Lebih dari sepekan momentum itu berlalu. Sebuah akhir pekan yang penuh makna atas sepenggal pengalaman luar biasa. Saya dan empat orang kompasianer menjadi bagian dalam kegiatan bertajuk Workshop Macapat 2019 di Anjungan DIY Taman Mini Indonesia Indah. Diselenggarakan oleh sinergi dari Badan Penghubung Daerah Istimewa Yogjakarta yang bekerja sama dengan dinas Kebudayaan DIY, kami mengikuti tahap demi tahap mempelajari macapat dari dasar.
Romo Projo yang memiliki nama lengkap Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuwasono dengan detail dan begitu sabar mengajarkan cara membaca not dalam bahasa Jawa.
Peserta yang berjumlah lebih dari 50 orang terdiri dari lintas generasi dan lintas elemen dengan bersungguh-sungguh menyimak dan mengikuti tiap petunjuk nada yang diberikan.
Bagi sebagian kecial peserta yang berasal dari pegiat budaya dari perwakilan diklat kethoprak, tembang macapat tentu sudah tidak asing lagi. Namun bagi generasi zaman now yang diwakili oleh sejumlah mahasiswa Sastra Jawa Universitas Indonesia, tentu lain lagi ceritanya.
Anjungan DIY TMII menjadi saksi bahwa selama kurang lebih 6 jam, latihan panembrono (koor/ acapela) macapat bisa menjadi upaya membumikan tembang yang berisi petuah bijak dalam menjalani perputaran fase kehidupan sejak masih dalam kandungan - lahir- remaja- berumah tangga - hari tua - hingga saat kembali kepada sang pencipta.
Beberapa pujangga keraton baik di Jawa ataupun Bali meciptakan beberapa variasi syairnya. Syair macapat pada umumnya menggunakan bahasa Jawa sastra yang memiliki makna mendalam.
Namun tembang macapat ini terikat pada beberapa syarat aturan berupa :
*Guru Gatra, Â jumlah baris (larik) dalam setiap baitnya.
*Guru Lagu, suara vokal akhiran kata dalam setiap baris (larik : A-I- U --O)