Tahun politik. Tidak asik jika tidak bicara tentang politik. Apalagi banyak hal menggelitik. Dollar naik pun menjadi senjata untuk mencabik. Ah, mungkin itu hanya sentimen orang-orang yang sedang panik. Bagaimana tidak? lha wong  ujug-ujung muncullah sosok Erick. Rekam jejak usaha di level nasional hingga internasional amatlah ciamik.Namanya juga orang politik. Ada saja ide, ucapan, hingga tindakan yang mengundang tawa cekakak cekikik. Padahal sih motif awalnya pengen membuat lawan bergidik. Apa daya kondisi sekitar malah menampik. Alhasil, gagal lagi membuat episode drama yang sedemikian heroik.
Bukan politik jika tidak melahirkan pro -kontra. Belakangan menguat istilah  koalisi- oposisi. Semua itu hanya istilah untuk menjadi pembeda bagi keduanya. Menyerang incumbent, menjadi salah satu hal yang kerap dilakukan. Ketidakpuasan atas capaian kerja pemerintah ditilik dari berbagai sisi. Padahal kalau mau objektif, pihak penyerang toh tidak lebih produktif dalam konteks pembangunan.
Jangankan membangun insfrastruktur berupa jalan-jembatan yang merata hingga ke pedalaman di hampir seluruh wilayah Indonesia, lha wong membangun jembatan antar partai pendukungnya saja harus ambruk ditengah jalan. Satu persatu partai yang dulu menjadi oposisi pemerintahan Jokowi kini merapat dan tetap mempertahankan Jokowi 2 periode.
Memang sih, dalam politik konon tidak ada lawan dan kawan yang abadi. Tapi kalau mempertahankan koalisi saja setengah hati? Bisa saja upaya perebutan kekuasaan itu berakhir dengan gigit jari. Hitam diatas putih 9 Partai Pendukung Jokowi - Maruf tentu memiliki kekuatan yang lebih maksimal dibanding dengan 4 partai pendukung Prabowo Sandi. Formasi 9 partai itu terdiri  2 partai baru (Perindo dan PSI) + 7 partai lama  (PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura dan PKPI). Sementara di seberang persahabatan antara gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS masih berupaya bermetamorfosis. Seperti syair lagu "Persahabatan bagai kepompong, merubah ulat menjadi kupu-kupu". Entah kenapa 2 partai yakni  partai Berkarya, dan PBB tidak begitu aktif secara formal memberikan support sedari awal pada hajat pilpres 2019 ini.
Selain figur capres- cawapres, partai pendukung, simpatisan massa, Atribut dan konten kampanye , tentu membutuhkan leader. Bukan rahasia umum lagi, jika ego politik sedemikian tinggi, bukan hanya menyangkut eksistensi partai melainkan juga gengsi pribadi. Wajar jika pada beberapa hal, posisi ketua tim sumses menjadi posisi yang cukup membawa prestis.
Apalah arti prestis jika tidak dibarengi dengan prestasi. Bukan tim sukses namanya jika tidak bisa mensukseskan kandidat untuk meraih posisi yuang diperjuangkan. Terlebih ini Pilpres bro! Berkaca pada sukses Pilkada baik tingkat Kota/Kabupaten bahkan Propinsi, tak Jarang tim sukses memiliki adrenalin berpuluh kali lipat dibanding dengan Sang Calon. Titik puncak capaian kandidat capres cawapres terletak pada Tim Sukses di bawahkendali ketua. Jika Sang Kandidat dinyatakan kalah, ketua tim sukseslah yang harusnya paling mengalami beban moral.
BeruntungJokowi telah lebih dahulu menyerahkan kunci mesin pemenangan pada sosok Erick Thohir. Hadirnya Erick tentu bukan sebagai penggembira semata. Dia Nyata akan memberi banyak stimulan agar mesin politik terus bergerak. Kepiawaiannya dalam memanage sportifitas di bidang olahraga akan merubah kebiasaan politik kearah positif. Seperti halnya saat gelaran Asian games 2018 yang mampu menyatukan semangat nasionalisme masyarakat di seantero wilayah Indonesia.
Demikian pula dengan kandidat capres Cawapres Prabowo - Sandiaga Uno yang kabarnya akan menyerahkan komando pemenangan pada Sosok Joko Santoso. Jenderal berusia 66 tahun ini diharapkan mampu mewujudkan mimpi Prabowo- Sandiaga Uno untuk memimpin republik. Meski hingga saat ini , belum ada aktifitas resmi Sang Jenderal sekedar berkumpul bahkan memberikan arahan terkait suksesi Prabowo yang notabene mantan atasannya dulu itu.
Dalam pandangan saya sebagai Emak yang doyan masak, Ketua Tim Sukses, Ibarat Juru masak dalam dapur besar suksesi. Menu apa, bagaimana meraciknya, kemudian menyajikan hingga pembagian tugas siapa membawa apa untuk siapa harus jelas tergambar dalam benak seorang ketua. Saya pun membayangkan, pertarungan pilpres 2019 dalam imajinasi pertarungan kuliner tayangan televisi. Sebut saja "Indonesia Master cheft politik".
Arena memasak telah disiapkan. Berbagai alat tersedia, dari alat goreng, alat bakar, hingga kompor. Bahan makanan tinggal pilih sesuai selera masing-masing. Manis, asem, asin , bahkan pahit? masing-masing akan beresiko pada respon publik yang akan mencicip. Masakan Erick Thohir yang bertampang flamboyan, pastinya berbeda dengan masakan Sang jenderal Joko Santoso yang dulunya Macho.
Penasaran? Tentu kita semua akan sangat penasaran. Bagi mereka yang terlibat langsung sebagai tim sukses, pastinya bisa melihat lebih dekat bahkan mencicip masakan dari keduanya. Namun bagi masyarakat awan diluar wilayah jangkauan tim sukses? Hanya akan melihat Masakan Rasa Jokowi- Maruf atau Masakan Rasa Prabowo-Sandi.