Jika ditanya hal apa yang dirindukan dari kampung halaman?, selain kedua orang tua pastinya aneka jenis makanan otentik yang hampir belum pernah saya temui di daerah lain, selain kampung halaman. Ya, Tegal identik dengan kuliner ternama melalui brand warteg alias warung Tegal yang sudah cukup dikenal. Sebagai orang yang hobby makan, menikmati kuliner lokal akan menciptakan ruang kerinduan.
Sekian banyak kuliner Tegal bercita rasa otentik seperti Tahu Aci, Kacang Bogares, Pilus sekarang ini telah banyak dijual di luar Tegal. Kita bisa dengan mudah membelinya. Terlebih era digital membuat kita mampu melipat jarak membeli kuliner otentik cukup berbekal telepon pintar. Namun ada satu kuliner yang hanya bisa dijumpai di kampung halaman, yakni rujak teplak
Siapa pernah mencicip rujak teplak? Dari namanya saja bisa dipastikan membuat orang menyergit. Kira-kira jenis rujak macam apa yang sekarang menjadi kuliner langka di wilayah Tegal? Bagi warga Tegal, keberadaan rujak teplak adalah sebentuk khasanah kuliner lokal yang keberadaannya harus terus dipertahankan. Tak seperti warteg yang bertumbuh hampir disemua daerah, rujak teplak hanya bisa didapat di Tegal yang menjadi kampung halaman.
Seperti halnya rujak pada umumnya, bahan utamanya terdiri dari aneka sayur rebus. Keistimewaannya terletak pada sambal yang berbahan singkong. Tentu saja tetap dicampur dengan cabai merah dan aneka bumbu sehingga rasanya senantiasa menimbulkan kerinduan untuk mengunyahnya. Selain sambal berbahan dasar singkong yang direbus kemudian dihaluskan, ada tambahan sambal yang membuat bumbu rujak teplak kian istimewa. Pertama bumbu kelapa cair bercita rasa gurih, dan sambal pedas. Ketiganya menjadi toping diatas aneka sayuran rebus yang segar menggoda selera.
Aneka sayur rebus rujak teplak  biasanya terdiri dari kangkung, lengguk (daun ubi jalar), kacang panjang yang dipotong ukuran korek api, kubis, tauge, pare hingga beberapa jenis sayuran khas seperti kembang turi, kecipir dan pedoyo (timun yang sudah direbus matang). Cukup lengkap bukan sayur mayur dalam rujak khas kampung ngapak satu ini?. Sepintas mirip pecel madiun, namun bumbunya jelas berbeda.
Sewaktu kecil dulu penjual rujak teplak pada umumnya sudah berusia lanjut. Penjual rujak teplak menggunakan gerabah bambu yang digendong dengan selendang. Mereka menjual rujak teplak dengan berjalan kaki keliling kampung. Â Beberapa diantaranya menjual rujak teplak di tengah pasar. Â Busana yang dikenakan adalah kain jarik batik dengan kebaya. Tak jarang penjual rujak teplak bahkan masih melakukan tradisi "nginang", Â mengunyah pinang sirih sembari menunggu pembeli. Bibir mereka berwarna merah bata, bukan karena lipstik melainkan karena proses pewarna alami dari proses nginang yang diakhiri dengan meletakkan gulungan kecil tembakau di sudut bibir.
Generasi penjual rujak teplak sepertinya mengalami perubahan menyesuaikan zaman. Penjual rujak teplak era saat ini berusia tidak terlalu tua, namun juga tidak terlalu muda. Mbak Iya dari Lawatan. Perempuan yang memasuki awal paruh baya itu menggunakan sepeda motor yang telah dimodifikasi menjadi semacam etalase untuk menjajakan rujak teplak. Masih ditambah dengan brand tulisan rujak teplak di bagian belakang.
Siang itu, kerinduan akan rujak teplak terbayarkan dengan hadirnya mbak Iya. Namun setelahnya kembali memendam rindu yang terkadang sendu akan cita rasa yang belum pernah saya jumpai di daerah perantauan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H