Manusia dengan alam selalu hidup berdampingan
manusia boleh terbang setinggi tingginya, menyelam sedalam-dalamnya
Tapi Kekuatan alam tidak bisa dilawan"
Baris kalimat diatas saya kutip dari narasi teaser Sandiwara Radio Asmara Ditengah Bencana (ADB), Â persembahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Episode 2. Bagi saya kalimat tersebut memiliki makna mendalam. Jika didengarkan dengan sungguh-sungguh, dalam suasana yang mendukung terlebih didengarkan terus menerus, nicaya menyerupai mantra yang mampu menghipnotis pendengarnya. Efek komunikasi massa melalui siaran radio memang tidaklah sebombastis media visual.Namun saya yakin, BNPB tidak sekedar ingin membangkitkan semangat nostalgia dengan sandiwara radio seperti yang pernah populer di era 80-an. Lebih dari sekedar itu, sandiwara radio dijadikan sebagai strategi komunikasi yang dinilai efektif dan efisien di era kekinian.Â
Memang tidaklah mudah membangun kesadaran masyarakat agar tanggap terhadap bencana. Seperti halnya lokus kerja penanggulangan bencana, BNPB tentu tidak menghendaki  pesan yang disampaikan seolah hanya singgah sebentar tanpa ada efek psikologis yang membuka ruang kesadaran jangka panjang. Ya, membangun kesiapan masyarakat tangguh bencana haruslah dilakukan secara berkesinambungan dan terus menerus. Begitupun dengan sandiwara radio Asmara Ditengah Bencana 1.  Sebanyak 50 episode kisah cerita roman percintaan dengan setting latar meletusnya gunung Merapi tersebut  mampu menembus target lebih dari 43 juta pendengar di wilayah pulau Jawa. Tak heran BNPB mempertahankan keberlanjutan sandiwara radio tersebut untuk menyampaikan pesan terkait dengan sadar dan tanggap bencana.
07-07-2017, seperti angka keramat yang telah disepakati oleh BNPB dan Radio Mitra siarnya. Sebanyak 80 stasiun radio yang terdiri dari 60 radio swasta dan 20 radio komunitas akan menyiarkan kelanjutan kisah sandiwara radio Asmara Ditengah Bencana 2. Peningkatan yang cukup signifikan dari segi jumlah  mitra siar sekaligus penyebaran wilayah. Jika sebelumnya Asmara ditengah bencana hanya menjangkau pendengar radio 5 Propinsi saja, di episode lanjutan ini sebaran ruang dengarnya meningkat menjadi 20 Propinsi. Sebaran Radio mitra siar di 20 propinsi ini bukan berarti propinsi diluar jangkauan siar tidak menjadi wilayah yang bisa dinyatakan aman dari Bencana.
Beberapa kali saya mendapati peristiwa bencana dan merasa terpanggil untuk melakukan hal kecil yang bisa saya lakukan. Tanah longsor di Cipari - Cilacap Barat tahun 2001 menjadi lokasi bencana pertama yang saya lihat dengan mata kepala sendiri. Bencana tidak saja mengakibatkan korban fisik berupa harta benda, rumah beserta perabotnya, melainkan juga menguras psikis korban.Â
Suasana begitu memilukan saat Gempa Jogja tahun 2006. Sembohyan Jogja Bangkit menjadi tagline dimana saya bersama beberapa teman mahasiswa sempat melakukan Bakti sosial bagi murid-murid sekolah dasar di daerah Bantul. Jogja kembali muram saat Merapi meletus. Ribuan jiwa mengungsi, bahkan beberapa wilayah di sekitar Jogya seperti Klaten, Magelang dan Boyolali ikut terkena dampak letusan. Saya pun sempat mengunjungi lokasi tanah longsor di desa Jemblung Kabupaten Banjarnegara yang terjadi pada Desember tahun 2014.
Ya, wajah-wajah muram, sedih terlihat pada para korban bencana. Mereka yang harus kehilangan harta benda hingga sanak saudara menyisakan suasana psikologis yang menggambarkan nuansa ketidaksiapan menghadapi bencana. Dua tahun ini saya tinggal di wilayah Jawa Timur yang dekat dengan titik rawan bencana. Melewati jalanan terjal rawan longsor Ponorogo membuat saya bergidik. Disitulah awal dimana kita menjadi sadar betapa penting untuk membangun kesadaran agar tanggap terhadap bencana kapan saja dan dimana saja.