Pipres 2019 tinggal selangkah lagi. Meski secara resmi KPU belum membuka putaran pertama Debat Kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Namun sedari kemarin hingga malam tadi layar kaca dihiasi dengan pemaparan Visi Misi Capres Cawapres. Silih berganti memaparkan apa yang menjadi pemikiran tentang apa dan bagaimana Indonesia ke depan dibawah kepemimpinan para Kandidat.
Sebelum tahun politik, masih lekat dibenak para pegiat medsos betapa sosok emak begitu menjadi momok berkendara. Aksi koboi perempuan saat mengendarai motor yang sign-kiri namun ternyata belok ke kanan. Dari situlah kisah the power of emak-emak bermula. Berbeda halnya dengan sekarang, saat musim pencalonan Presiden mengemuka.
 Emak-emak seakan tidak mau kehilangan pamor dan powernya. Aksi turun ke jalan alias menggelar demonstrasi,hingga meringsek masuk di lingkar suksesi. Maka lahirlah emak-emak zaman now yang dinilai cukup signifikan untuk mendulang suara menuju kemenangan.
Dua kandidat presiden siap berlaga. Baik pasangan capres-cawapres 01 ataupun 02 memiliki pendukung yang berasal dari barisan emak-emak. Meski pada Pilpres 2019 tidak ada figur perempuan yang berlaga, namun entah kenapa antusias emak-emak begitu santer terasa. Pemilu 2019 pun menjadi ajang kebangkitan politik bagi perempuan Indonesia. Dalam hal ini diwakili oleh barisan emak-emak. Meski ada beberapa hal yang saya garis bawahi terkait dengan penguatan peran perempuan dalam politik itu sendiri.
Pemilih Perempuan atau yang belakangan populer dengan istilah emak-emak sejatinya memiliki payung hukum politik yang jelas dimana keterwakilan politik begitu dikedepankan. Dalam UU politik no 2 tahun 2008 jelas mewajibkan adanya keterwakilan perempuan sebanyak 30% dalam partai politik.
 Bahkan mekanisme penetapan calon Anggota legislatif pun memasang perempuan sebagai syarat yang harus dipenuhi. Meski hingga periode 2014-2019 ini target kuota 30 % perempuan di legislatif belum terpenuhi. Peran anggota DPR RI terpilih berjenis kelamin perempuan tetap belum maksimal dalam memperjuangkan kepentingan kaum perempuan itu sendiri.
Tak sebatas di legeslatif saja, pemerintahan era Jokowi menempatkan figur-figur perempuan yang berkompeten dibidangnya. Sebut saja Sri Mulyani , Susi Pujiastuti, Retno Marsudi, Rini Sumarno, dan sederet perempuan lain yang duduk di kursi kabinet. Hal ini tentu selangkah lebih maju manakala kita berbicara tentang pengarusutamaan gender dalam pemerintahan. Ya, bicara tentang the power of emak-emak tidak bisa hanya ditilik dari segi kuantitasnya saja. melainkan harus pula dilihat dari segi kualitas. Sebab perempuan-perempuan berkualitas akan mampu bersinergi di segala lini.
Tak ubahnya pasangan Jokowi-Ma'ruf yang menyelipkan kata Sri Kandi untuk mengungkap sosok perempuan tanguh lagi hebat. Prabowo Sandi tetep penuh percaya diri menggunakan istilah emak-emak. Terlihat egaliter memang. Namun sebagai perempuan saya memiliki persepsi hanya sebatas itulah Cawapres 02 menghargai keberadaan perempuan dilingkar suksesi mereka.Â
Apalagi jika dilihat dari tokoh-tokoh perempuan yang selama ini muncur dilingkar capres cawapres 02. Rasanya ada bersit keprihatinan akan nasib perempuan kedepan. Lihat saja Neno Warisman, Hanum Rais, Ratna Sarumpaet (meski akhirnya hilang ditengah jalan akibat hoax yang dimainkan).
Sungguh, ini bukan menyoal membenturkan dua kelompok besar perempuan. Ada kewajiban mendasar sebagai sesama perempuan untuk saling mengingatkan. Ssstt jangan salah pilih! Apalagi cuma lihat fisiknya saja, kegantengan wajahnya saja. Ah itu sih kuno. Perempuan milenials harus sudah mampu melihat dengan mata batin. Tak selamanya orang ganteng itu bisa menjaga hati dan perasaan emak-emak lho.