Mohon tunggu...
tammi prastowo
tammi prastowo Mohon Tunggu... profesional -

belajar menulis dengan jujur. email: tammi.prastowo@yahoo.com. tulisan lain ada di http://rumahdzaky.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sosok Tegar di Balik Enam Brilian Tanpa Berlian

25 Juni 2010   08:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:17 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
buku yang menginspirasi

Membaca buku Menembus Batas mendorong saya mengajukan pertanyaan berikut pada anda. Jika anak pertama anda berhasil masuk fakultas kedokteran suatu perguruan tinggi terkenal di indonesia melalui jalur Penelusuran Bibit Unggul Daerah, bagaimana perasaan Anda? Jika anak kedua anda berhasil mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan studi ke fakultas kedokteran, bagaimana perasaan anda? Saya yakin anda tentu merasa sangat bahagia dan bangga. Mengapa tidak? Profesi dokter masih dianggap prestisius bagi sebagian besar orang. Apalagi biasanya mereka yang berprofesi dokter juga berpeluang untuk hidup lebih makmur di lingkungannya. Sekarang bayangkan kondisi berikut. Anak pertama dan anak kedua anda memutuskan untuk tidak mengambil kesempatan langka itu. Anak pertama anda merasa tidak cocok mempelajari ilmu kedokteran Dia memutuskan ikut SNMPTN di tahun berikutnya. Rupanya dia ingin masuk jurusan teknik di UGM. Sementara anak kedua menolak kesempatan itu karena ingin belajar teknik mesin di ITB. Bagaimana sikap anda? Anda tentu memiliki sikap yang berbeda-beda jika diungkapkan. Begitu juga sikap yang diambil Budi Setiadi, seorang bapak yang telah mengalami sendiri dua kondisi tersebut. Dia menghargai pilihan sikap anak-anaknya. Padahal bagi sebagian orang, sikap tersebut terasa tidak logis. Saya sendiri juga heran dengan pilihan sikap tersebut. Namun, dengan membaca buku Menembus Batas ini, kita akan mendapatkan gambaran kehidupan Pak Budi dan latar belakang pemikirannya. Bapak yang Selalu Optimis Budi Setiadi terlahir sebagai anak tentara di solo. Karena bapaknya sering berpindah-pindah tugas, dia merasa kurang mendapat kasih sayang orang tua. Akan tetapi, sejarah hidup yang suram justru mendorong Pak Budi mengubah sikap terhadap anak-anaknya. Pak budi menganggap anak sebagai amanah dari ALLAH yang harus dijaga dan dirawat dengan baik. Anak perlu dibesarkan dengan kasih sayang penuh dari orang tuanya. Dari pemikiran tersebut, dia tergerak untuk mencari ilmu tentang mendidik anak secara benar. Selanjutnya, dia coba praktikkan hal tersebut pada anak-anaknya. Ternyata tidak mudah mempraktikkan pemahaman tersebut. Ada banyak faktor yang mempengaruhi upaya pak budi. Kesulitan hidup menjadi salah satu faktor yang kerap menghadang langkahnya. Sehari-hari Pak Budi bekerja sebagai petugas penarik iuran Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK). Di waktu lain, dia bekerja serabutan. Dari dua aktivitas tersebut, dia mendapat penghasilan sekitar 450 ribu rupiah setiap bulan. Penghasilan itulah yang harus dibelanjakan untuk mengupayakan kesembuhan istrinya dan membiayai keenam anaknya. Oya, istri pak Budi sejak tahun 1995 menderita infeksi pada otak. Bahkan, sempat dua tahun bu Budi hanya tergolek lemah di tempat tidur. Selama istrinya sakit, pak Budi sendiri yang harus mengatur keluarga dan memenuhi kebutuhan keenam anaknya. Dia mengurus urusan rumah tangga, menyiapkan sekolah anak, menemani belajar mereka, serta mencari nafkah. Tantangan lain yang dihadapi pak Budi berasal dari lingkungan tempat tinggal. Keluarga pak Budi tinggal di lingkungan yang tidak memandang penting pendidikan akademis dan agama. Mereka mencemooh upaya pak Budi yang terus memotivasi anak-anaknya meraih cita-cita. Namun atas izin ALLAH, anak-anak pak budi berhasil mempertahankan prestasi belajarnya. Mau bukti? Sholihah, anak pertama, berhasil lulus sebagai sarjana teknik UGM dalam waktu empat tahun. Dia sekarang sedang melakukan penelitian untuk meneruskan studi ke jerman. Walidah, anak kedua, mendapatkan bea siswa untuk belajar teknik mesin di ITB. Hafidzur Rohman al Makhi, anak ketiga, tengah meneruskan studi di teknik geodesi UGM. Malina Mar’atush Sholihah, anak keempat, mendapat bea siswa selama bersekolah di MA. Abdullah Yahya, anak kelima belajar ke sekolah Smart Ekselensia Indonesia Bogor. Dia mendapat bea siswa untuk meneruskan studi hingga selesai kuliah. Sedangkan Aulia Khoirun Nisa’, anak keenam, sedang belajar di kelas 4 SD dan masuk program khusus bagi siswa berprestasi. Semua prestasi tersebut menyadarkan warga di sekitarnya akan arti penting pendidikan bagi anak. Kunci Rahasia Sukses Bagaimana pak Budi mengupayakan hal tersebut? Jawaban pertanyaan tersebut menjadi inti pokok buku Menembus Batas. Di sini kita akan menjumpai sejumlah tip yang biasa disampaikan para pakar pendidikan anak. Namun yang lebih menarik ialah paparan tentang upaya Pak Budi menerapkan saran-saran tersebut. Berikut beberapa contoh yang bisa anda jumpai. 1. Bekal kecerdasan setiap anak berbeda-beda Setiap anak diberi bekal kecerdasan yang berbeda-beda oleh ALLAH. Potensi anak akan tumbuh berkembang atau layu tergantung pada perlakuan orang tua terhadapnya. Mendidik anak bagaikan menyemaikan bibit yang diharapkan tumbuh dengan subur. Orang tua harus memutar otak untuk menemukan cara yang paling baik guna memelihara dan merawat bibit tersebut. Hal ini tentu memerlukan energi dan kesabaran yang sangat besar. “Bibit yang istimewa bila tidak diberi pupuk dan dirawat dengan baik, akan menghasilkan buah yang biasa-biasa. Bahkan bisa lebih buruk. Sedangkan bibit yang biasa bila diperlakukan dengan baik, akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa,” kata Pak budi. 2. Optimalkan kecerdasan anak Pak Budi meyakini bahwa kecerdasan bahasa itulah yang harus mula-mula diasah oleh anak. dengan bahasa, segala informasi yang masuk ke dalam otak anak akan dapat diproses secara baik dan diterima dengan pemahaman utuh dan benar. Bercerita menjadi metode yang dipilih pak budi untuk mengembangkan kecerdasan berbahasa anak-anaknya. Bercerita memungkinkan dia menyampaikan berbagai pesan positif dengan cara yang menarik hati. Terkadang, anak-anak yang dimintanya bercerita tentang pengalaman hari itu. Dari cerita yang disampaikan, orang tua dapat mengetahui tingkat imajinasi dan kekuatan memori sang anak. Selain bercerita, anak juga mengasah kecerdasannya melalui permainan. Pak budi memberi keleluasaan pada anaknya untuk bermain selama fase bermain. Menurutnya, dengan bermain anak sedang mempelajari hal-hal yang ada di sekitarnya. Aktivitas ini akan mengembangkan kemampuan otaknya untuk menganalisis suatu hal. Supaya kecerdasan anak berkembang optimal, orang tua harus mengembangkan interaksi yang dilandasi rasa kasih sayang kepada anak-anaknya. 3. Temukan metode belajar yang tepat bagi anak Pak Budi memiliki metode sendiri saat menemani belajar anak-anak. Dia tidak menyuruh apalagi memaksa anak-anak belajar. Yang dilakukannya hanya mengajak mereka untuk belajar. Cara yang dipilihnya juga halus. Pak Budi tidak melakukannya secara lisan, tetapi mencontohkannya dengan perbuatan. Selain itu, pak Budi selalu membiasakan anak-anak untuk belajar mempersiapkan diri sebelum berangkat ke sekolah. Dia tiga kali dalam seminggu menemani anak-anak untuk belajar. Paling tidak pak budi membahas materi yang akan diajarkan guru hari itu. Dengan cara ini anak-anak pak Budi siap menghadapi ujian tanpa perasaan tertekan. 4. Jangan batasi cita-cita anak Pak Budi tidak pernah membatasi cita-cita anaknya. Buktinya seperti yang dia lakukan terhadap Sholihah dan Walidah. Mereka diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hidup walaupun sebenarnya sudah mendapat tiket untuk belajar ilmu kedokteran. Terhadap Nisa, anaknya yang terkecil, sikap pak Budi pun sama. Dia tidak mencemooh ketika bocah kelas 4 SD ini bercita-cita belajar ilmu kedokteran di Harvard University. Menurut pak Budi, “biarkan anak-anak menggantungkan cita-cita setinggi langit. Jangan takut karena kita tidak pernah tahu rejeki orang. Jadi, jalani saja dengan doa dan dukung cita-citanya sehingga anak tidak tertekan dan semakin termotivasi." Kita masih akan menemukan sejumlah tip lainnya dalam buku ini. dengan kemauan keras dan ketekunan, pak Budi berhasil membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi bukanlah perangkap untuk membatasi cita-cita sang buah hati. Inilah yang bisa menjadi inspirasi bagi kita. Selama ini kita yakin bahwa pendidikan menjadi jembatan emas melakukan mobilitas sosial. Perjuangan Pak Budi dan keluarga merupakan bukti nyata yang terpampang di depan mata. Di tengah semakin mahalnya biaya untuk mengakses pendidikan berkualitas, kita disadarkan untuk menjadi guru utama bagi buah hati harapan kita. Bagi saya, pak Budi meneladankan sikap tawakal setelah berusaha keras sekuat tenaga. Kepasrahan yang tulus kepada ALLAH swt justru menunjukkan titik terang dari masalah yang tengah dihadapi. Jadi, ikhtiar dan tawakal harus berjalan seiring. Sebuah pepatah bijak mengatakan, “orang lemah yang optimis, lebih baik daripada orang yang mampu namun pesimis. Optimis sering mengubah kelemahan menjadi sebuah kekuatan.” *** NB: mohon maaf, saya baru bisa mengunggah catatan ini sekarang karena baru selesai ikut pembahasan konsep buku tadi jam 15.30.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun