Mohon tunggu...
tammi prastowo
tammi prastowo Mohon Tunggu... profesional -

belajar menulis dengan jujur. email: tammi.prastowo@yahoo.com. tulisan lain ada di http://rumahdzaky.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

The Kite Runner

30 April 2010   04:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang sangat efektif untuk meluluhlantakkan tatanan sosial. Perang juga memungkinkan satu pihak menindas pihak yang dianggap musuh. Nilai-nilai agama pun bebas ditafsirkan sebagai pembenar setiap perilaku pemenangnya. Jika revolusi selalu memakan anaknya sendiri, mengapa ada yang ingin memantik apinya? Amir terlahir sebagai anak Baba, seorang ningrat Pashtun di masa sebelum perang Afganistan. Sementara Hasan hanyalah anak Ali, pelayan Baba yang berasal dari suku Hazara. Sebagai anak pelayan, sepatutnya Hasan mengabdi pada Amir. Dia melayani keperluan Amir dan menghibur hatinya ketika gundah. Kegundahan Amir disebabkan oleh festival layang-layang yang akan diselenggarakan tahun itu. Festival ini menyedot perhatian warga Kabul. Di langit Kabul layang-layang akan menari dan bertarung. Layang-layang yang berhasil bertahan itulah pemenangnya. Selain itu, kemeriahan festival layang-layang juga diwarnai persaingan anak-anak untuk mendapatkan layang-layang yang terakhir putus. Siapa yang berhasil mendapatkan layang-layang tersebut, dia layak mendapat penghormatan. Amir sedang berjuang merebut hati Baba. Amir merasa Baba tidak memberi perhatian yang dia inginkan. Hubungan Amir dengan Baba terasa kering. Kebersamaan Amir dan Baba pun tidak mendekatkan hati-hati mereka. Apalagi Baba sering membanding-bandingkan Amir dengan Hasan. Memang Hasan sering memenangkan perebutan layang-layang yang putus dalam festival tersebut. Hasan seolah tahu ke arah mana layang-layang itu akan jatuh. Akan tetapi Hasan selalu menyerahkan layang-layang tersebut pada Amir. Dia ingin Amir yang mendapat pujian Baba. Sayangnya, Baba tidak yakin bahwa itu hasil usaha Amir. Merasa harga dirinya dilecehkan, muncul dendam Amir kepada Hasan. Di festival layang-layang nanti, amir akan menunjukkan bahwa dia sanggup memenangkan perebutan layang-layang tanpa bantuan Hasan. Dia bertekad akan mengabaikan apapun bantuan yang Hasan tawarkan. Memang, Amir akhirnya berhasil membawa pulang layang-layang tersebut. Namun, keberhasilan Amir harus ditebus dengan pengorbanan termahal oleh Hasan. Dia merelakan dirinya disodomi oleh geng anak-anak nakal. Mereka anak orang kaya yang merendahkan suku Hazara. Ungkapan kasar dan hinaan mereka tujukan pada warga suku Hazara. Puncaknya ialah perbuatan nista yang ditimpakan pada Hasan. Sejak itu keceriaan Hasan hilang. Baba cemas dengan kondisi Hasan. Amir kembali merasa dirinya tidak berarti. Tatkala tentara Rusia menginvasi Afganistan, Amir harus berpisah dengan Hasan. Baba membawa Amir mengungsi ke Amerika, sedangkan Hasan bersama Ali pergi mencoba bertahan di Kabul. Walaupun jarak dan waktu telah memutus kontak mereka, Amir akhirnya berusaha mencari Hasan di Kabul. Langkah tadi ditempuh Amir setelah dia mengetahui satu rahasia besar Baba. Ternyata Hasan itu saudara seayah Amir. Itulah jawaban misteri perlakuan baik Baba kepada Hasan. Pulang ke Kabul, cari Hasan. Itulah yang Amir putuskan. Dia ingin menebus kesalahannya pada Hasan. Namun, suasana Kabul telah berubah. Milisi Taliban berhasil memenangkan perang. Mereka berusaha menegakkan syariat Islam di bumi Afgan. Terjadilah revolusi sosial yang hebat. Amir menjadi saksi perubahan yang berlangsung di sana. Amir seperti kembali ke masa silam. Dia mengejar layang-layang, berlomba dengan banyak anak, dan lagi-lagi harus menyaksikan pengorbanan Hasan untuknya. *** Khaled Hosseini begitu memukau dalam melukiskan revolusi di negeri Afganistan. Melalui jalinan kisah Amir, Khaled menyampaikan pesan moral yang sangat jelas. Novel yang sudah difilmkan dengan judul sama ini bisa dijadikan cermin bagi Indonesia yang sedang berubah. nah, beberapa yang membekas di benak coba kusampaikan padamu. Pertama, masyarakat multi etnis sangat memerlukan toleransi dan kerja sama. Perasaan superior di kelompok tertentu harus diwaspadai karena bisa memicu perpecahan. Kelompok yang merasa dirinya lebih akan terdorong untuk menindas kelompok lain. Inilah yang terjadi di Afganistan. Hampir semua pelayan yang bekerja di keluarga ningrat Afgan berasal dari suku Hazara. Karena kedudukan sosial yang rendah, mereka menjadi bulan-bulanan kelas di atasnya. Penistaan atas suku Hazara menunjukkan bahwa derajat mereka selevel binatang di mata suku Pashtun garis keras. Kedua, perang mengubah nilai dan norma sosial yang berlaku. Sebagai pemenang, milisi Taliban berkuasa untuk memaksakan penerapan syariat Islam di masyarakat afgan. Upaya ini ditempul guna memulihkan keadaan chaos yang terjadi di sana. Namun, yang menjadi masalah justru pada pihak pelaksananya. Orang-orang yang memegang senjata itu justru meraup kenikmatan sendiri atas nama agama. Hak-hak orang lain dirampas, sementara kewajiban mereka tidak dikerjakan. Akhirnya, tujuan tadi gagal tercapai. Tatanan sosial baru yang menentramkan gagal terwujud. Ketiga, rakyat kecil yang akan sangat menderita akibat revolusi sosial. Taliban berhasil menggulingkan pemerintah Afgan yang disokong Rusia. Kemenangan Taliban ini menyemaikan harapan baru di kalangan rakyat. Mereka berharap kondisi menjadi lebih makmur, kehidupan menjadi lebih tertata. Sayangnya, harapan itu masih jauh panggang dari api. Penerapan syariat Islam oleh Taliban baru menyentuh lapisan kulitnya saja. Esensinya yang berupa kehidupan yang makmur dan tegaknya keadilan terabaikan. Bahkan, mereka melakukan pembantaian terhadap suku Hazara karena sebagian besar mereka penganut Syiah. Membaca The Kite Runner membuatku tersentak. Apalagi mengingat ancaman separatisme yang muncul di berbagai wilayah Indonesia. Barangkali argumentasi pemerintah tentang pentingnya masyarakat madani tidak bisa menyusup di benak rakyat. Namun, mengingat kondisi multietnis kita, mengapa tidak mencoba menyapa hati nurani melalui novel best seller ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun