“Pada akhirnya bukan persoalan kalah atau menang.
Namun pergulatan untuk menyempurnakan
martabat masyarakat ras manusia memang abadi…”
SATU
Rasa iseng untuk sekedar coret mencoret ternyata tidak hanya merambahi toilet, meja-kursi di kampus atau dinding-dinding kota yang barusan dilabur putih namun kembali menjadi kanvas grafiti oleh para remaja yang tak bisa tentram bila melihat dinding putih bersih. Rasa iseng akan coret mencoret ini ternyata sudah menginjak pada halaman pertama sebuah buku. Seorang kawan Indonesia yang baru pulang dari study S 2 di Amerika Serikat, menghadiahi kawannya yang keranjingan akan Marxisme dengan sebuah buku klasik berjudul Anti-Duhring, karangan Frederick Engels. Pada lembaran pertama, di samping kiri potret si brewok Engels, di bawah slogan khas bertinta merah Workers of all countries, unite!, si kawan tersebut menuliskan rasa iseng dan sebagai pesan yang barangkali penting untuk disampaikan. Begini bunyi pesannya:
“Sejoli Marx-Engels telah bertahun-tahun berakar di urat-urat syaraf engkau yang selalu meremang menuntut pemberontakan. Keduanya nongkrong di otak kiri-kanan engkau dan berlaku seolah menjadi pemilik sah atas isi batok kepala engkau yang mulai beruban itu. Hai, comrade! Kapan berani bikin merdeka otak engkau dari kolonisasi dua pendekar brewok ini? Atau engkau sudah berniat menjadikan ‘moyangnya berhala’ sampai engkau sendiri mampus! Selamat menjadi Marxis, comrade, semoga mencapai surga proletariat di bumi ini sebelum engkau sendiri ditumpas!”
Coret-coret pada halaman pertama sebuah buku, dengan kalimat sepanjang itu, mungkin khas intelektual Indonesia yang mencintai buku dengan cara demikian. Sudah menjadi risiko negara terbelakang, perkenalan suatu pemikiran lebih banyak lewat buku ketimbang interaksi dengan pemilik gagasan secara langsung. Mungkin saja seorang mahasiswa Indonesia sudah mendengar bila di dunia ini terdapat buku berjudul Anti-Duhring jauh hari ketika di masa-masa awal masuk kuliah. Namun hal ini bukan berarti ia pernah memegang apalagi membaca buku filsafat tersebut. Alat-alat negara tak akan membiarkan buku-buku yang mereka anggap subversib berderet dengan tenang di perpustakaan universitas manapun di Indonesia. Dosen-dosen yang merasa beriman dan terlanjur konservatif juga merasa perlu untuk menyembunyikan dari khasanah sejarah pemikiran. Pemikiran radikal terbukti selalu lebih berbahaya ketimbang kudeta para jenderal yang otaknya terletak pada laras senapan. Dengan demikian, para intelektual domestik Dunia Ketiga akan selalu mengalami keterlambatan akses yang luar biasa, baik karena alasan-alasan politis maupun ekonomis. Bisa dibayangkan, bila benar buku Frederick Engels yang berjudul lengkap Anti-Duhring: Herr Eugen Duhring’s Revolution in Science yang usai ditulis sekitar tahun 1878 itu, baru diterima oleh tangan pertama seorang intelektual Indonesia pada tahun 2001. Terlepas Indonesia mengalami masa brengsek maha gelap sekitar 30-an tahun dalam kungkungan rezim totaliter Suharto yang anti-Marxisme, namun fakta bahwa seorang intelektual Indonesia baru membaca Anti-Duhring pada tahun 2001 merupakan suatu keterlambatan ilmiah yang cukup berbahaya. Betapa tidak, ia dipastikan mendapatkan ilmu pengetahuan karatan (out of date), yakni ketinggalan dialektika suatu diskursus ilmiah dalam rentang waktu tertentu. Taruh kata, bilamana ia mengalami ketertinggalan selama dua abad, maka semestinya ia melahap semua buku yang terbit setelahnya sampai mata rantai ilmiah yang terakhir. Ketertinggalan ini tentu berisiko dan sangat mempengaruhi landasan epistemologis seseorang. Sebab ilmu pengetahuan selalu menuntut aktualitas cara pandang, di mana metodologi tafsir selazimnya selalu bersesuaian dengan konteks ruang dan waktu. Perkembangan ilmu pengetahuan memang berjalan sangat cepat dan seringkali tanpa mempertimbangkan daya jangkau konsumennya. Tentu saja, para kritikus Frederick Engels berikutnya tidak akan menunda terbitnya buku baru sebagai counter atas Anti-Duhring hanya dengan alasan bahwa mahasiswa-mahasiswa di negara terbelakang belum sempat membaca buku Anti-Duhring.
DUA
Apakah engkau seorang Marxis? Pertanyaan ini boleh jadi kalimat tanya yang sering tak terjawab, selain pergulatan antara upaya untuk terus ‘menjadi’ atau ‘gagal menjadi’. Satu pertanyaan yang sama kualitas dengan: apakah engkau Muslim? Apakah engkau Kristen? Apakah engkau Nasionalis, Demokrat, Budhis, Filantropis, Fasis dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengandung dimensi iman yang dalam substansi tidak membutuhkan jawaban dari bibir verbal. Ia tak sebatas label jargonal karena menuntut konsekwensi ganda: iman dan praksis. Demikian pula, orang tidak melihat kadar Marxis seseorang dari kartu anggota partai komunis atau organisasi sosialis. Namun dari A sampai Z; isi kepala, iman di dada sampai ke mana kaki melangkah dan berpaut. Dan lagi-lagi, serangkaian pikiran dan tindakan tersebut akan terukur kadarnya menurut sejauh mana pikiran dan tindakan manifes dalam kenyataan.
Benar, engkau seorang Marxis? Ini tentu satu pertanyaan yang asing, bukan. Tapi apa yang pertama engkau lakukan bila disodorkan pertanyaan semacam ini? Engkau pasti bereaksi, mungkin defensif mungkin ofensif, mungkin juga membangun alibi. Namun bila dicecap-cecap pertanyaan ini terasa mengandung ejek yang lumayan sengit. Ejek ini bertambah pelik bila ternyata mengandung kebenaran bahwa engkau adalah seorang pemuda Indonesia yang sefaham dengan Marxisme dan kebetulan lahir setelah 1965. Hampir bisa dipastikan, engkau pasti mencapai kesadaran Marxis dalam usia di atas 20-an tahun, lewat suatu ‘perkelahian’ yang tidak lazim, bukan? Masa-masa pra-pencerahan yang menyebalkan, ah …. bisa ditebak dengan gampang bila masa pendidikan engkau mirip di kamp-kamp konsentrasi. Dari SD sampai SMA, engkau mengalami proyek pembodohan massal yang ternyata gagal. Di bangku ‘sekolah wajib’ engkau diwajibkan berseragam, diwajibkan berdiri dalam barisan upacara, diwajibkan hormat bendera, diwajibkan duduk manis sambil mendengarkan monolog, diwajibkan membiarkan otak dijejali doktrin dan hapalan, serta diwajibkan patuh pada cita-rasa para guru. Walhasil dari parade kewajiban di ‘sekolah wajib’ tersebut, jangan heran bila otak terasa gatal-gatal karena serasa berisi jerami dengan sulur-sulur songket yang menyebalkan. Lebih menyebalkan lagi, semua yang diajarkan dari butir-butir ideologi sampai budi pekerti merupakan ajaran tanpa suri tauladan. Itulah kenapa semua bahan pendidikan menjadikan kita terasing dengan kenyataan. Itulah kenapa semua bahan pendidikan hanya menjadi timbunan sampah jerami dalam otak kita. Lebih jauh lagi, serangkaian kegiatan pendidikan itu justru menghinakan akal sehat kita sebagai manusia. Sampai suatu ketika di bangku pendidikan lebih lanjut, universitas hanyalah terminal berikutnya dengan 2 jurusan: pencerahan atau kegelapan. Bila engkau memilih dark-age, ini merupakan cara paling murah dan aman karena hanya meneruskan pola pendidikan sebelumnya. Masa depan juga sudah terpampang karena hanya menapaki anak-anak tangga yang disediakan. Semua hanya membutuhkan ketaatan dan loyalitas yang sintetis. Untuk menjadi sebiji sekrup memang bukan perkara rumit.
Namun apabila menghendaki ‘pencerahan’ maka engkau disyaratkan menambah jam-jam pergulatan paling panjang, paling menegangkan dan celakanya semua itu terdapat di luar bangku kuliah. Sebab dosen dan perpustakaan hanya menyediakan kemalasan dan ketertiban. Apabila engkau mendambakan kebebasan berpikir di perguruan tinggi Indonesia, wah, niscaya hanya akan merasakan sakit hati. Dalam hal ini barangkali Anda sepakat dengan pernyataan saya, bahwa sebagian besar Indonesia masih wilayah pernaungan yang rindang bagi kaum pertapa, mistikus, hamba klenik dan juga hamba sistem tua yang lapuk dan karatan. Selebihnya adalah pabrik biji sekrup yang diproduksi secara massal. Mencari kebenaran dengan instrumen akal budi dan hati nurani masih menjadi barang langka.
Maka dari itu, pencerahan di masa-masa kuliah adalah dengan mangkir kuliah. Engkau harus membangun perserikatan sendiri, sebuah “perkumpulan tanpa bangku sekolah” sebagai tempat berserikatnya bekas para pasien di kamp-kamp konsentrasi pendidikan Indonesia. Namun celakanya, berserikat semata tidak cukup karena buku-buku bagus merupakan barang langka. Repotnya lagi buku-buku bagus hanya bisa didapat dari pasar loakan yang hanya bisa diakses dengan jaringan kepercayaan. “Buku-buku bagus” identik dengan segmen konsumen yang juga khusus, jadi akan selalu datang “para konsumen khusus” yang jauh hari sudah pesan untuk dicarikan “buku-buku khusus”. Dengan cara demikian engkau baru bisa belajar untuk mengibarkan bendera akal budi tinggi-tinggi. Sebab menunggu oleh-oleh kawan sepulang dari sekolah di Amerika tentu memakan waktu yang lama. Apalagi harus membayar ongkos perasaan dengan membaca pesan penuh sarkastis.
Jadi engkau hendak mengatakan bahwa engkau dipertemukan dengan Marx-Engels oleh pedagang pasar buku loakan, pada suatu petang di tengah hujan sangat deras, di saat mata-mata Orde Baru pulang kantor dan asyik berteduh di rumahnya yang bagus? Tepat sekali! Pertemuan yang sungguh menegangkan. Aku sangat gugup karena hampir tak percaya bakal bertemu dengan mereka. Sewaktu kami berjabatan tangan, woow, sebongkah tangan kasar yang menjabat sangat erat. Lebih tepatnya mencengkeram secara kaku dan dingin. Kedua bola matanya penuh selidik, mengintai dengan wajah tegang di balik rimbunan brewoknya yang memutih. Keduanya segera mengendus-endus seluruh materialisme atas jasadku, menyapu dari atas sampai bawah; rambut pemuda yang kusut-masai, air muka, pancaran mata, bau tubuh, ketebalan lemak dalam lapisan daging, jaket kusam, jeans tanpa setrika, dan semua centang-perenang yang menempel di permukaan dagingku. Keduanya sama-sama menyelidik dan tampak dengan cara yang sangat tergesa-gesa. Keduanya saling melirik dan memberi kode rahasia yang gagal aku pahami. Ah, barangkali memang demikian perilaku orang-orang revolusioner. Kerut wajah tua tanpa ketenangan, tatapan mata nyalang, ketegangan di balik jambang lebatnya, Oo, sungguh penampilan wakil dari orang-orang yang belum punya surga. Seraut wajah resah yang jauh benar dengan tampang Rabindranat Tagore atau imam masjid di kampungku yang merasa surga sudah ada di kantongnya. Namun semua perbedaan itu harus dimaklumi.
Usai transaksi, tanpa banyak cakap keduanya segera aku masukkan ke dalam tas kulit dan kabur dari pasar loakan. Itu cara pertemuan yang paling pantas dan independen terjadi di Jogjakarta pada awal tahun 1990-an. Tak ada tempat pertemuan lain. Kalaupun benar, pertemuan itu pun sangat terlambat. Mendalami Marxisme dari dua bapaknya (Marx-Engels) secara langsung merupakan suatu kemewahan ilmiah tiada tara. Mahasiswa radikal di Indonesia tentu sudah jemu dengan diktat-diktat tentang Marxisme yang dihasilkan oleh para pemikir liberal atau intelektual konservatif. Mereka menulis dengan selera kelasnya dan banyak melakukan distorsi karena harus sesuai dengan perspektif ideologi negara. Bacaan jenis tersebut sering menjadi sampah yang menyesatkan. Adapun membaca Marxisme secara sistematis jelas membutuhkan waktu dan energi tersendiri. Namun yang terpenting adalah terjadi dialog vis a vis: aku dan dia bermuka-muka sebagai manusia dengan pencernaan otak di kepala masing-masing. Ini cara membaca yang independen, terang dan objektif karena tidak lewat ‘makelar ilmiah’ seperti seorang intelektual liberal atau petugas doktriner partai komunis. Para makelar selalu mengutip ‘upeti barang’ sekian persen sebagai jasa yang harus dibayar. Maka dari itu, untuk perkara maha penting kita harus berlaku independen. Walaupun tentu dengan risiko pemahaman yang belang-bonteng karena sekenanya buku yang ada.
Seiring terbitnya kesadaran baru, pertaruhan praksis tentu menuntut pelibatan waktu tanpa batas. Sementara dinamika masyarakat terus bergerak maju, terkadang damai, terkadang bergolak, bersitegang, bakar-bakaran, pukul-pukulan, rujuk kembali, dan berkelahi lagi tanpa memandang apa kita sudah membaca Manifesto Komunis. Namun waktu yang ada selalu tidak pernah cukup untuk menyiapkan pergolakan-pergolakan yang terukur dalam prediksi ilmiah karena realitas selalu datang dan pergi secara tak terduga.
Apalagi dalam pergolakan 1998. Mahasiswa-mahasiswa kiri Indonesia mengalami kelemahan fundamental, baik ideologis maupun praksis, ketika menumbangkan rezim Suharto. Sebagai salah satu pilar kekuatan massa, mahasiswa kiri telah gagal menyiapkan kepemimpinan demokratik dari kelompok masyarakat yang biasa disebut sebagai kelas-kelas tertindas. Sebab mereka adalah lokomotif zonder gerbong, gagasan tanpa barisan pengikut massa rakyat yang terorganisir dengan baik. Apa daya yang bisa dijangkau dari persiapan yang sangat terbatas; kaum radikal minoritas dengan centang-perenang pemahaman ideologis, infantilisme, snobisme, faksionalisme, jargonalisme, nihilisme dan ketika iman teoritik juga belum bertemu dengan massa kelas-kelas tertindas yang sesungguhnya. Kesadaran itu sungguh masih teramat dini dan mentah. Sekali lagi, Indonesia 1998 gagal disusun dalam tatanan demokratik sebagaimana yang banyak digagas para pemuda radikal yang sama sekali tak berakar itu. Kebanyakan pemuda radikal memang terlalu banyak berdebat tentang gagasan, sehingga selalu terlambat untuk menyiapkan aktor-aktor perubahan yang konkrit. Maka tak heran bila semua yang diperjuangkan oleh rakyat dan mahasiswa dipetik buahnya oleh elite-elite yang kemudian berkuasa. Mereka, kaum konservatif dan kubu reformasi, seperti yang lazim terjadi di banyak negara; pada akhirnya melakukan kolaborasi politis yang hanya memberi makna betapa demokrasi rakyat menjadi satu perkara yang ilusif. Elite-elite datang dan pergi bagai badut-badut yang menyebalkan, dengan dikitari bandit dan bajingan tengik yang rebutan harta dan kuasa. Merekalah yang sering merampas distribusi keadilan sosial dan meningalkan kursi kekuasaan dalam kondisi bangkrut; tumpukan hutang yang harus ditanggung rakyat, sementara pundi-pundi mereka telah terisi penuh dengan hasil rampasan. Namun tak mengapa. Inilah kenyataan yang harus dibikin perhitungan di hari depan. Tahun 1998 sudah lewat dan pergolakan di dalamnya menjadi “sekolah pergerakan” yang paling berharga bagi pengalaman kaum muda pergerakan zaman sekarang. Tentu saja bagi mereka yang mau belajar untuk membangun gerakan rakyat lebih lanjut. Setidaknya banyak pemuda radikal Indonesia menjadi paham bahwa reformasi memang proses jahit-menjahit secara tambal-sulam di atas kain lama yang usang. Semua kain usang pasti rombengan. Artinya, nasib rakyat negeri ini disulam di atas kain usang yang rombengan. Maka jangan heran bila kondisi negeri kaya-raya namun miskin-papa ini demikian bangkrut dan menyedihkan. Berpusar-pusar dalam lingkaran setan.
TIGA
Dan apa sudah engkau fikir dengan matang untuk menjadi Marxis, berikut risiko-risiko hidup yang pasti bakal ribut? Bila benar lantas mau apa! Menghadapi pertanyaan semacam ini engkau memang boleh bersikap defensif namun tidak bisa berbohong. Menjadi Marxis Indonesia di zaman sekarang akan sangat kentara karena memang bukan manusia lazim. Dan kesadaran Marxis yang manifes masih sulit dipercaya bagi kalangan awam Indonesia yang konon sangat normatif dan pernah punya luka sejarah dengan semua yang berlambang palu-arit. Maka jangan kaget bila suatu hari engkau disatroni segerombolan orang berpedang dan mencoba menimang-nimang engkau punya nyawa. Engkau mungkin menganggap ini lelucon, namun pedang dan atribut mereka merupakan satu bahasa keyakinan sebagaimana engkau punya keyakinan. Jadi benar engkau Marxis? Bila pertanyaan ini disodorkan pada engkau di awal Milenium Kedua ini, maka juga ada dua latar sejarah yang sama-sama sulit untuk dipercaya.
Pertama, pada aras internasional; Perang Dingin telah lewat, patung Lenin sudah ditumbangkan di negeri bekas moyangnya komunis terbesar, pertahanan Cina sudah bobol dengan mencanangkan liberalisasi dan mendaftarkan diri dalam jaringan WTO, serta rakyat Kuba tak lagi kenyang dengan pidato Fidel Castro yang berapi-api itu, Vietnam juga bukan negeri jaminan sejahtera. Bukankah ini semua kebenaran nyata betapa pilar-pilar yang menopang gagasan Marxisme telah luluh-lantak semenjak partai-partai komunis rontok dan kehilangan popularitas? Bukankah semua itu tinggal kertas buram sejarah yang telah usang dan bangkrutnya sebuah impian yang seharusnya ditinggalkan? Ah, jangan sok romantis, comrade. Semua dalil Marxisme terbantahkan dengan tatanan dunia sekarang. Dan jangan engkau mencari hiburan gratis dengan tumbangnya menara kembar WTC di Amerika, 11 September. Pilar-pilar kapitalisme masih berdiri kokoh. Bahkan semakin teruji dan akan tambah mentereng dengan sistem pertahanan baru. Dan bila benar penghancuran menara kembar WTC itu pekerjaan kader-kader militan Osama Bin Laden, toh, ia bukan Marxis. Ia hanya seorang borjuis yang kebetulan bersurban dan suka memelihara jenggot—yang tentu saja berada dalam satu kelas dengan barisan borjuis-borjuis Amerika yang sangat dibencinya itu. Nafas perlawanan borjuis Arab itu tak akan panjang. Sebab perlawanan sesama borjuis — boleh dibilang — bila kedapatan 1 borjuis yang nakal pasti akan dikeroyok ribuan borjuis yang normatif. Payung milik 1 borjuis nakal pasti diserang dan dirontokkan ramai-ramai. Dunia dipaksa membelakanginya. Dan semua terbukti sudah, ia dirontokkan. Lantas apa yang hendak dirayakan oleh engkau dan segenap kaum Marxis? Di mana barisan buruh-buruh kalian yang ratusan juta jumlahnya itu? Di mana pertarungan kelas dan gelora revolusi proletar yang engkau pegang teguh sebagai godam sejarah itu? Nonsense, bukan!
puluhan tahun yang lewat, Lenin dan kawan-kawan Bolsheviknya boleh merayakan kemenangan ketika 61 hari telah berlalu, sebagai tanda mereka berhasil memegang kekuasaan lebih lama ketimbang Komune Paris. Tapi apa hendak kalian rayakan pada hari ini, ketika tak sebiji kekuasaan pun ada di tangan? Sekali lagi, nonsense, bukan!
Kedua, di tengah kondisi kapitalisme internasional yang kukuh kembali engkau memutuskan menjadi seorang Marxis di Indonesia? Ketemu berapa perkara kegilaan engkau? Jangan bikin masalah! Ingat, kalender menunjukkan tahun 2010, bukan tahun 1917, 1929 atau 1960 yang konon dipenuhi pesona revolusi itu. Dari 1965 sampai 1998 Indonesia telah diblok dengan warna hitam. Memori seluruh negeri telah dipatri dengan satu warna untuk semua yang berbau komunisme: kebencian! Genangan warna hitam itu masih mengental dan tetap terpelihara dengan baik, dirawat oleh negara dan didaur-ulang oleh masyarakat. Terdapat berlapis-lapis jaring pertahanan sosial untuk resisten terhadap gerakan kalian. Termasuk dalam keluarga kalian, bapa-ibu, adik-kakak, kakek-nenek serta orang-orang yang kalian cintai. Atau juga perempuan-perempuan pacar kalian yang jumlahnya lebih dari satu itu. Keluarganya tak akan mengizinkan anak perempuannya dipersunting oleh kalian, ekstremis-ektremis radikal tanpa masa depan. Bisa saja kalian pacaran diam-diam, namun lambat laun pasti ketahuan. Kalian segera dilaporkan ke hadapan aparat keamanan kemudian disapu lewat adegan penculikan penuh suspense sebelum jasad kalian digelontor ke sungai atau rawa-rawa. Seperti pengalaman yang sudah lewat, LSM-LSM pembela HAM di negeri ini hanya bisa berteriak namun tak punya sistem untuk mencari jejak kalian atau menyeret si biang penculik ke pengadilan HAM. Pendeknya, engkau ditumpas! Karena engkau Marxis maka engkau berhak ditumpas! Ini dalil yang nyata. Sebab di manapun penentang sistem dari luar sistem, yakni seseorang yang dengan sadar berbicara, berserikat dan berbuat secara aktif untuk membongkar sistem, pastilah ditumpas. Negara dan pemilik otoritas memiliki banyak dalil yuridis, politis atau sosial untuk sekedar congkel engkau punya nyawa.
Dan tak ada ruang bagi kalian selain di labirin-labirin malam, di kolong-kolong jembatan, laten di bawah tanah, bersama tikus, kecoa, semut hitam dan orong-orong. Aha! Merayaplah sampai mampus. Sembari mengendap-endap engkau menciptakan sel demi sel di setiap kubangan kemiskinan; di desa-desa yang mana masih menyisakan tuan-tuan tanah dengan buruh-buruh-tani miskin, di kota-kota tempat anak-anak para petani kapok pada kemiskinan dan merayap ke dalam gerbong-gerbong proletariat menjual keringat dengan harga paling murah di seluruh Asia. Gerombolan kere dengan corak produksi Asiatik, ke mana-mana mereka mengusung nasib namun hanya memindahkan lokasi nasib yang sama saja; bodoh, miskin dan terhina. Bagi mereka hidup di dunia hanya untuk disekap di kamar kemelaratan sementara pembangunan nasib menjadi teka-teki yang maha ruwet dan bikin sakit kepala. Pada mereka, saudara-saudara manusia yang terhina itulah, hidup kalian habiskan dengan kesadaran yang menulang-sungsum; tak peduli siang atau malam, ramai atau sepi, tanpa libur dan selalu siap sedia 24 jam! Kalian berserah diri untuk agenda pembebasan umat manusia. Kejayaan sosialisme pasti datang sebagai hukum sejarah! Bukankah demikian dalil kebenaran sejarah yang kalian pegang, di mana tak ada sebiji orang atau lembaga pun mampu menumpas kalian hingga akar yang penghabisan. Semakin garang kalian ditebas semakin mengakar dan berlipat-gandalah militansi kalian. Sebagaimana kaum status quo dan reaksioner juga gagal dan pasti gagal 100% memerangi kemiskinan. Sebab kapitalisme yang mereka bangun dari puing-puing kehancuran feodalisme dua abad lampau, dan mereka hidupkan dengan segenap daya kekuasaan kelas, ternyata tak beda dari sistem monistik untuk beternak kemiskinan. Dan sekarang, borjuis-borjuis kecil yang dulu turut dalam penumbangan feodalisme secara revolusioner itu, kini secara kualitas telah menjelma sebagai kelas paling konservatif dengan mendekap erat sistem dan akumulasi harta pribadi di bawah lindungan kapitalisme.
Kalau boleh bertanya lagi, dari jenis bahan iman macam apa yang memantapkan diri engkau menjadi Marxis, comrade?
Segala perkara yang menyangkut ketegangan hidup memang menarik dan patut untuk dikaji. Dan ketegangan model begini, yang mengandung maksud pencarian jati diri dengan mempertaruhkan segenap otentisitas manusiawi, merupakan proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Untuk satu persoalan yang sangat penting ini, mari kita usut lebih lanjut.
EMPAT
Pada suatu paruh malam yang naif datang seorang mahasiswa filsafat yang mengabarkan bahwa ia barusan menemukan cermin idola yang coba dipatut-patutkan dan rupanya sesuai benar dengan selera pikiran dan hatinya. Ia seorang pengembara intelektual yang gemar mencari kebenaran di balik teks buku-buku. Dan barusan ia mengaku telah menamatkan semua buku Marx-Engels. Semester-semester lalu ia getol melahap pemikiran Nietszche, Camus, Sartre, Adorno, Althusser dan Raymond Williams, Walter Benjamin. Namun semua tidak memuaskan hatinya. Sebagai pengimbang tradisi kesalehan, karena ia muslim yang lahir dalam keluarga Islam puritan, ia merasa sangat perlu membaca Ali Syariati, Haji Misbach dan Roger Garaudy. Pada ketiga tokoh ini ia mencari do’a restu Islamisme untuk menganut Marxisme. Dan ia berhasil menemukannya. Bahkan menurut nasehat Haji Misbach, seorang muslim sejati sudah semestinya seorang komunis. Bilamana ia tidak komunis, maka kadar kemuslimannya hanya lamisan alias lip service. Singkat kata, muslim-komunis adalah dua kaki kokoh yang menopang berdirinya manusia sejati (khalifah Tuhan di muka bumi). Betapa girang ia menemukan dalil tersebut. Teka-teki telah terjawab dan selesailah pengembaraan panjangnya. Semua berakhir ke haribaan Marx-Engels. Dengan terang-terangan ia membikin testimoni ilmiah yang berujung pada kesimpulan, “Bahwa Aku seorang Marxis dan ingin mati sebagai Marxis.”
Lebih dari itu, ia juga menyertakan embel-embel peristiwa di pedalaman hatinya. Ia mengaku telah menguji suara hatinya dengan melakukan perbandingan untuk memilih mana yang memiliki daya pikat antara membaca buku Karl Marx Economic And Philosophic Manuscripts of 1844 di akhir pekan atau mendatangi indekos pacarnya yang cantik karena tatanan rias itu. Dan ia telah memilih jawaban No. 1. Terbukti sudah betapa Marx-Engels lebih mempesona ketimbang pacar perempuannya. Ini proses pergulatan batin yang luar biasa, akunya. Pergulatan yang melibatkan unsur-unsur lahir-batin, kognisi-emosi, hipotesis-investigasi sebelum mencapai kesimpulan filosofis yang paling mantap.
“Dan sekarang menjadi terang semuanya, tak ada keraguan lagi bahwa saya memilih menjadi Marxis ketimbang sosok romantis namun nihilis, sebagaimana saya juga menampik untuk menjadi moralis tanpa ideologi,” demikian penjelasan si kawan mahasiswa filsafat secara panjang lebar. Susunan kalimatnya runtut dan pasti, didukung sorot mata yang tajam dan asli. Semua binar-binar itu menandakan betapa kelenjar darahnya tengah bergolak-golak karena dihangati oleh keyakinan hebat yang melanda sekujur jiwa-raga manusiawinya.
Sebagai suatu pergulatan personal, proses pencarian seorang kawan mahasiswa filsafat tersebut cukup fenomenal dan khas Indonesia. Proses yang lazim terjadi di suatu negara dengan in absentia partai komunis atau partai sosialis dan ajaran Marxisme-Leninisme masih dipenjara dalam pasal larangan (dan ayunan pedang). Walaupun di Indonesia terdapat beberapa kelompok kiri, namun belum bisa dikatakan established memuat program-program Marxistis secara terbuka. Sehingga lumrah bila pencarian ideologi bersifat personal dan hanya merambahi aspek-aspek teoritik, kontemplatif dan lebih pergulatan teks di dalam kamar ketimbang praksis di medan politik yang konkrit. Namun mari terus kita buntuti sebagai proses dialektis antara teori dan praktek yang belum rampung membentuk diri.
Suatu keterpesonaan, betapapun subjektif, namun satu perkara otentisitas eksistensial manusia yang harus tetap kita hargai. Sebagai proses ‘menjadi’ yang melibatkan ketegangan antara posisi, kontra-posisi, kontemplasi dan melahirkan posisi yang baru. Barang siapa yang sungguh-sungguh ‘mencari’ untuk ‘menjadi’ tentulah jenis manusia-manusia hidup yang sadar, molek, dan orisinal-sejati. Penghormatan harus kita berikan karena mereka bukan dari sejenis kaum snobis atau pesolek kardusan, yang tampak bagus di tampang namun gerowong di dalam.
Dalam konteks yang berbeda, menarik untuk mengkaji apa yang dialami dalam pergulatan religius Iwan Simatupang, seorang penganut nouveau roman Indonesia yang eksis di tahun 1960-an. Ia mengaku masuk agama Katholik karena kesimpulan-kesimpulan estetis dan filosofis. Dalam suatu pengembaraannya di Eropa, di tengah krisis iman, ia mengalami perubahan spiritual ketika menyaksikan patung Yesus: ia katakan, bersama patung itu, “daging berdarah dipakukan ke tiang-tiang tua, kepala-Nya dimahkotai onak duri, dan apakah Dia seorang dorspyek yang disergap godsdien-stwaansin atau memang seorang saint, keberaniannya menghadap itu semua membuka mataku ….” 1 Demikian pengakuan Iwan Simatupang. Menjadi Katholik dengan cara seperti Iwan, sungguh benar suatu proses tegang otentisitas eksistensial yang tak ada duanya. Patung Yesus, daging berdarah, mahkota onak duri, kesimpulan estetis dan filosofis kemudian menjadikannya Katholik. Bukankah ini suatu loncatan spiritual yang drastis. Padahal semula ia mengaku sebagai anak muslim yang patuh dan pintar mengaji, namun siapa sangka bila tiba-tiba ia terpikat dengan pesona problematik manusia-Nya agama Katholik dan beralih agama Katholik. Siapa bisa menebak misteri di balik organisasi darah-daging manusia; pusaran isi dadanya, subur-kering imannya, lalu-lintas pikiran di otaknya, cerah-gelapnya, serta deburan emosi dari rasa perih-nyeri dan bungah-girangnya? Tinjauan terhadap filsafat manusia selalu bergulat dengan pertarungan eksistensial secara abadi. Adapun validitas ilmiah senantiasa bertukar tangkap dengan lepas antara absolut dan relatif. Kebenaran absolut yang dicapai pekan lalu bisa direlatifkan oleh temuan ilmiah pada tahun mendatang. Demikian susul-menyusul. Sebab siapa yang mampu menelorkan rumus eksakta untuk dapat melihat kandungan misteri manusia tersebut? Bukankah manusia sendiri konon tidak akan pernah tamat dalam membaca diri mereka sendiri.
Proses menjadi Marxis-nya kawan mahasiswa filsafat tentu berbeda dengan menjadi Marxis-nya Che Guevara atau Tan Malaka, demikian juga menjadi Katholik-nya Iwan Simatupang berbeda dengan menjadi Katholik-nya Paus Paulus Yohanes. Setiap manusia pasti mengandung otentisitas eksistensial. Masing-masing memiliki momen-momen eksistensial, proses mencari paling total dan ekstensif sehingga mencapai kesimpulan filosofis tersendiri, menemukan puncak kesadaran personal atas suatu identitas jati diri. Dan proses penemuan ini pasti akan berdialektika dengan ketegangan-ketegangan baru dari berbagai jurusan, yang memaksa seseorang petarung untuk stand by on fighting sampai batas kesanggupan paling ujung, yakni kematian.
Lantas apa yang harus dilakukan bila engkau telah menemukan diri dalam keyakinan ideologi Marxis? Yang utama engkau tidak bisa lagi berbohong. Keyakinan yang jujur selalu menuntut manifestasi tindakan. Dan kandungan kesadaran seseorang tentu sangat berperan dalam menentukan pilihan-pilihan tindakan. Apakah ia berasyik-masyuk dengan buku-buku dan jalan pikirannya sendiri di kamar yang mewah? Apakah ia memutuskan bergabung dengan salah satu organisasi kiri yang banyak ragam alirannya itu? Atau menjalani hidup selazimnya aktivis pergerakan revolusioner yang tak jemu-jemu menjadi pembaharu; membangun sendi-sendi perserikatan baru dan melakukan otokritik terhadap teori dan praktek masa lalu-masa kini yang centang-perenang itu dan melahirkan energi baru yang musti segera disampaikan kepada konstituen Marxisme: bubu-bubu sejarah kelam kaum proletar yang merana itu. Tindakan konkrit atas keyakinanlah yang bakal menguji apa yang secara gampang kita bagi dua: Marxis tulen atau Marxis salon.
Marxisme sebagai ideologi tentu belum karatan dengan spirit pembebasan kelasnya. Stamina spirit Marxisme masih terjaga karena ia menyusun teori yang monistik dan menjadi kacamata pandang paling terang untuk melihat kontradiksi yang dikandung dalam sejarah tatanan masyarakat dunia. Ia tangguh sebagai konsepsi karena mampu memberikan susun-bangun argumentasi dengan landasan filsafat, penerangan ekonomi-politik, sosial, moralitas universal yang berdasar kenyataan dan sekaligus memberi arah dalam panduan praksis menuju perombakan ketimpangan struktural (kapitalisme) dengan jalan revolusi kelas proletar. Bersama Marxisme, kaum yang lapar dan terhina secara historis itu, tidak lagi diajak membina lamunan kosong untuk menjadi si raja kenyang dengan dikitari dewi-dewi cantik di surga, atau berkhayal andai bisa berunding dengan Tuhan untuk membicarakan nasib kemelaratan segenap proletariat. Kemelaratan tidak bisa lagi ditenangkan dengan lamunan absurd. Marxisme menyeru bahwa perubahan nasib suatu kaum terletak hanya di tangan kaum itu sendiri. Tuhan tidak bakal mengirimkan bala tentara malaikatnya ke muka bumi untuk mendirikan pabrik roti bagi si lapar-melarat atau mempreteli pilar-pilar kapitalisme. Dengan demikian Marxisme membangun spirit penyelamatan sosial bagi umat manusia, di dunia sini, di bumi manusia! Inilah inspirasi paling menggetarkan, suara nurani kemelaratan yang paling terang; kekuatan yang memaksa perombakan pilar-pilar gereja di Eropa, yang menjadi momok paling menakutkan bagi ruling class yang loba sebagai penimbun harta dan selalu membikin syaraf kelas buruh terus meremang.
Bilamana engkau telah memutuskan menjadi Marxis, jadilah Marxis yang jujur. Adalah benar adanya bila kapitalisme akan selalu berada di bibir jurang krisis karena bertarung dengan sistemnya sendiri yang mengembang-biakkan kemiskinan secara struktural. Demikian juga agama, ia mengalami krisis dengan pendangkalan makna serta peran karena gagal mengantisipasi perkembangan zaman. Namun selaku Marxis jangan engkau abai bahwa Marxisme pun tengah mengalami degenerasi yang hebat karena kerapuhan-kerapuhan internal. Marxisme juga berperang dengan dirinya sendiri, karena tengah berada di bibir jurang krisis ideologi dan praksis. Maka dari itu, selaku Marxis engkau harus mengetahui kelemahan-kelemahan mendasar atas Marxisme, baik pada tataran filsafat, ideologi maupun praktek perjuangan kaum Marxis sendiri. Pemahaman tanpa kritisisme, bah! sama saja dengan tukang kunyah dogma. Segala macam dogma tanpa kontekstualisasi adalah timbunan sampah belaka. Bukankah Marxisme tidak meletakkan dirinya sebagai agama atau paket dogma dan bukan pula jawaban monistik terhadap problem humanisme kontemporer yang maha kompleks ini. Maka bisa dipastikan bila Marxisme mengandung paradoks dan banyak kelemahan karena karatan dan keropos oleh waktu.
Kelemahan Marxisme paling terang adalah gagasan Marxisme dari dulu sampai sekarang masih dalam proses janji dan dugaan. Ia belum juga menang dalam pergulatan atas perombakan tatanan masyarakat dunia. Bukankah realitas ini satu kebenaran paling aktual dan terang benderang, betapa di banyak tempat para penganut Marxisme didera kekalahan dan mengalami kebangkrutan? Bilamana Marxisme hanya berhenti sebagai gagasan, apakah ia lahir hanya untuk salon pikiran? Segenap kaum Marxis tentu terusik, marah dan tak akan menerima karena Karl Marx sendiri terang-terang menyatakan bahwa yang terpenting dari gagasan adalah bukan hanya menambah khazanah penafsiran atas dunia, namun untuk merombak tatanan masyarakat dunia itu sendiri. Inilah salah satu wasiat berharga dari Marx. Namun walau kalah di mana-mana, Marxisme sebagai ideologi belum gagal karena dialektika terus berlangsung dan sejarah umat manusia belum berakhir.
Sampai kurun waktu sekarang, kaum Marxis dihadapkan pada tumpukan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, baik teori maupun praktek. Abad 19 di mana Marx-Engels hidup tentu berbeda dengan abad 20 di mana Lenin hidup, dan abad 20 juga berbeda dengan abad 21, di mana kita hidup. Sebagaimana Marxisme menganut kebenaran dialektis, bahwa realitas masyarakat tidak pernah mandek namun terus bergerak maju. Patah-tumbuh hilang berganti, susul menyusul tiada henti. Beberapa paradoks Marxisme bisa direntangkan sebagai berikut.
Satu dalil yang diyakini semua Marxis di dunia adalah kebenaran teori tentang adanya pertentangan kelas dan perjuangan kelas. Dalam pembukaan Manifesto Komunis yang termashur itu, Karl Marx menulis: “Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang ditindas, kadang dengan sembunyi, kadang dengan terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan….. Masyarakat borjuis modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal tidak menghilangkan pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau.”
Proposisi di atas tentu mengandung kebenaran ilmiah. Namun kebenaran harus selalu diverifikasi dalam kenyataan, apakah benar sejarah hanya berisi pertentangan kelas dan hanya bisa diselesaikan dengan perjuangan kelas? Apakah dalil ini berlaku sebagai kebenaran tunggal? Bagaimana dengan adanya kenyataan dalam masyarakat yang melangsungkan perjuangannya dengan kerja sama antar kelas, antar bangsa, antar agama? Apakah kenyataan ini bisa dengan gampang dinyatakan bahwa kolaborator kelas adalah pengkhianat atas Marxisme ortodok, atau dengan tuduhan khas lain, mereka kontra-revolusi, mereka mengalami kesadaran semu dan harus di-re-edukasi agar menemukan kesadaran sejati? Apakah harus diperlakukan secara demikian?
Kenyataan hidup memang rumit dan berseluk-beluk. Selain kelas ekonomi, masyarakat ternyata terpisah-pisah dalam berbagai bangsa-bangsa, ras, etnik, agama bahkan keluarga (clan). Dalam suatu kesempatan, konflik seringkali berlangsung bukan semata-mata peperangan kelas ekonomi. Di Amerika Serikat, pernah suatu ketika buruh kulit putih berkelahi dengan buruh berkulit hitam. Antar warna kulit mereka saling membenci walaupun sama-sama menjadi buruh. Api kemarahan sangat gampang dikobarkan hanya oleh perbedaan warna kulit. Di Irlandia Utara, buruh Protestan dan buruh Katholik juga pernah terlibat konflik dalam suatu pemogokan di pelabuhan Belfast. Dan yang lebih mengherankan, pada tahun 1912 dalam suatu pertemuan kaum Marxis Eropa Barat di Basle, mereka mengeluarkan resolusi bahwa sekiranya pecah Perang Dunia maka kaum buruh sedunia akan melakukan mogok total, di mana buruh Jerman akan berjabat tangan dengan buruh Perancis, demikian juga buruh Inggris akan berjalin tangan dengan buruh negara Eropa lainnya. Di benak pemahaman kaum Marxis tentu hapal sekali dengan pernyataan Karl Marx, bahwa kaum buruh tak punya tanah air. Mereka disatukan oleh penindasan dan akan bersatu untuk melawan penindasannya. Dalam momentum revolusi sosial, kaum buruh sering dikatakan bahwa mereka tidak akan kehilangan apapun kecuali rantai penderitaannya. Namun apa yang terjadi ketika Perang Dunia I pecah? Kelas buruh menjadi kaum yang paling massif dimobilisasi oleh elite-elite negara di front paling depan dalam suatu perang antar bangsa. Dan negara-negara yang berperang itu adalah negara-negara kapitalis paling maju dan tentu saja penghimpun kelas buruh paling banyak. Maka tak ayal lagi, bisa dikatakan bahwa pasukan (kelas buruh) Perancis berperang dengan pasukan (kelas buruh) Jerman yang fasih meneriakkan Hoch der Kaiser dan lebih hapal Mein Kampf dan Horst Wessel Lied ketimbang Manifesto Komunis. Sementara kelas buruh di Inggris juga melakukan hal yang sama, berperang dengan satu heroisme untuk kejayaan nasionalisme Inggris Raya. Bagaimana pendapat kaum Marxis dengan perkembangan yang ternyata di luar perhitungan mereka?
Dalam banyak kenyataan, mengapa kelas buruh tidak berkonflik dengan kelas borjuis, padahal kepentingan mereka jelas-jelas sangat mendasar? Mengapa kelas proletar tenggelam oleh deru-debu nasionalisme atau agama atau ras ketimbang kontradiksi kelas dan melakukan pertarungan kelas? Mengapa slogan paling mentereng “Workers of all countries, unite!” seperti mendesing di langit luas yang kosong? Realitas ini tentu harus dibaca secara akurat, adakah yang salah dengan teori perjuangan kelas Marxisme? Di sini teori bertemu dengan pengujian kenyataan. Sebab buruh-buruh di negara-negara kapitalis Eropa, sebagai contoh, meleset dari apa yang diprediksikan Karl Marx. Bagaimana penderitaan sosial akan bertemu dengan kekuatan sosial yang akan membawa pada revolusi proletariat. Karena pada pencapaiannya sekarang, buruh-buruh di negara maju Eropa memang mampu menyusun dalam kekuatan politik, namun ia berhasil ditenangkan oleh buah manis reformasi; dan bukan revolusi kelas ternyata. Bila kenyataan terpapar demikian, apakah teori perjuangan kelas kurang mengakar dalam kesadaran kelas buruh atau serta merta kaum Marxis menyalahkan kenyataan yang material tersebut? Sekali lagi, realitas ini harus dikupas secara seksama untuk mengetahui kelemahan atau kesalahan. Kebenaran kontradiksi kelas jelas kenyataan maha terang dan tak terbantahkan, namun mengapa kenyataan politik sering berdialektika lain? Problematika ini menjadi tantangan bagi segenap kaum Marxis untuk terus menggali kebenaran sejarah.
Persoalan lain adalah ketegangan antara gagasan ideologi dan peralatan perjuangan untuk menggapai gagasan tersebut. Satu dalil lain yang juga diakui oleh semua kaum Marxis adalah satu paparan yang menyatakan bahwa penyelamatan umat manusia — harapan emansipatif akan kemerdekaan, kedamaian, kesejahteraan, persaudaraan — sangat tergantung pada kemenangan kelas buruh sebagai (diktatur) kelas mayoritas. Kelas buruh dan hanya kelas buruh yang akan menyelamatkan penderitaan manusia, di mana suatu kelas yang mengambil kekuasaan dengan cara revolusioner dan tidak menginjak-injak kelas di bawahnya karena mereka duduk dalam piramida kelas paling bawah. Sehingga dengan demikian, untuk meniadakan penindasan kelas, maka adil kiranya bilamana kelas buruh yang duduk sebagai pemimpin sejarah. Sebab dalam tatanan kapitalisme, diktatur minoritas-lah yang berlangsung, tempat segelintir borjuis yang mengatur segala hal. Sementara dalam realitas pertarungan politiknya, kemenangan kelas buruh sangat bergantung pada kekuatan partai komunis, dan kekuatan partai komunis seringkali tergantung pada kolektif, mungkin dalam sentral committee dan politbiro, sementara politbiro sangat tergantung pada sekumpulan anggotanya. Dari logika ini mari kita menengok pencapaian Uni Soviet dalam kekuasaannya. Khususnya semenjak kematian Lenin, yang dipercaya banyak kalangan juga sebagai kematian komunisme. Pasca Lenin, Stalin naik ke tampuk kekuasaan setelah berhasil menyingkirkan rival paling tangguh, Trotsky. Kekuasaan Partai Komunis Rusia yang mengatur segala kehidupan di Rusia, telah mengalami kemerosotan demokrasi dan ekonomi sedemikian rupa ketika Stalin mencanangkan Sosialisme dalam satu negara Rusia. Sosialisme dalam satu negara? Aha! Dalil ini bahkan sangat ditentang oleh Karl Marx sendiri. Apa yang terjadi di Rusia adalah ketergelinciran ideologis dalam perangkap nasionalisme Rusia. Apalagi realitas politik internasional seiring dengan pecahnya perang Dunia Kedua semakin menguatkan sentimen nasionalisme ketimbang komunisme. Maka seiring Stalin yang berkuasa, komunisme pelan namun pasti menjelma bentuknya dalam Rusianisme. Dalil nasionalisme atau kenegaraan yang tak pernah diakui oleh Mark sendiri itu, mengejawantah dengan gamblang di Rusia. Menghadapi kenyataan ini mungkin saja Karl Marx akan terkaget-kaget dan mengutuk segala aspek yang tolol dan terkutuk itu dari dalam kuburnya. Komunisme telah merosot di bawah kekuasaan Stalin dan para penerusnya. Gagasan Marxisme yang cemerlang itu justru mengalami degenerasi pada putra sulungnya; kaum Marxis di Rusia.
Mengapa putra sulung Marxisme justru lahir di Rusia? Ini mungkin lelucon sejarah dan mengandung kesalahan geneologis. Karl Marx sendiri tentu akan geleng-geleng kepala, karena ia berharap putra-putra terbaiknya akan lahir dan beranak-pinak di lahan paling subur; negara-negara kapitalis paling maju. Mungkin di Inggris, Amerika Serikat, Jerman atau Perancis. Namun mengapa justru Rusia? Lenin atau Trotsky mungkin saja bisa berdalih, “Mari kita putus kapitalisme dari rantai yang paling lemah.” Pertanyaannya adalah, mengapa memutus dari yang paling lemah? Mengapa tidak dari yang paling kuat dan sentral? Bagaimana bisa mengobarkan revolusi proletariat dari negara-negara kapitalis yang masih bocah dan lemah seperti Kongo, Thailand, India, atau Indonesia? Memang benar, ukuran kapitalisme adalah ukuran dunia, maka revolusi kelas pun harus mencakup ukuran dunia. Benar juga apa yang disyairkan dalam lagu persaudaraan kaum Marxis, Internasionale. Internasionale milik kaum proletar akan berlaku dan jaya di dunia. Penyair-buruh Eugène Pottier yang menciptakan sajak "Internationale" tepat sebulan sesudah terjadinya peristiwa berdarah bulan Mei 1871, di Perancis, adalah corong internasional. Namun memulai revolusi kelas proletar bukan dari negara subur kapitalis tentu satu hal yang luput diprediksikan oleh Marx sendiri.
Realitas ini menunjukkan ketegangan paradoksal antara gagasan, bumi perjuangan dan alat perjuangan. Sebuah gagasan boleh cemerlang, namun kalau dilaksanakan di luar wilayah paling potensial dan dengan alat perjuangan politik yang keliru tentu mengalami falsifikasi. Dalil ini pula yang menjadi tantangan segenap Marxis yang sadar dan senantiasa menguji garis ideologi dengan dialektika kenyataan sejarah. Sebab mungkin saja bilamana Marx hidup di abad ini, tak mustahil akan merubah beberapa pokok pemikirannya. Karena pertaruhan Marxisme adalah sikap ilmiah yang terus diuji di medan kenyataan. Sehingga sangat benar adanya bilamana suatu ideologi harus tunduk dan bersimpuh di hadapan kenyataan dalam ruang-waktu di kurun sejarah. Bilamana Marxisme-Leninisme eksis di tahun 1920-an di Rusia, kemudian di-fotokopi di banyak negara waktu itu, belum tentu ia tangguh di abad mutakhir kini. Ideologi harus tunduk pada kenyataan karena ideologi dilantik dari kenyataan dan akan diturunkan juga dalam praktek penataan di dunia kenyataan. Dan pertaruhan menjadi Marxis adalah iman manusia-manusia tegang yang harus stand by on fighting antara garis ideologi dan pergerakan berlandaskan kenyataan; sebagai agenda yang diperuntukan bagi penyelamatan sosial. Mungkin demikian kandungan iman Marxis, sebagaimana seorang Muslim iman pada Allah SWT, Katholikus iman pada Yesus Kristus dan para Budhis iman pada Budha Gautama.
Namun masih banyak doktrin keropos dalam Marxisme dan masih banyak doktrin tegar yang belum terlaksana dalam Marxisme. Keropos dan tegar merupakan dua ketegangan yang terus bergulat. Dan kupasan yang mendalam tentu bukan pada tempatnya dalam esai pendek yang hanya untuk mengusik ‘orang tidur’ ini.
LIMA
Wewenang yang dimiliki seorang Marxis seringkali disadari sebagai pihak yang mampu membaca tatanan masyarakat dunia sehingga mereka berwenang menentukan desain atas tatanan masyarakat dunia. Namun menjadi Marxis di masa kini ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Kerumitan akan segera tampil ke hadapan kita dengan banyaknya varian-varian Marxisme baik dalam bentuk madzab pemikiran maupun aliran politik yang bermuara pada faksionalisasi kelompok. Marxisme sekarang ini telah menjadi semacam galeri besar tempat dipamerkannya berbagai macam gagasan, garis politik, buku-buku, buletin, majalah, spanduk, T-shirt, poster, pin dan aneka asesoris. Kesemua barang dan gagasan tersebut konon tetap merujuk pada satu klaim: Marxisme! Mereka bisa kita deret dalam kelompok kepartaian: Komunis, Sosialis, Sosial-demokrat, Madzab: Neo-Marxism, Fabianism, sayap-sayap tendensi: Leninis, Maois, Stalinis, Trotskyis, Spartakis, atau berdasar teritorial: Austro-Marxism, Euro-Communism dan sebagainya. Masing-masing kelompok mempunyai tradisi dan memegang tesis kebenarannya sendiri lengkap dengan klaim curriculum vitae pergerakan yang ampuh-ampuh. Dalam konstelasi Marxisme yang sarat perpecahan dan konflik internal, kini telah berkembang dalam banyak jurusan di mana masing-masing membangunan rivalitas sesamanya. Satu kelompok terkadang memerangi satu kelompok lain dengan cara yang lebih seru ketimbang memerangi kapitalisme. Inilah satu realitas yang ironis.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila cetak biru Marxisme atas desain perubahan dunia sendiri tidak tunggal, namun mencapai puluhan bahkan ratusan? Dunia yang sudah morat-marit ini tentu semakin runyam. Lebih runyam lagi dunia kontemporer yang telah berkembang maha kompleks dengan jutaan warna-warni dan tendensi ini ternyata tidak bisa dijawab hanya dengan desain tunggal. Dunia tidak bisa lagi dituntun dengan suatu pernyataan, “Masyarakat harus kita susun hanya dengan jalan sejarah menurut jari telunjuk kita.” Setiap kelompok boleh saja memegang garis keyakinan sejarahnya, namun kelompok lain dengan garis yang lain tentu berhak hidup dan memperjuangkan keyakinannya. Persoalannya hanyalah siapa yang paling tangguh dan menang dalam pertarungan multi-dimensi untuk menyelenggarakan kekuasaan dengan sebaik-baiknya. Multi-dimensi tentu bukan garis linier. Sebagaimana Karl Marx nyatakan, bahwa kenyataan berkembang bukan secara mekanik, melainkan secara dialektis. Risiko dialektika adalah perkembangan isi dan wajah dunia menjadi aneka warna, apalagi dalam dunia global tanpa batas. Dan penderitaan umat manusia kontemporer telah memasuki babak lebih lanjut dari pencapaian modernisme; dipenuhi pengeringan spiritualitas, krisis identitas, anomali, konflik manusia antar manusia, masyarakat antar masyarakat, negara melawan masyarakat, kelas versus kelas, lokal versus global, agama satu memerangi agama lainnya dan juga bangsa-bangsa.
Judul esai ini, yang merujuk pada kata ‘Marxis’, merupakan upaya untuk keluar dari konstelasi fahhpertentangan dalam tubuh gerakan kiri itu sendiri, betapapun hal ini mustahil. Tekanan ‘Marxis’ dalam konteks esai ini adalah mencoba mengembalikan pada semangat pemikiran Marxisme sebagai sumber ideologi utama yang menginspirasikan spirit pembebasan umat manusia dari kondisi ketertindasannya. Sekali lagi, esai ringkas ini hanya berupaya untuk mengembalikan spirit Marxisme yang berkonteks dengan tatanan sejarah umat manusia yang terus bergerak maju. Karena keuletan seorang Marxis adalah mereka yang tangguh dalam mengejar dinamika masyarakat beserta kontradiksinya, mereka yang getol menguji teori dan praktek secara baru dan konkrit. Bukan hanya mengusung ideologi-ideologi lama, label-label lama, partai-partai lama atau orang-orang lama ke pelataran masa kini. Kalau hanya berlaku demikian, saya dengan suka cita menyebut mereka dengan istilah ‘Marxis primitif’. Segala yang primitif tentu saja mengandung campur-baur antara sedikit takhayul, sedikit kegilaan, sedikit kenaifan dan banyak sekali karatan. Kalau mereka tidak segera menyesuaikan dengan realitas baru, hukum-hukum baru, syarat-syarat perjuangan baru, niscaya mereka hidup di suatu wilayah terra incognita, yakni realitas asing yang tak dikenali. Kesesatan revolusioner merupakan pengingkaran terhadap kenyataan; satu tahap yang bila dikembangbiakkan hanya akan jatuh dalam jurang nihilisme.
Akhir kata, kegelisahan terbesar seorang pembaharu adalah mereka yang selalu sadar berdiri di atas lantai peradaban yang kotor dan rusak; sehingga pesona perubahan yang membersihkan lantai dan merehabilitasi kerusakan lantai peradaban menjadi pencarian yang paling dalam, intim dan abadi. Untuk perbaikan dan keluhuran ras manusia, mari kita mencinta manusia dengan pertaruhkan jiwa-raga. Sebagai yang terakhir, jawab dulu satu pertanyaan ini. Jangan engkau berbohong! Apakah engkau seorang Marxis. . . . . .?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H