Mohon tunggu...
tammi prastowo
tammi prastowo Mohon Tunggu... profesional -

belajar menulis dengan jujur. email: tammi.prastowo@yahoo.com. tulisan lain ada di http://rumahdzaky.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Selicik Arok, Selicin Dedes

20 April 2010   00:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer memang pernah dilarang oleh rezim pemerintah orde baru. Pada waktu itu berlaku logika bumi hangus. Artinya, jika seseorang dianggap bersalah, maka segala yang berhubungan dengan orang tersebut harus disingkirkan. Karena Pram dituduh sebagai antek PKI lewat organisasi Lekra, maka segala hasil karyanya harus dimusnahkan. Pram sendiri diasingkan di Pulau Buru selama sekian tahun. Selama dalam masa pembuangan, Pramudya tetap aktif menulis. Salah satu karya yang dihasilkan di tempat pembuangan adalah Arok Dedes ini.
Aku sengaja membaca buku tersebut untuk mengetahui apa yang membuat penguasa orde baru begitu takut dengan pemikiran Pram. Maklum, sebagai anak hasil doktrinasi pendidikan era Orba, aku tidak berani menentang arus. Sekarang, setelah aku berhasil membunuh harimau-harimau imajiner yang mengaumkan ancaman, aku mencoba melihat dari sudut pandang lain. Dalam pemahamanku tidak ada hal yang perlu ditakuti karena novel tersebut bercerita tentang dedes dan upaya arok menjungkirkan kekuasaan tunggul ametung. Namun, ada beberapa hal yang kemudian menjadi catatan di benakku.
1. Penguasa Kediri berupaya menyakralkan Raja Erlangga guna memperkokoh kekuasaan. Ini dilakukan melalui perintah pada rakyat untuk memuja Dewa Wisnu. Pada saat yang sama, rakyat juga harus meninggalkan pemujaannya terhadap Dewa Syiwa dan Dewi Durga. Karena kedua dewa terakhir itu merupakan pujaan kasta brahmana, lahirlah perlawanan mereka terhadap kasta ksatria (penguasa). Apalagi aturan triwangsa dilanggar oleh penguasa. Seorang berstatus sudra bisa naik ke kasta ksatria jika dia dianggap berjasa oleh penguasa. Hal ini dialami sendiri oleh tunggul ametung (ini nama jabatan yang disandang oleh orang yang memimpin suatu daerah, bukan nama orang). Dia semula hanyalah sudra yang gemar merampok harta orang lain. Berkat keberaniannya, dia dipercaya penguasa kediri untuk menjadi tunggul ametung.
2. Kasta Brahmana tidak suka wayang. Selama ini pemahaman awam tentang wayang selalu dikaitkan dengan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Wayang dengan para dewa di kahyangan disebut secara serampangan sebagai kesenian ‘resmi’ agama Hindu. Oleh Wali Sanga, wayang tersebut disesuaikan dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam sehingga berkembang seperti bentuknya yang sekarang. Nah, jika wayang identik dengan Hindu, mengapa kasta brahmana justru menolak pertunjukan wayang? Dari dialog antara Dedes dengan embannya, aku mengetahui alasannya. Rupanya kaum brahmana menganggap titah manusia ini tidak sepatutnya mempersonifikasikan para dewa. Dewa itu suci dan terlalu tinggi untuk disejajarkan dengan manusia. Apalagi dalam cerita wayang, dewa ditempeli pula dengan sifat-sifat manusiawi seperti lupa, kecewa, marah, dan terbakar nafsu birahi. Bagi kaum brahmana, semua ini dinilai sebagai suatu pelecehan.
3. Budaya suap, korupsi, dan nepotisme sudah lazim dilakukan di waktu itu. Raja di kediri meminta upeti dari para bawahannya –termasuk tunggul ametung- sebagai tanda kesetiaan mereka. Nah, agar dapat mempersembahkan upeti yang besar, tunggul ametung membuat sejumlah kebijakan yang merugikan rakyat. Mereka dipaksa membayar pajak yang mencekik leher. Kaum paria –orang tanpa kasta, misalnya gelandangan atau narapidana- dipekerjakan di pertambangan emas milik tunggul ametung dengan tidak manusiawi. Kematian mengancam jiwa mereka setiap saat akibat penyakit, kelaparan, atau kebengisan para penjaga.
4. Tidak ada yang abadi dalam politik. Koalisi antara tunggul ametung-belakangka (penasihat pemerintahan, utusan dari Kediri)-para prajurit ternyata rapuh. Upeti yang gagal sampai ke Kediri membuat tunggul ametung dipertanyakan kesetiaannya oleh Kediri. Bayang-bayang serbuan tentara Kediri membuat sebagian panglima desertir dan menyeberang ke Kediri. Kondisi lemah itu mengobarkan keberanian kelompok Mpu Gandring untuk merebut kekuasaan. Di bawah pimpinan Kebo Ijo, panglima dan prajurit yang bergabung dalam kelompok Mpu Gandring merampok rakyat dan merayakan kemenangannya atas tunggul ametung. Namun, kemenangan itu hanya berlangsung sekejap. Pasukan Arok segera menggulung kelompok Mpu Gandring.
5. Arok adalah jago para brahmana dalam menghancurkan tunggul ametung yang mewakili kekuasaan Kediri di Tumapel. Walaupun asal usulnya tidak jelas, Arok telah membuktikan dirinya sebagai murid yang cerdas. Dia berguru ke sejumlah brahmana terkemuka. Sejak remaja dia dan gerombolannya sering merampas upeti yang akan dikirim Tumapel ke Kediri. Berkat reputasi tadi, para brahmana mempercayainya mengemban tugas suci tadi.
6. Dedes bukanlah wanita lemah walaupun gagal melawan saat diculik tunggul ametung. Sebagai seorang keturunan brahmana, Dedes mendapat didikan yang baik. Yang disampaikan bapaknya termasuk bibit kebencian terhadap kasta ksatria. Dengan mengandalkan pesona pribadinya, Dedes membalut tipu daya guna mengurangi kekuasaan tunggul ametung dari dalam. Konspirasi antara Arok dan Dedes berhasil menyingkirkan kekuasaan tunggul ametung dengan meminjam tangan kebo ijo. Mereka lalu menikah dan berkuasa di Tumapel.
Melihat materi cerita tersebut, sebagian pembaca terdorong untuk mengaitkannya dengan tragedi G30S di tahun 1965. Sepak terjang Arok mencerminkan polah tingkah panglima Kostrad saat itu. Arok menjadi dalang atas skenario perebutan kekuasaan di Tumapel. Selanjutnya, dia mengadu domba pihak-pihak yang bertarung memperebutkan kekuasaan. Setelah hancur, naiklah Arok sebagai pemimpin Tumapel dengan mendapat legitimasi dari kaum brahmana. Jika kita harus belajar dari sejarah, apakah yang perlu dilakukan agar kita tidak mengulang sejarah pahit di masa lampau?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun