Beberapa bulan lalu melalui sebuah pesan singkat disusul percakapan melalui telepon sejatinya saya merasa sedikit ragu. Bagaimana tidak, lha wong saya ditawari bergabung sekaligus mengajak teman-teman yang bergerak dibidang UMKM untuk bergabung di sebuah platfotm e-commerce baru bernama Beon.co.id. Suara perempuan yang terdengar tegas sekaligus yakin itu tak lan tak bukan adalah Ibu Martha Simanjuntak. Saya kerap memanggilnya dengan sebutan Kakak agar terkesan lebih akrab. Saya mengenal sosok perempuan tangguh ini sebagai founder Iwita ( Indonesian Woman IT Awareness)
Tawaran sekaligus sebuah kepercayaan itu sedemikian dasyat. Seolah memberi aliran listrik sehingga saya yang semula memilih defensif selama pembeli dengan hanya berupaya menjadi konsumen cerdas yang membeli produk UMKM dari kawan-kawan yang memiliki produk, perlahan memutar haluan. Satu bulan saya sedikit tertatih dengan langkah menghubungi teman-teman yang memang konsen sebagai pelaku usaha. Terkumpul sekian nama yang konon punya usaha kecil dan bersedia bergabung. Saya sendiri sungguh masih merasa separuh nafas menyiapkan langkah usaha apa kiranya yang bisa kembali saya rintis.
Kak Martha atau sebagian rekan-rekannya memanggil dengan sebutan nama Atha adalah perempuan yang selama ini memang memiliki sekian banyak usaha. Dari Property hingga fashion yang memiliki nilai tradisi budaya masyarakat Batak. Ya, brand Chata Ulos merupakan satu dari sekian usaha yang ditekuni Kak Martha. Bahkan di musim pendemi, Chata Ulos juga memproduksi masker berbahan kain ulos. Tampil modis dan elegan begitulah tampilan Kak Martha yang memang harus menjaga nama brand usahanya. Nyata, dalam perjalanan menuju kolaborasi beon.co, Iwita dan beberapa kawan belum  berjalan maksimal.Â
Seleksi alam terjadi pada mereka yang justru sudah memiliki usaha yang lebih dahulu establish dari saya. Disaat saya merasakan semangat untuk kembali menjadi pelaku usaha entah kenapa mereka yang sudah memiliki usaha malah terkesan angin-anginan. Tak banyak yang bisa saya lakukan. Terlebih menjadi pelaku usaha haruslah egaliter dengan sesama. Jangan ada paksaan terlebih tekanan sehingga prosesnya nanti diharapkan memikul nature, selaras dan bertumbuh dengan alami.
Beberapa waktu lalu lebih dari sekali saya bertemu dengan Perempuan yang kemudian saya panggil dengan sapaan Teteh itu. Namun tidak mengira bahwa beliau seorang pelaku usaha dengan aneka produk retro. Tak hanya bumbu rujak honje saja, aneka camilan kekunoan juga tersedia dan bisa dipesan secara daring. Honje atau bumbu kecombrang menjadi bahan yang memiliki cita rasa authentik. Alhasil saya pun akhirnya memesan produk Bumbu rujak honje Ceu Tantri. Hati kecil saya bersuara, Aduh Teteh rajin banget bisa punya usaha aneka produk rumahan. Dan diam-diam saya pun bertekad, yakin saya akan menemukan produk yang bisa saya jadikan sebagai komoditas awal usaha kecil rintisan di tengah pendemi ini.
Kurang lebih 400 biji tahu Slawi mampu dia produksi untuk memenuhi pesanan. Saya nyaris tidak percaya ketika akhirnya saya berkunjung ke rumahnya sekaligus mengambil pesanan. Dengan dibantu oleh seorang asisten rumah tangga Eno yang sebelum pendemi kerap mengunggah barang-barang branded  yang diperjualbelikan secara online itu benar-benar banting setir. Bukan lagi tas, sepatu atau souvenir luar negeri yang dia jual di lapak online media sosial milikya, melainkan justru kuliner Tegal ala rumahan yang cukup banyak peminatnya.
Begitulah, 3 perempuan itu membuat saya bangkit berdiri. Masa pendemi bukan saja milik kaum rebahan. Saya pun menginsyafi bahwa UMKM itu bukanlah usaha musiman ketika mood. Melainkan satu dari sekian ujung tombak ekonomi yang tetap bergeliat di tengah pendemi. Saatnya menyingsingkan baju, saling suport sesama pelaku usaha kecil dan berharap usaha yang tengah saya rintis mampu bertahan sekian wajtu ke depan sesuai harapan dan apa yang dicita-citakan
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H