Sejak kuliah, ketertarikan terhadap dunia pendidikan sudah kumiliki. Bersama teman-teman sevisi, aku menggelar training-training bagi pelajar (SD-PT) di sejumlah daerah di Jawa Tengah. Dari pengalaman tersebut, aku membulatkan tekad untuk berkarya di bidang pendidikan. Kerja formal pertamaku adalah sebagai guru di sebuah SMA khusus putri di Kota Solo. Aku yang tidak punya pengalaman berteman dekat dengan wanita (pacaran) harus mengajar di depan murid-murid ABG putri yang lagi bersemangat mengekspresikan diri. Hari-hari itu memberi warna lain dalam lembaran hidupku.
Semula aku kira mudah mengajar di depan mereka. Apalagi mereka perempuan semua, sedangkan aku laki-laki. Tetapi, perkiraanku meleset. Mereka mencari-cari perhatian dengan berbuat usil. Akibatnya, kegiatan belajar mengajar tidak optimal berjalan. Setelah kupikir mendalam, penyebabnya ialah perbedaan jenis kelamin dan rentang usia yang tidak terlalu jauh (waktu itu usiaku 25 tahun). Kondisi ini kumaknai sebagai tantangan baru dalam mengajar. Aku perlu pendekatan lain untuk dapat menyampaikan pelajaran dengan tepat. Untuk itu aku perlu mengenal mereka lebih jauh.
Berawal dari obrolan ringan dengan mereka, aku menemukan sarana tersebut. Aku menawarkan untuk 'memotret' kondisi kejiwaan mereka dengan menggunakan tes warna. Tes psikologi ini digunakan untuk mengetahui kondisi kejiwaan seseorang dengan memperhatikan ketertarikan mereka terhadap warna. Buku dan kartu warna tersebut dulu kubeli di pasar buku bekas Gladag, alun-alun utara kraton Solo. Nah, gara-gara tes warna tersebut, banyak siswa yang penasaran. Aku kebanjiran order 'memotret' kondisi kejiwaan mereka. Dari sinilah aku menemukan celah untuk membangun motivasi belajar mereka. Pendekatan itu juga kusertai dengan penerapan teknik dan pengalaman mengisi training pelajar selama ini. Alhamdulillah, usaha ini mulai menampakkan hasil. Para siswa mau mengikuti pelajaran yang kuampu dengan lebih tertib.
Di awal tahun ajaran baru, aku berpamitan dengan keluarga besar sekolah itu. Aku akan bekerja di luar kota sebagai editor buku pelajaran. Kepergianku dilepas dengan berat hati. Bahkan aku sempat 'didemo' para murid. Mereka ingin mendapat keterangan jelas tentang alasanku mengundurkan diri sebagai guru. Agar tidak menjadi fitnah, aku sampaikan dasar pemikiranku. Bahwa aku tetap berkomitmen pada kemajuan dunia pendidikan walaupun tidak lagi menjadi guru. Dengan berkarya sebagai editor buku pelajaran, aku punya peluang besar untuk memperjuangkan komitmenku itu. Aku dapat memotivasi siswa yang belajar menggunakan buku karyaku. Aku dapat menularkan sikap dan pengetahuan yang kutahu pada mereka. Aku ingin ikut serta dalam melahirkan generasi muda Indonesia yang lebih unggul dan berguna. Semoga penjelasan itu dapat mereka pahami, walaupun mungkin butuh waktu untuk mencernanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H