Mohon tunggu...
tammi prastowo
tammi prastowo Mohon Tunggu... profesional -

belajar menulis dengan jujur. email: tammi.prastowo@yahoo.com. tulisan lain ada di http://rumahdzaky.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gadis Pantai

20 April 2010   04:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:41 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini salah satu novel Pramoedya Ananta Toer yang terselamatkan dari pemusnahan oleh rezim orde baru. Sebenarnya terdapat tiga novel lain yang menyertai novel gadis pantai. Sayangnya trilogi ini terpencar, dan saat ini baru bisa diselamatkan secara utuh yang pertama. Karena alasan tersebut dan karena pramoedya adalah penulis produktif di masa awal kemerdekaan indonesia, aku mencoba membacanya. Ternyata ceritanya mengharukan.
Gadis pantai adalah sebutan yang pram pilih untuk neneknya. Memang neneknya berasal dari pesisir utara jawa dan pernah dijadikan ‘istri percobaan’ oleh seorang kaya. Dari ‘perkawinan uji coba’ ini lahir seorang bayi perempuan yang kelak melahirkan pram.
Ada kekaguman yang diungkapkan pram terhadap gadis pantai. Walaupun tidak bisa membaca, menulis, dan mengaji, gadis pantai layak disebut wanita hebat. Di mana letak kehebatannya? Bagiku, kehebatan gadis pantai pada keberaniannya untuk menentang kehendak suaminya demi sang buah hati. Supaya pujian ini tidak hampa, kita perlu melihat konteks situasi dan kondisi saat itu.
Di awal abad ke-20, tanah jawa masih sangat lekat dengan budaya feodal. Budaya ini terbentuk dari pola hubungan antara para bangsawan jawa dengan pemerintah kolonial belanda. Golongan darah biru menempati kelas sosial atas dalam struktur masyarakat jawa. Karena sifatnya yang ekslusif, hanya bangsawan dan saudagar saja yang berhak memakai gaya hidup feodal. Salah satunya kebiasaan memiliki ‘istri percobaan’ sebelum sang bangsawan menentukan ‘istri resmi’. Wajar jika saat itu, seorang bangsawan dianggap masih bujangan karena belum memiliki istri resmi, walaupun sudah memiliki sejumlah istri percobaan dan anak-anak yang lahir dari perkawinan uji cobanya.
Adanya budaya tersebut mendorong bangsawan laki-laki rutin berburu calon istri percobaan. Jika sedang melintasi suatu desa lalu melihat ada perawan yang menggugah selera, dia akan menikahinya. Sejumlah harta benda diberikan sebagai tukon (jw: tuku artinya beli) pada bapak dan ibu si perawan. Selanjutnya anak gadisnya akan tinggal di rumah gedung sang bangsawan. Namun masa tinggal itu biasanya tidaklah lama. Begitu lahir anak dari perkawinan uji coba tadi, sang bangsawan segera menceraikannya, lalu berburu perawan baru.
Gadis pantai pernah menjadi istri percobaan seorang saudagar kaya. Dia dicabut dari perkampungan nelayan yang miskin melalui perkawinan tadi. dia menangis sedih ketika bapak dan emaknya meninggalkannya di rumah ndoro, suaminya. Itu sebuah rumah gedung bertembok tinggi dengan banyak pelayan dan beberapa anak kecil hasil perkawinan uji coba sebelumnya. Mulai saat itu gadis pantai harus beradaptasi dengan budaya rumah gedongan. Dia harus belajar membatik dan sejumlah keterampilan khas perempuan gedongan lainnya. Dia harus belajar memerintah para pelayan – sesuatu yang tidak pernah dia lakukan selama hidup bersama emak dan bapak. Dia juga harus bersikap waspada dan tidak percaya kepada siapapun di rumah itu karena kedudukannya sebagai istri percobaan setiap saat dapat dicopot. Ya, walaupun bersifat sementara, status sebagaimana yang dimiliki gadis pantai tetap diperebutkan oleh banyak orang. Sementara itu dia harus memperlakukan ndoro sebagai majikan, bukan sebagai suami. Perlakuan semacam itu tidak pernah dia pelajari dari sikap emak terhadap bapak. Sungguh suatu adaptasi yang revolusioner bagi seorang gadis pantai.
Puncak dari segala gejolak batin itu berupa sikap ndoro mengembalikannya kepada orang tuanya. Itu terjadi beberapa saat setelah anaknya lahir. Dengan diberi sejumlah harta, ndoro memintanya pergi dari rumah gedong tadi. tentu saja tanpa membawa serta anaknya. Perlakuan tersebut mendorong gadis pantai untuk berontak. Dia melawan perintah itu. Gadis pantai ingin pergi dari rumah gedong tadi bersama bayinya. Dia tidak rela anaknya akan bernasib sama dengan anak-anak lain di rumah itu.
Mendapat perlawanan semacam itu, ndoro naik pitam. Hilang sudah kasih sayangnya sebagai suami. Apalagi dia merasa sudah membayar semua yang pantas diterima oleh gadis pantai dan orang tuanya. Akhirnya, dengan menggunakan paksaan, gadis pantai digelandang ke luar pagar. Dia tinggalkan semua yang pernah dimilikinya. Harta benda yang diberikan sebagai upah dari ndoro tidak menyenangkan hatinya. Hatinya hancur lebur, menyadari anaknya - harta yang paling berharga – harus ditinggal di rumah itu.
Akan tetapi, gadis pantai masih setia hadir dalam kehidupan anaknya setelah berkeluarga. Pram, cucunya, mengenal gadis pantai hingga masa remajanya. Dia tidak pernah tahu nama asli gadis pantai. Bahkan dia tidak tahu mengapa gadis pantai menyebut ibunya – si anak hasil pernikahan uji cobanya dengan ndoro – dan pram bersaudara dengan panggilan ndoro. Yang dia tahu, gadis pantai begitu mengasihinya dalam kesahajaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun