[caption id="attachment_191784" align="aligncenter" width="384" caption="Ilustrasi (Sumber Foto: dila-riskita.blogspot.com)"][/caption]
Kata Ayah, aku harus melihat langit jika ingin melihat keindahan alam dengan bebas. Melihat langit dengan mata terbelalak dan menunggu tetesan air nan jernih jatuh ke bola mataku. “Nanti Ayah bantu kamu untuk membuka matamu jika kau tak sanggup,” lanjut pria yang usianya sudah setengah abad itu.
Menunggu tetesan air yang ayah maksud adalah hal yang paling membuatku ngeri, meski air tersebut mampu membuatku kembali melihat keindahan alam dengan bebas. Pasrah kepada Allah, itulah yang aku lakukan saat Ayah mulai membantu membuka kelopak mata ku. Semoga Allah memberiku kekuatan dalam menghadapi semua ini. Tetapi saat aku melihat air itu hendak jatuh ke mataku, spontan aku berontak, aku tidak kuat dan berteriak, “whaaaa takuuut takut takut,”. Kembali ku memejamkan mata dan enggan melihat langit.
“Lebay,” satu kata itu saja yang terlontar dari mulut Ayah saat melihatku terpejam dan berontak. Kembali ayah meminta ku menatap langit dan Ia memegangi kelopak mata ku. Kali ini ia memegangi kelopak mata ku lebih kuat.
Tetesan air itu pun kembali ku lihat dan secepat kilat... “Tes... tes...”, tak sempat ku pejamkan mata, tetesan air nan jernih itu jatuh juga di bola mata ku. Alhamdulillah.
Pakai obat tetes mata adalah hal yang paling menyebalkan. Padahal saya harus pakai obat tetes mata karena sedang sakit mata. Entah kenapa saya begitu takut kalau harus melihat ke atas, berhadapan dengan ujung obat tetes mata, lalu menunggu tetesan obat mata jatuh ke bola mata. Menegangkan sekali rasanya. Padahal setelah ditetesi, nggak kenapa-napa juga. Hahaha... @TamiPudya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H