini menggambarkan juga budaya di Desa Kon. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun