[caption id="attachment_175962" align="aligncenter" width="448" caption="Ilustrasi"][/caption]
Saya: “Kamu tahu lagu Playboy atau I Heart You?”
Rahma: “Tahu dong bu. Playboy itu yang nyanyi Seven Icon, kalau I Heart You yang nyanyi
Smash.”
Saya: “Kamu tahu lagu itu dari mana?”
Rahma: “Dari televisi bu.”
Saya: “Kalau lagu Ambilkan Bulan Bu atau Anak Gembala tahu tidak?”
Rahma: “Tahu bu.”
Saya: “Kamu tahu lagu itu dari mana?
Rahma: “Dari odong-odong. Saya sering dengar lagu itu saat odong-odong mangkal di
depan rumah saya.”
Demikian cuplikan percakapan saya dengan salah satu siswa saya di kelas 3 SD. Ironis memang, kini lagu anak mulai mengalami kepunahan karena merajalelanya lagu dewasa bertema cinta, patah hati, dan perselingkuhan. Berbagai stasiun televisi berlomba menampilkan acara musik yang memperdengarkan lagu-lagu dewasa. Pagi, siang, dan malam. Padahal penonton televisi bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Mereka berhak menikmati acara televisi di jam-jam tertentu.
Kurang lebih 10 tahun yang lalu, lagu anak, eksis di televisi dan radio. Bahkan saking eksisnya, bisa dibilang saat itu merupakan puncak kejayaan lagu anak. Saat itu, saya masih sering melihat Joshua dan Tasya menyanyikan lagu anak dengan kepolosan mereka sebagai anak-anak. Mereka menyanyikan lagu-lagu tersebut dengan riang gembira.
Karena sering ditayangkan di televisi, anak-anak kecil sebaya mereka pun gemar menyanyikan lagu-lagu mereka. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, penyanyi cilik yang begitu ceria itu pun beranjak dewasa. Pelan-pelan mereka melepas “jubah” penyanyi cilik. Lagu anak yang kerap mereka nyanyikan pun sudah mulai ditinggalkan. Sedikit demi sedikit lagu anak yang dulu booming mulai digeser oleh lagu dewasa bertema cinta, perselingkuhan, dan patah hati. Lagu anak mulai mengalami kepunahan.
Tak heran jika anak-anak zaman sekarang lebih fasih menyanyikan lagu bertema cinta, perselingkuhan, dan patah hati. Bahkan terkadang mereka mampu menyanyikannya dengan penuh penghayatan. Hal ini tentu bertentangan dengan karakter anak-anak yang ceria. Anak-anak belum waktunya mengetahui cinta ala orang dewasa, apalagi perselingkuhan dan patah hati.
Seperti yang diungkapkan sebelumnya lagu dewasa yang merajai televisi dan radio, membuat lagu anak makin terpinggirkan. Lagu anak yang dahulu sering ditayangkan di televisi dan diputar di radio, kini di odong-odonglah lagu anak masih bisa didengar. Odong-odong adalah alat permainan keliling, seperti becak besar yang berisi tempat duduk. Tempat duduk yang berbentuk binatang atau kendaraan tersebut bisa bergoyang jika pedal odong-odong dikayuh. Odong-odong hanya bisa dinaiki oleh anak balita.
Selama odong-odong beroperasi, odong-odong selalu memutarkan lagu anak yang ceria dan mengandung pesan moral. Seperti lagu Kasih Ibu, Satu-satu, Cuci Tangan Sebelum Makan, dan sebagainya. Tujuan tukang odong-odong memutarkan lagu anak, tentu agar menarik perhatian anak. Namun, keberadaan odong-odong yang selalu memutarkan lagu anak, tentu turut mencegah kepunahan lagu anak. Walaupun tak banyak, ada saja anak yang mulai menyanyikan lagu anak, karena ia sering mendengar odong-odong lewat di depan rumahnya, seperti Rahma, siswa saya.
Harapan saya, lagu anak bisa kembali eksis. Bukan hanya eksis di odong-odong saja, tetapi di televisi maupun radio. Lagu dewasa tidak baik untuk perkembangan mental anak. Saya yakin, orang semacam Bu Kasur atau Pak AT Mahmud, yang mampu menciptakan lagu anak, sangat banyak. Ayo berkarya, ciptakan lagu anak yang ceria dan mengandung pesan moral. Lewat musik, anak akan lebih kreatif sebab musik dipercaya mampu menstimulus kecerdasan otak. @TamiPudya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H