Setiap insan manusia tentu terlahir dengan talenta. Salah satunya talenta itu adalah merangkai kata menjadi puisi. Namun apakah semua yang cerdik pandai menulis puisi ia lantas pantas menjadi sastrawan hingga budayawan?. Nanti dulu! Apa jadinya jika belakangan yang gemar melempar kalimat yang dianggapnya sebagai karya puisi itu adalah sosok politisi yang nyaris tanpa prestasi?.
Latar belakang keilmuan bolehlah berasal ranah yang melingkupi ranah sastra budaya. Dalam perjalanannya, justru politik lebih membesarkan namanya dibanding dengan karya pemikirannya yang memang sudah ada sejumlah beberapa. Meski konon ada pertalian darah Paman dan kemenakan antara Taufiq Ismail dan Fadli Zon, tetap saja keduanya berproses di ranah yang berbeda.
Sebenarnya sejak kapan sih Politisi Gerindra ini produktif melahirkan karya-karya puisi?. Tahun 2008 jauh sebelum dirinya mendapatkan kursi di senayan sana, Fadli Zon membuka perpustakaan dengan label nama persis seperti namanya. Bertempat di Kawasan yang tenar dengan istilah Benhil ini Mr. Zon seolah ingin membangun sebuah kerajaan kecil yang mengusung misi intelektualitas yang berbudaya.
Tak tanggung tanggung, bangunan 3 lantai dengan papan nama Fadli Zon Library konon menyimpan koleksi buku kurang lebih 50.000 eksemplar. . Ruang inteletualitas itu tidak hanya diisi dengan buku, beberapa naskah kuno dan koran tempo dulu. Melainkan juga koleksi senjata tradisional seperti keris, pedang, badik yang konon berasal dari berbagai kerajaan. Bahkan koleksi seni lain berupa patung,rekaman lagu dalam piringan hitam juga turut melengkapi perpustakaan pribadi yang dibuka untuk khalayak luas itu.
Namun sudah patutkah Fadli zon menyandang status sebagai budayawan atau sastrawan? Sebab penggemar sastra pun benda bernilai budaya, ataupun kolektornya tidak secara otomatis dapat menyandang gelar budayawan. Budaya bukan semata mata mewujud dalam wujud benda materiil yang bisa dilihat, dipegang dan dinikmati seni estetikanya. Budaya juga menyoal sejauh mana cipta rasa dan karsa merujuk pada pengertian ahli kebudayaan Koentjoroningrat. Sudahkah cipta , rasa dan karsa seorang Fadli Zon sinkron dalam karya-karyanya?
Masih belum terdengar sebagai sastrawan, Zon yang sejak tahun 1993 menjadi bagian dari tabloid sastra Horison tetap tak patah arang. Kedekatannya dengan beberapa budayawan hingga maestro biola sekelas almarhum Idris Sardi tentu sedikit banyak karena melihat sosok Taufiq Ismail yang relasinya sudah disebut paragraf awal. Dilihat dari dokumentasi foto zaman dulu, raut wajah dan gaya mr. Zon tidaklah memperlihatkan dia sosok yang ekspressif terlebih eksentrik. Tatapan mata Mr. Zonk bukan termasuk tatap mata tajam penuh makna layaknya para senior yang melingkupinya di tabloid Horison. Wajar saja jika panggung sastra belum memberinya pijar aura seorang sastrawan.
Dari "Air Mata Buaya" , "Sandiwara", "sajak tentang boneka' Aku Raisoopoopo" hingga " Sajak Orang Hilang" menjadi judul yang sedemikian mengalami pergeseran dari kumpulan puisi awalnya tentang mimpi. Delapan Puisi dibuat sepanjang tahun 2014-2015. Semua seolah ditujukan kepada lawan politik, dari Megawati Hingga Jokowi. Kumpulan puisi ketiga pun muncul bukan lagi berasal dari energi murni sastra itu sendiri. Fadli Zon ditengah lingkar kuasa meski dia mencoba vokal kepada pemerintahan yang ada.
Labil, mungkin itu sejatinya jiwa sastra yang Mr. Zon miliki. Tahun 2017, sentuhan kemurnian sastra kembali menghampiri. Nyatanya dia kembali mampu melahirkan puisi-puisi murni dari kedalaman nurani. Tajuk Puisi "memeluk Waktu" pun diluncurkan lengkap dengan karya satra musikal hasil kolaborasi dengan seniman lain. Dua puisi sarat makna kehidupan berjudul memeluk waktu dan Berhenti.