Mohon tunggu...
Tami Dita Ariani
Tami Dita Ariani Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Hello, my name is Tami Dita Ariani I'm moody, fun, traveller addict, like photography, I'm Nikonian, simple, independent, ice cream addict, kpopers, manchester united fans and hijabers

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahasa Itu Identitas, Bukan Mainan

24 Oktober 2015   13:34 Diperbarui: 24 Oktober 2015   13:43 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak kaget lagi bagi kita saat mendengar banyak orang yang mulai mencampur adukan bahasa asli negara ini dengan bahasa asing. Sedikit tersentil ketika sore hari sedang menyaksikan serial kartun anak-anak dari negara tetangga. Muncul kata-kata “Bahasa Jiwa Bangsa” dimana notabenenya negara tersebut banyak memakai campuran bahasa dan budayanya dalam serial kartunnya.

Di sini, di negara yang saya cintai dan yang amat saya hormati sudah terjadi kontaminasi bahasa yang mulai tidak jelas dan sok “kelondo-londoan”. Mulai mencampur adukan bahasa negara ini dengan bahasa bahasa asing yang sangat merusak nilai-nilai kesusastaraan negara ini. Sangat ironis ketika nanti anak cucu kita tidak tahu mana bahasa asli negara kita dan mana yang bukan. Sudah jelas kalimat itu ditulis di bagian kalimat Sumpah Pemuda, yaitu “Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”.

Dimanakah perasaan dan nilai-nilai kecintaan kita terhadap bangsa sendiri kalau semua itu sudah menjadi keseharian bahkan menjadi kebiasaan kita saat berbicara dengan lawan bicara kita. Betapa sedihnya bila para penggiat atau pendahulu sastra kita yang selalu mengagungkan bahasa nasional negara ini. Mendengar anak-anak atau pemuda berbicara dicampur-campur seperti gado-gado. Apakah rasa itu hanya tebangun pada saat upacara bendera dan upacara-upacara tertentu? Atau menunggu adanya perebutan kebudayaan dan keaslian dari negara ini? Sungguh teramat miris dan menyayat hati. Kenapa? Kenapa? Dan kenapa? Begitu teganya oknum yang melakuan hal yang dapat merusak bahkan melukai bangsa sendiri. Itu yang selalu terbesit di pikiran saya dan mungkin segelintir orang.
Dalam era globalisasi, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh penagruh budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan bahkan tidak cocok dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia.

Tulisan ini dibuat guna menunjang serial kartun Indonesia agar tidak kalah dengan negara lain yang sangat menjunjung tinggi nilai bahasa dan budayanya. Karena sejatinya serial kartun bisa dengan mudah mempengaruhi penguasaan bahasa nasional terhadap anak-anak jika dikemas dengan semenarik mungkin. Dan bahasa yang digunakan merupakan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI).

Penulis: Ravi Verdian Ry dan Tami Dita Ariani, Warga Lingkar Studi Tangerang Selatan/LiNTAS – Mahasiswi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun