Mohon tunggu...
tammi prastowo
tammi prastowo Mohon Tunggu... profesional -

belajar menulis dengan jujur. email: tammi.prastowo@yahoo.com. tulisan lain ada di http://rumahdzaky.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Remunerasi, Berkah Berujung Musibah?

13 April 2010   04:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Rencana pemerintah untuk melakukan remunerasi bagaikan pedang bermata dua. Bagi para PNS yang bekerja di Depkeu, remunerasi bisa dipandang sebagai anugerah. Bagaimana tidak? Di tengah terus merosotnya nilai rupiah dan kecemasan sebagian besar masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka justru mendapat solusi hebat: tambahan pendapatan untuk gaji yang sudah di atas rata-rata PNS institusi lain. Kondisi semacam ini akan melahirkan timbulnya kelas sosial baru yang jauh melesat ke langit.

Menurut versi pemerintah, remunerasi merupakan ujung dari reformasi birokrasi. Keberhasilan melakukan peningkatan "pelayanan terhadap masyarakat" patut dihargai dengan peningkatan kesejahteraan para PNS di lembaga tersebut. Itu suatu niat yang mulia. Namun, pemerintah

sepertinya lupa bahwa kebijakan ini tidaklah populis, bahkan cenderung memperlebar jurang yang membentang antara sebagian kecil PNS dengan rakyat swasta. Apakah pemerintah sudah lupa dengan fenomena umum di bidang perdagangan selama ini? Baru saja rencana kenaikan gaji disampaikan, harga kebutuhan pokok sudah membumbung tinggi. Akibatnya, kenaikan gaji itu tidak membawa peningkatan kesejahteraan PNS. Yang lebih berat menanggung beban ini tentu saja pihak swasta. Mereka terseok-seok mengejar segala ketinggalan itu. Pada saat yang sama mereka juga dituntut oleh buruhnya untuk mampu mempersempit jurang kesejahteraan dengan PNS. Sayangnya, tidak banyak -sebagai penghalusan istilah- bentuk perhatian pemerintah kepada swasta. Seolah-olah mereka dibiarkan hidup sendiri, mengatasi masalahnya sendiri, dan beradu otot dengan buruhnya sendiri.

Selain itu, pemerintah tampaknya menutup mata terhadap opini publik yang berkembang. Maraknya sejumlah kasus kebobrokan kinerja aparat negara cukup dieliminir dengan ungkapan, "itu hanya ulah segelintir oknum saja." Sikap yang demikian ini dapat menjauhkan rakyat dari para pemimpinnya. Bisa-bisa muncul pemikiran keliru: siapapun presidennya, rakyat tetap sengsara. Apabila pemikiran ini terus berkembang, legitimasi pemerintah akan terkikis habis.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemerintah mengambil langkah untuk mengantisipasi dampak renumerasi terhadap rakyat. Jangan sampai rakyat mengambil sikap frontal pada pemerintah gara-gara kebijakan yang tidak menentramkan hati para pemilik mandat ini (baca: rakyat).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun