Lelaki tegap itu memandang kejauhan. Bias cakrawala di Pantai Lampuuk tampak membiru sejauh mata memandang. Debur ombak, Pasir putih dan lekuk perbukitan kapur  menjadi satu kesatuan pemandangan yang menggoda siapa saja yang bertandang.
Ingatannya melayang ke sebuah masa yang suram. 17 tahun lalu saat ia bersama Abu, Mak, dan Cupo. Lekat dalam ingatanya saat Cupo berulang tahun dan meminta hadiah. Abu berjanji merayakan rasa syukur pertambahan usia anak perempuan pertama mereka ke sebuah tempat yang indah. Berangkat sebelum subuh, dan singgah terlebih dahulu untuk ibadah shalat di masjid terdekat.
Sedari malam Mak sibuk menyiapkan bekal. Memasak Ayam tangkap kesukaan Cupo lengkap dengan nasi gurih. Tak lupa masakan kegemaran Abu, Ungkot Kemamah yang dibuat dari ikan tuna pemberian Mak Syik.
Satu  ekor ayam jantan disembelih oleh Abu dengan doa-doa lengkap. Ayam tersebut kemudian dipotong menjadi 12 bagian. Kemudian Mak menambahkan setangah panci dengan  4 lembar daun pandan, tak lupa  4  4 tangkai daun salam koja,  1/2 sendok makan air asam, 2 sendok teh garam 1/4 sendok teh merica bubuk.
Agar aroma ayam tangkap kian istimewa Mak menambahkan bahan daun pengharum yang terdiri dari  3 lembar daun pandan, potong kecil-kecil 8 tangkai daun salam koja, 6 lembar daun jeruk, 2 lembar daun kunyit yang dibuang tulangnya. Dan makin nikmat dengan  potongan kecil 4 buah cabai hijau besar,
Olahan ayam khas tanah rencong ini pun makin nikmat dengan bumbu yang dihaluskan. Â 8 butir bawang merah 3 siung bawang putih 3 buah cabai rawit merah 4 cm kunyit, bakar 3 cm jahe yang sudah ditumbuk halus dimasukkan dalam rebusan ayam hingga air menyusut, meresap dan ayam menjadi lunak.
 Sembari melongok dapur memastikan ayam tangkap lekas siap untuk dibawa menjadi bekal, Cupo bolak balik mengingatkan Abu, tidak mau kalo hanya diajak ke pantai Lho-Nga, bosan begitu kira-kira. Mengingat Lho-Nga adalah tanah dimana mereka lahir dan bertumbuh selama ini.
"Agam, bek eh Jula That",
"Besok kita ke Lampuuk" Bisik Mak sebelum terlelap.
Tak ada firasat sedikitpun hingga pagi menjelang. Semua bersiap sedari sebelum kumandang adzan subuh. Abu menyeruput Sanger buatan Mak sebelum memanaskan mesin labi-labi, dan menyuruh kami bergegas masuk ke labi-labi yang selama ini begitu menghidupi.
Cupo duduk di depan menemani Abu. Sementara si kecil Agam Bersama Mak duduk di belakang. Keranjang bekal berisi aneka makanan untuk sarapan dan tas berisi baju ganti Mak letakkan di pojok belakang kemudi. Pintu belakang labi-labi sengaja tidak ditutup.
Hari ini, Abu punya niat mengantarkan para pedagang pasar yang berangkat sebelum subuh dengan cuma-cuma. Tak ditariknya bayaran seperti hari biasa. Sebab hari ini hari istimewa, hitung-hitung berbagi berkah sebagai ungkapan rasa syukur karena Cupo genap berusia 7 tahun.
Dan benar saja, dalam perjalanan Lhok Nga menuju Lampuuk yang hanya berkisar 10-15 menit, ada beberapa warga yang ikut menumpang labi-labi.
"Teurimong gaseh beh", penuh suka cita mereka turun dari labi-labi tanpa membayar tarif seperti biasanya.
Abu dan Mak pun dengan suka cita mengajarkan pada Cupo dan Agam makna berbagi pada sesama. Kumandang Adzan menggema di Tanah Rencong. Pelataran masjid Lampuuk menjadi tempat pemberhentian labi-labi berwarna hitam. Keluarga Agam khusuk menjalankan kewajiban seraya berucap syukur atas limpahan kebahagiaan.
"Mak, Lapaar" Cupo mulai merengek.
"Sebentar kita sarapan di pantai saja" begitu jawab Mak sembari menggandeng Agam.
Cukup lama mereka berada di Masjid, selesai subuh ada tausiah yang lumayan Panjang dari ulama setempat, dan sempat membuat Agam mengantuk akibat bangun terlalu pagi.
Matahari telah muncul dengan sinar keemasan. Keluarga Agam bergegas menelusuri jalan menuju pantai Lampuuk. Abu menggelar tikar anyam diatas hamparan pasir putih, tak seberapa jauh dari gurumbul pinus. Mak membuka isi keranjang, menata piring seng, gelas plastik dibantu oleh Cupo.
Abu menanyakan apakah Sanger dalam termos tidak tertinggal di rumah, sebab sanger sudah menjadi minuman yang kenikmatannya mendarah daging bagi Abu yang setiap hari mengemudi labi-labi.
Perpaduan aroma Ayam tangkap dan nasi gurih, hidangan yang membuat perut cupo makin keruyukan. Mak menyuapi Agam yang ingin lekas bermain pasir. Dia berbisik, bolekkan meminjam sendok untuk mengeruk pasir-pasir di pinggir pantai.
Mak mengangguk pelan dan memberi syarat harus makan dulu biar tidak masuk angin. Cupo terlihat beberapa kali mengambil potongan ayam tangkap buatan Mak. Menu yang dipesan olehnya dihari ulang tahun. Satu Ekor ayam kampung dimasak dengan aneka bumbu rempah ala Aceh menjadi olahan ayam tangkap buatan Mak yang sudah pasti enak.
Agam kecil berusia lebih dari 4 tahun tengah asyik mengeruk pasir. Sementara Cupo, Kakak perempuan bernama Ahya Keumala menelusur bibir pantai mencari aneka cangkang kerang untuk dibawa pulang. Dua anak kecil yang dimanjakan oleh alam semesta.
Badan kecil si Agam terguncang dengan kuatnya. Suara pekikan takbir lamat-lamat dia dengar. Matanya begitu berat dia buka. Ada Suara anak-anak menangis kencang. Hempasan air membuat tubuhnya melayang diantara benda-benda yang tak ia kenal. Sementara tangannya masih memengang erat sendok yang id gunakan untuk mengeruk pasir. Sendok itu pula yang digunakan Mak untuk menyuapinya nasi gurih dan ayam tangkap.
Hanya itu sepenggal memori yang diingat. Hingga saat dia membuka mata, tak dijumpainya Abu, Mak dan Cupo. Agam Kecil tak paham apa itu Tsunami. Yang dia rasanya hanya sakit dibagian lengan. Badannya lecet-lecet dengan perban putih membalut kepalanya. Agam tak bisa bertanya ada apa dan dimana keluarganya? Matanya terus mencari sosok Abu, Mak dan Cupo diantara deretan orang-orang yang mengalami luka. Namun kosong, tak dijumpainya.
Seminggu sudah Agam dirawat di tenda darurat dengan gambar bulan sabit merah. Hampir setiap hari Agam menangis sama persis dengan beberapa anak seusianya yang terpisah dari orang tua dan keluarganya. Hanya ada banyak Teuku dan Nyak yang bergantian memeluk anak-anak saat menangis, memberi permen, coklat atau mainan.
Agam kecil kemudian dipindah ke Banda Aceh bersama teman-temanya tanpa pernah bertemu dengan keluarganya. Sebulan kemudian, Agam kecil dipertemukan dengan Mak Cek dan Ayah Ngoh yang merupakan adik dari Mak. Mereka selama ini tinggal di Medan sengaja datang menjemput Agam di pusat trauma center untuk anak-anak korban Tsunami.
Tiga minggu Agam kecil menjadi saksi dasyatnya Tsunami Aceh. Kehilangan Abu, Mak dan Cupo serta tak bisa lagi melihat labi-labi hitam. Beruntung Agam diajak pindah ke Medan di tempat sepupunya berada. Mak Cek dan Ayah Ngoh perlahan memberi penjelasan pada Agam, mengajak Agam berdoa untuk Abu, Mak dan Cupo yang telah berada di Surga.
Agam kini telah tumbuh dewasa. Dia paham akan peristiwa Tsunami Aceh yang merenggut keluarganya. Ikhlas dan masih membekas dalam ingatannya. Hari dimana Cupo berulang tahun, 26 Desember sekitar pukul 8 Pagi dia memilih kembali kehadirat Ilahi dihantarkan oleh dasyatnya Tsunami.
Dan setiap tahun di tanggal bulan dan jam yang sama, Agam akan merasakan desir angin di Pantai Lampuuk. Lamat-lamat mulutnya menyampaikan pesan kerinduan kepada Abu, Mak dan Cupo diantara debur ombak. Doa dari seorang anak yang kehilangan keluarga. Jarak membentang antara Surga dan Bumi yang kini ia tempati seorang diri.
Teriring Doa kepada korban Tsunami Aceh 2004
Alfatekhah..
Â
Kosakata Lokal :
Abu : Bapak
Mak : Ibu
Cupo : Kakak Perempuan
Bek eh jula that : Jangan Tidur Terlalu Malam
Labi-labi : Angkutan KotaÂ
Sanger : Kopi Susu Racikan Khas Aceh
Teurimong gaseh beh : Terima Kasih Banyak
Ayam Tangkap : masakan khas Aceh berbahan dasar ayam dengan bumbu rempah dengan aroma pandan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H