[caption id="attachment_174936" align="aligncenter" width="320" caption="Ilustrasi"][/caption]
Untuk Ray: “Aku cinta sama Ray. Aku ingin jadi istri kamu. I love you Ray.”
Apa yang ada di benak Anda saat membaca isi surat di atas? Pasti Anda membayangkan pengirimnya adalah seorang perempuan dewasa yang sedang jatuh cinta.
Namun, apa reaksi Anda jika surat tersebut ditulis oleh anak usia enam tahun? Tak sengaja saya menemukan secarik surat di laci meja murid. Pemiliknya adalah murid saya di kelas 1 SD, sebut saja Jihan. (Nama Ray dan Jihan adalah nama samaran).
Saya tergelitik bercampur kaget saat membacanya. Saya tak habis pikir, anak usia enam tahun bisa merasakan jatuh cinta kepada lawan jenis. Memori saya mundur ke-18 tahun silam, saat saya kelas 1 SD. Seingat saya, pada waktu itu, saya belum merasakan jatuh cinta terhadap lawan jenis. Pada usia itu saya merasa masih anak-anak yang gemar bermain dengan teman-teman.
Saya belum genap dua tahun berprofesi sebagai guru, background pendidikan dan pekerjaan saya terdahulu juga bukan di dunia pendidikan. Saya belum banyak pengalaman menghadapi problema di kelas, termasuk hal ini. Jujur, usai membaca surat tersebut, saya malah bingung. Apa yang harus saya lakukan? Melarangnya jatuh cinta? Atau saya harus menjelaskan arti cinta kepada anak usia enam tahun. Tantangan yang besar bagi saya untuk meluruskan hal ini kepada siswa saya.
Saat istirahat, saya memutuskan untuk memanggil Jihan. Saya bicara dari hati ke hati dengannya. Ia mengakuibahwa surat itu dibuat untuk Ray, teman laki-laki yang ia sukai. Saya bertanya, mengapa ia menuliskan surat tersebut untuk Ray.
“Karena saya cinta sama Ray bu. Ray juga baik sama saya.”
“Oh.Ya sudah kamu boleh istirahat dulu.”
Saya belum memberi nasihat pada Jihan karena saya sedang menyusun rencana agar teman-teman Jihan yang lain tidak “seperti orang dewasa”. Mereka harus menikmati masa anak-anaknya.
Usai istirahat, saya memberanikan diri menerangkan arti cinta kepada murid-murid saya. Intinya, saya mengarahkan bahwa Tuhan memang memberi anugrah kepada manusia berupa cinta. Agar manusia bisa saling menyayangi sesama, menerima perbedaan, dan bisa menjaga kerukunan. Jadi kita bisa hidup damai.
“Kalian boleh mencintai teman kalian, tetapi sebagai sahabat, bukan sebagai pacar seperti orang dewasa. Belum waktunya. Cara menunjukkan cinta kepada teman kalian, misalnya mengajak mereka dalam kebaikan, menegurnya bila salah, bermain dan belajar bersama. Kalian juga harus mencintai semua teman kalian, khususnya di kelas ini, agar kelas kita jadi damai, tidak ada yang bertengkar. Belajar juga jadi nyaman. Cinta kita kepada teman atau orang tua, tidak boleh melebihi cinta kita kepada Tuhan,” papar saya.
Sebenarnya, saya masih merasa “berdosa” karena belum maksimal memberikan penjelasan kepada mereka. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan bisa dimengerti mereka. Anak-anak belum waktunya jatuh cinta ala orang dewasa. @TamiPudya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H