Pernah juga sih beberapa kali ngabuburit ke desa tetangga, dari Tegalwangi ke Pepesan sekedar membeli takjil.Â
Atau tak jarang berjalan kaki hingga ke Desa Kaligayam, menguji keberanian dalam menyebrang jalan raya Pagongan. Ah ya, anak-anak jaman old kerap ditempa oleh suasana alami sekitar. Maklum saja, jaman itu belum ada gadget, PlayStation. Pun belum banyak yang memiliki games wacht.
Jika terlalu jauh saya dan teman-teman ngabuburit terkadang pulang ke rumah harus dengan berlari agar saat adzan Maghrib sudah sampai rumah.
Entah kapan kenangan masa kecil saat Ramadan itu terulang. Yang jelas, jiwa petualangan melintas dari satu daerah ke daerah lain masih terus saja terbawa hingga sekarang. Â Kini, kowen pun sudah berubah menjadi gorong-gorong jalan beraspal.
Mercon Tengis yang Dirindukan.
Preketek...preketekkk....pretekerrr... Dorrrr!!!
Bunyi khas petasan masa kecil dulu yang kadang sekarang sungguh dirindukan. Masa kecil dulu kami menyebutnya dengan istilah mercon. Sungguh bukan petasan yang berdebum layaknya bom panci skala terkecil.
Mercon Tengis, petasan khas anak kecil yang murah meriah. Dibeli dengan uang logam 50-100 perak. Dalam satu plastik kecil berisi beberapa lintingan yang tak bergitu panjang dengan sumbu yang pendek. Bentuknya seperti "Tengis", atau cabe rawit dalam bahasa Indonesia.
Saking murah meriahnya, mercon tengis kerap membuat anak-anak yang memainkannya kecewa. Berharap bunyi dorrrr setelah preketek-preketek, ternyata yang ada malah "mlepes" pesss. tidak berbunyi sama sekali. Dan hanya muncul sedikit asap dengan bau khas obat petasan.
Ketika mercon Tengis tak mlepes, maka biasanya anak-anak lain akan menyoraki atau mengejek. Istilah sekarangnya membully dengan kompak mereka akan berseru huuuuuuuuu. Si pemilik Mercon Tengis pun akan bertambah kesal dengan ejekan itu.