Rentetan kata-kata yang kurang pantas mengomentari status Facebook ditulis oleh sesama perempuan membuat saya terhenyak. Disusul kemudian komentar oleh sosok perempuan lain yang turut menimpali. Bahasanya nyaris membuat saya emosi.Â
Kami tidak sedang berebut laki-laki, tidak pula sedang terlibat sengketa jual beli. Namun entah kenapa kalimat penuh emosi yang sedikit menghujat hampir kesemuanya mewarnai komentar-komentar tajam. Beruntung tidak sejatam silet yang melukai. Saya pun bolak balik menghela nafas panjang. Mengendalikan diri agar tidak terpancing emosi hingga mengeluarkan kalimat yang nota bene sama dengan mereka melalui tulisan.
Begitulah peristiwa yang beberapa bulan lalu seringkali saya alami. Saling serang , sindir, nyinyir, komentar pedas hingga menjatuhkan satu sama lain.
Padahal kita sesama perempuan. Sama-sama suka makan bakso, suka belanja dan kadang-kadang menggosip bersama. Entah kenapa dalam waktu singkat seolah-olah perempuan terbelah menjadi dua kubu. Hanya untuk mempertahankan predikat emak-emak "setrong", masa sih harus sampai segitunya?
Perempuan kian menjadi subjek sekaligus objek yang menarik seiring dengan  maraknya istilah emak-emak. Satu kebanggan sekaligus keprihatinan tersendiri bagi saya selaku perempuan yang kerap melihat seteru perempuan di media sosial. Sepele memang, hanya karena beda dukungan.
Namun jika kita telisik lebih dalam, hal kecil yang bermula dari selisih paham jika dibiarkan maka kan menjadi sumber perpecahan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Biar bagaimanapun perempuan menjadi kekuatan yang signifikan dalam hal konflik sosial.Â
Pengalaman mengajarkan kepada saya begitu mudah menyulut emosi perempuan. Bahkan sempat beredar kabar, terdapat sekelompok perempuan yang rela melepas pakaian sebagai bagian dari aksi demonstrasi. Lekat dalam ingatan kita perempuan kerap menjadi bagian dalam aksi terorisme dan menjadikannya martil bom bunuh diri.
Pun, ditengah aktivitas sosial medianya, perempuan kerap tidak sadar bahwa dia sedang  memviralkan konten ujaran kebencian  hingga ancaman kepada kepala negara yang membuatnya terjerat kasus hukum. Ada apa dengan perempuan yang kini tenar dengan istilah emak-emak?.
Sudahi sekian banyak aksi perempuan yang memancing tindak anarki khususnya di media sosial. Saatnya kini sebagai sesama perempuan kita harus menyadarkan peran dan posisi perempuan ke ranah yang lebih adem.
Sejatinya perempuan bukanlah makhluk tuhan yang sulit untuk diarahkan. Memberi aktifitas positif dengan serangkaian aksi yang bermanfaat lagi produktif  bagi kehidupan mereka sehari-hari masih dimungkinkan untuk meredam aksi radikal ala kaum emak-emak. Bila perlu ajak mereka belanja, kulineran, hingga perawatan salon yang akan menurunkan tensi konflik dalam diri.