Gadis itu duduk mengamati. Dirasanya matahari bersinar terik, panasnya membuat orang-orang yang terkena sinarnya bercucuran keringat. Suara mesin kendaraan saling sahut-menyahut. Udara dipenuhi kabut abu-abu yang menyesakkan napas. Bunyi klakson yang segera berbunyi begitu kendaraan tak bisa melaju, kendaraan yang dikendarai pengemudi penuh emosi yang duduk di kursi kemudi.
Gadis itu punya mimpi. Mimpinya berawal saat duduk di kursi penumpang. Mengamati lingkungan tempat mobilnya terjebak kemacetan melalui kaca yang membuatnya tak bisa terlihat dari luar. Dilihatnya, dewasa maupun muda, laki-laki maupun wanita, tuna maupun normal, menggunakan segala cara untuk menghasilkan sesuap nasi. Mereka bernyanyi, meski hanya mendapat seporsi nasi. Mereka meminta simpati, meski tak semua berbelas kasih. Mereka berdagang, meski tak mendapat seberapa. Sedih rasanya, mengingat bagaimana ibukota seharusnya melambangkan identitas negara.
Gadis itu punya mimpi. Orang selalu bilang mimpinya mustahil tercapai, mimpinya terlalu naif.
Gadis itu punya mimpi. Ia bersikeras, tidak akan menghapus mimpinya. Karena baginya, mimpi ini bukan hanya untuknya.
Gadis itu punya mimpi. Ia bermimpi untuk membangkitkan ibukota, ia bermimpi untuk membangkitkan Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H