Berdesak-desakan saat menggunakan moda tranportasi umum tentu bukan hal yang perlu dikeluhkan. Tidak tersenggol, kurang afdol. kira-kira demikian frasa kalimat yang bisa membuat sedikit lega manakala kaki tidak sengaja terinjak oleh penumpang lain. Atau sekedar terdorong ke samping kanan kiri karena kereta atau bus penuh sesak. Apa mau dikata, tak sekedar maklum tapi kita pun seperti sudah mahfum dengan keadaan.
Teringat zaman kereta api jarak jauh masih belum maksimal dalam pelayanan. Duduk di bordes atau melantai dengan menggelar koran pun jadi. Semua itu demi perjalanan yang bisa mengantarkan hingga ke tempat tujuan. Begitu juga dengan kereta jabodetabek atau yang lebih dikenal dengan Commuter line. Sedari subuh hingga lewat jam masuk kantor pukul 10.00 pun kereta dari Bogor arah Jakarta Kota atau Tanah Abang tetap saja berjubel.
Bersabar dalam sesaknya penumpang tentu sudah biasa bagi pengguna setia commuter line. Â Kondisi yang nyaris sama juga tampak pada pengguna Trans Jakarta. Antrian panjang tiap pagi di beberapa shelter seperti Harmoni, Dukuh Atas, Tosari, Blok M membuat saya menyebutnya 11-12 dengan kondisi pengguna Commuterline di beberapa stasiun, sebut saja Depok-Manggarai-Sudirman-Tanah Abang. Serupa tapi tak sama , begitu kira-kira.
Kereta malam berangkat tepat pukul 22.30. Tampak laki-laki muda sudah terlebih dulu duduk di kursi dekat jendela persis disebelah saya. Demikian juga dengan kursi yang berhadapan sudah diisi oleh 2 penumpang yang lebih dahulu datang. Praktis saya perempuan diantara 3 penumpang laki-laki. Dalam hati berdoa semoga 2 penumpang di bangku samping saya dan di depannya adalah perempuan.
Sesaat setelah pengumuman keberangkatan kereta yang tinggal beberapa menit lagi, tergopoh-gopong sepasang muda-mudi (lelaki perempuan) yang membawa travel bag. Kabin penyimpanan barang diatas tempat duduk yang terbuat dari teralis besi tampak penuh. Travel bag pun mereka paksa masuk dalam kolong dibawah tempat duduk. Kereta berangkat malam itu membawa wajah-wajah lelah setelah seharian beraktifitas di ibukota. Berharap perjalanan malam akan merubah lelah begitu tiba di kota Jogja sana.
Kereta berderit pelan meninggalkan stasiun pemberangkatan. Sepasang penumpang yang datang terakhir tadi tampak sibuk membongkar tas selempang. Tampak kabel menjlur panjang. Tak hanya satu, melainkan dua sekaligus. Bahkan perjalanan malampun tampaknya tak mampu membuat penumpang kereta melupakan urusan gadgetnya. Aku meilirik ke stop kontak samping kiri. Tampak semua sudah terisi oleh penumpang yang lebih dulu sigap, meski mata mereka kemudian terlelap.
"Permisi"Â ucap penumpang lelaki yang justru memilih duduk di sampingku dan membiarkan perempuan duduk disamping penumpang laki-laki.
Tangannya mengulurkan kabel ke arah stop kontak. Tak hilang akal mereka bahkan mungkin sudah menjadi bekal saat mereka membawa portabel stop kontak yang berisi 3 colokan. Artinya mereka tetap bisa menggunakan stop kontak tersebut untuk sumber charger hape mereka. Dalam diam saya mengakui, alangkah kreatif dan preventifnya mereka.Â
Saya pun mencoba memejamkan mata mengingat perjalanan masih lumayan lama. Tanpa dinyana, bunyi pertanda batre hape lemah terdengar lebih dari sekali. Sedikit terganggu, saya melihat hape yang sedari tadi berada dalam tas. Aman, batre masih lumayan meski harus saya akui harus tetap di charge jelang pagi nanti sebelum kereta tiba di Stasiun Lempuyangan Jogya.Â
Rupanya suara lemahnya batre berasal dari penumpang disamping saya. Meski sempat lelap, urusan hape membuatnya terbangun dan mencoba mencari sumber listrik. Melihat stip kontak yang tersedia di sampingnya penuh. Lesu dia meninggalkan hape dan chargernya di meja kecil tempat menaruh minuman. Persis diatas stop kontak. Sungguh saya geli. Agaknya dalam gerbong kereta api, Â toleransi masa kini itu berwujud antri dalam men-charge Hape. Sebab saya pun ikut antri menunggu giliran.