"Saya berjanji untuk memberikan kursi menteri pada milenial. Salah satunya Menpora dan Menristek Dikti," ujar Sandiaga lewat keterangan resmi yang diterima TribunJakarta.com, Minggu (11/11/2018).
 Sementara menurut Fadli Zon domain menentukan menteri harus dibicarakan dengan calon presiden, Prabowo Subianto. Dari situ terlihat Fadli Zon seolah belum ikhlas begitu saja melepas jatah menteri yang dulu akan dipersembahkan baginya. Mungkinkah diam-diam Fadli Zon memang punya ambisi dan berniat menjadi Menteri Pendidikan?
Beberapa langkah sudah Fadli Zon tempuh antara lain dengan mendirikan Fadli Zon  Library (Jakarta), Rumah Budaya Fadli Zon (Sumatera Barat), dan Rumah Kreatif Fadli Zon (Cimanggis, Jawa Barat). Hingga Kampung Sunda di Paseban, Kabupaten Bogor. Konon  tempat -tempat tersebut akan  digunakannya sebagai ruang untuk  mengembangkan dan memajukan pendidikan, seni, dan budaya bangsa. Sebegitu tertariknyakah sosok berkacamata ini dengan dunia pendidikan dan kebudayaan? Kira-kira apa misi yang akan dia emban kedepan?
Jika misi budaya yang hendak dia perjuangkan, sosok Fadli Zon belumlah cukup jika harus dibandingkan dengan para budayawan yang ada. Meski latar belakang akademik nyata menyebutnya sebagai lulusan fakultas ilmu budaya di Universitas negeri ternama di wilayah Jabodetabek. Lantas seberapa mampu ruang akademisi memberinya kepercayaan untuk menjadi Menteri Pendidikan?
Memupuk Asa dan bercita-cita hingga sedikit berambisi menjadi menteri khususnya menteri pendidikan adalah hal yang wajar bagi seorang Fadli Zon. Kedekatannya dengan sosok Prabowo menjadi karpet merah yang begitu mudah mengantarkannya pada singgasana kekuasaan. Itu JIka prabowo bisa mengalahkan Jokowi pada Kontestasi Pilpres April nanti.
Sayang, langkah Fadli Zon mengagungkan budaya melalui sentuhan sastra kerap terpeleset oleh licinnya ruang politik. Puisi-puisi Fadli Zon dinilai sarat muatan politis dan jauh dari energi murni sastra itu sendiri.Â
Bukan bermaksud membuka luka sejarah sastra yang lama. konflik ideologi yang tercipta tercipta antara dua blok sastra yakni  Lekra (lembaga Kebudayaan Rakyat) dan Manikebu (Manifes  Kebudayaan). Dan kini Fadli Zon seolah kembali membuka ruang itu. Setelah Taufiq Ismail yang konon adalah Paman dari Fadli Zon kerap melontarkan sinisme sastra dengan menyebut komunis sebagai kata kunci.
Apa yang menjadi karya Fadli Zon memuat unsur percikan perlawanan layaknya karya-karya Lekra jaman itu. Padahal Taufiq Ismail selalu mendengungkan Manifes Kebudayaan yang mengutamakan sastra berlandaskan Pancasila.Â
Hingga puncaknya, Puisi dengan judul doa yang tertukar menjadi bukti bahwa FAdli Zon cukup berani terhadap seorang KH Maimun Zubair. Ketokohan Kyai Khos asal Rembang Jawa Tengah di kalangan NU sudah tidak diragukan lagi. Demi syahwat politik untuk memenangkan capres 02 dan upaya mengalahkan cawapres 01, puisi Fadli Zon tak ubahkan karya sastra yang dihasilkan oleh kalangan Lekra.
Jelas-jelas puisi berjudul doa yang tertukar itu menisbikan posisi Ulama besar dari kalangan NU. Sungguh bukan karya sastra yang terlihat lahir dari kalangan Manifes Kebudayaan yang mengangungkan nilai Pancasila. Dan inilah catatan penting bagi sosok menteri pendidikan kedepan. Kebebasan berekspreasi melalui puisi menjadi hak bagi semua orang.Â
Namun manakala puisi tersebut berisi tentang sebuah upaya cacat moral terhadap suatu kalangan? Lantas dimana nilai -nilai Pancasila  yang seharusnya menjadi nafas pendidikan dan mampu mengejawantah dalam tiap proses dan produk pendidikan?