Menginjakkan kaki di kota Cilegon, pusat bertumbuhnya industri Baja yang sudah sedari lama membuat tiap insan yang pernah kesana akan menyebut kesan sebagai kota yang dinamis. Letaknya yang berada di jalur perlintasan transportasi Jakarta - Merak menjadikan Kota Cilegon masih menampakkan geliatnya meski malam telah larut.Â
Malam itu selepas mengikuti acara taraweh berkunjung yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Cilegon pada malam peringatan Nuzulul Quran, kami 7 Kompasianer yang disebut oleh Kang TS sebagai 7 manusia harimau, tak ketinggalan Kang Nair yang turut mendampingi, kami pun sedikit mengeksplorasi  satu dari sekian  sudut Kota Cilegon.
Sebentar, Kota Cilegon akan berusia 17 tahun. Ibarat remaja, pada usia "sweet seventeen" inilah Kota Cilegon tak sekedar bersolek agar tampak molek. Rentang usia ini justru rawan oleh gerusan zaman dengan segala atribut modernitas ala luaran. Sebagai kota yang sarat akan nilai Islami, tentunya Kota Cilegon tegas dengan beberapa aturan yang terkait dengan budaya remang-remang.
Menikmati suasana malam, begitu kami menyebutnya. Melaju ke jalan yang menghubungkan pusat kota dengan arah menuju ke pantai anyer. Jalanan itu ramai tak saja oleh lalu lalang kendaraan bermotor. Kanan Kirinya tampak toko-toko skala menengah hingga retail minimarket.Â
Tepat di belakang Gedung DPRD Kota Cilegon, sepanjang trotoar yang berukuran cukup lebar, berderet beberapa diantaranya "gerai tongkrongan"Â alias "tempat kongkow" kaki lima.Â
Semangat mencari sebuah kehangatan, Kang Nasir membawa kami mengunjungi salah satu tempat nongkrong tersebut. Terletak dipinggir jalan dengan tenda portable warna putih berukuran sedang. Di sebelah kanan dan kirinya terdapat kursi-kursi plastik disusun sedemikian rupa dengan mejanya. Kursi plastik ini modelnya agag sedikit berbeda dari biasanya.Â
Kursi yang dominan berwarna biru ini lebih rendah dari kursi plastik pada umumnya. Sandarannya tampak lebih sedikit mendongak kebelakang. Sepintas sepenti kursi santai yang biasa ada di tepian pantai. Hanya saja tidak memanjang untuk sandaran kaki. Ada kerlip lampu disko warna warni yang dililikan pada sebatang pohon tepat disamping kami duduk.Â
Entah itu sebagai hiasan atau memang menjadi salah satu pernik dekorasi penerangan yang digunakan. Yang Jelas keberadannya menarik mata orang berkendara untuk singgah mencicip wedang jahe merah ala mereka.
Wedang Jahe, itulah jawaban dari semangat mencari kehangatan ala Kang Nasir malam itu. Dari papan nama yang dipasang, jelas gerai kaki lima ini menjadikan wedang jahe sebagai menu utama yang dijual. Bedanya, Jahe yang diolah menjadi minuman di tempat ini adalah Jahe Merah.Â
Jenis Jahe ini memiliki tingkat kepedasan yang lebih tinggi, harga mentah Jahenya pun lebih mahal dibanding jenis jahe lain. Dilihat dari khasiatnya, jelas jahe merah banyak digunakan untuk ramuan jamu yang efetif mencegah meriang, masuk angin,hingga pegal-pegal akibat kecapekan.
Enam orang membuang waktu menunggu larut malam, istilah kerennya hang out. Tanpa menunggu waktu lama, pengelola gerai menyodorkan menu dan meninggalkan nota pesanan dengan alat tulis di meja. Rupanya mereka memberi kami waktu untuk membaca daftar menu makanan dan minuman yang tersedia sesaat sebelum kami memesannya.Â