Mohon tunggu...
Muhammad TamhidanTaufiqiy
Muhammad TamhidanTaufiqiy Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Hobi saya menulis

Selanjutnya

Tutup

Financial

Rupiah Melemah Sentuh Rp15.929 per Dolar AS, Efek Pemilu?

16 Mei 2024   01:02 Diperbarui: 16 Mei 2024   01:06 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
google.com/tangkapan layar

Pada era globalisasi yang semakin pesat, ekonomi suatu negara tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal tetapi juga peristiwa internasional. Salah satu faktor yang seringkali menjadi sorotan adalah kurs mata uang. 

Di Indonesia, rupiah telah mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan pada tahun 2024, rupiah terperosok hingga menyentuh Rp.15.929,00 pada Senin(kamis/5/2024). Penurunan ini tidak lepas dari berbagai faktor, salah satunya adalah efek dari pemilu.

Pemilu, memiliki peran penting dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Namun, efek pemilu terhadap kurs mata uang bukanlah hal yang spontan. Pemilu dapat memengaruhi kepercayaan investor terhadap stabilitas politik dan ekonomi suatu negara. Kepercayaan ini, pada akhirnya dapat mempengaruhi nilai tukar mata uang. 

Pada kasus Indonesia, terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap penurunan rupiah. Salah satunya adalah ketidakstabilan politik yang diperparah oleh pemilu. Pemilihan umum yang seringkali tidak menentukan kepemimpinan yang kuat dan stabil dapat menimbulkan ketidakpastian di pasar. Ketidakpastian ini dapat memengaruhi investor untuk menarik modal dari negara, yang akhirnya menurunkan nilai tukar Rupiah.

Selain itu, pemilu juga dapat memengaruhi kebijakan moneter dan fiskal yang diambil oleh pemerintah. Pemerintah yang tidak memiliki kebijakan yang konsisten dan stabil dapat menimbulkan ketidakpastian di pasar, yang akhirnya dapat menurunkan nilai tukar rupiah. 

Namun, penting untuk diingat bahwa efek pemilu terhadap kurs mata uang bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi nilai Rupiah. Faktor-faktor lain seperti kondisi ekonomi global, kebijakan moneter dari Bank Indonesia, dan kondisi pasar internasional juga memainkan peran penting.

Pertama, dari sisi Bank Sentral Amerika. The Fed semalam kembali menegaskan bahwa mereka baru akan menurunkan suku bunga ketika data ekonomi benar-benar menunjukan adanya penurunan inflasi. 

Penundaan penurunan suku bunga yang memicu "higher for longer" membuat aset-aset yang ada di Amerika jauh lebih menarik di mata investor. "Hinger for longer" ini pernah disebut oleh Sri Mulyani ketika sidang MK. 

Suku bunga acuan US ada di rentang  5.50% sampai 5.75%. Sedangkan suku bunga acuan Indonesia ada di rentang 6.00%. Jadi para investor akan berpikir "Ngapain gue capek-capek naruh duit di Indo, negara yang amburadul, cuma dapet 6% doang. Mending gue bawa balik duit ke US, dapet bunga 5.75%.".

Kenapa suku bunga di sana gak turun-turun? Itu karena data inflasi Amerika tidak menunjukan gejala akan turun ke target The Fed, 2%. Inflasi malah naik di 3 bulan pertama 2024. Ini membuat optimisme pemotongan suku bunga (rate cut) di 2024 memudar. 

Pada awal tahun, pasar sangat optimis dengan penurunan inflasi dan pemotongan suku bunga. Oleh karenanya harga saham, khususnya saham teknologi di US udah beterbangan. Pasar bahkan sangat optimis dengan pemotongan suku bunga dibulan maret.

Namun dengan rilisnya data demi data yang menunjukkan bahwa Inflasi belum mencapai target dan tidak menunjukkkan gejala akan turun ke 2% dan Data ekonomi yang menunjukan bahwa ekonomi US sangat sangat kuat, yang terlihat dari data pengangguran dan pertumbuhan ekonomi, maka pejabat The Fed berpendapat bahwa tidak mengapa suku bunga tetap tinggi dalam waktu lama, sebab ekonomi US sangat kuat. Ini membuat optimisme dari 3x pemotongan suku bunga jadi hanya 1x pemotongan suku bunga, mungkin di akhir tahun. 

Oleh karena itu, uang keluar dari Indonesia, menguatlah dolar terhadap Rupiah. Dalam sebulan terakhir, dolar menguat terhadap mata uang lain di seluruh dunia. Jadi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia, kalau dolar index flat, Rupiah melemah, ada yang salah dengan Indonesia.

Kedua, dari meningkatnya tensi di Timur Tengah. Meningkatnya tensi di Timur Tengah yang didorong oleh serangan Israel ke konsulat Iran, yang dibalas oleh Iran, dikhawatirkan dapat membawa dunia pada perang dunia ketiga. Kawasan Timur Tengah merupakan kawasan strategis pemasok energi dunia (oil & gas), ketegangan yang terjadi menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perang. Ini bisa memicu krisis energi, seperti yang terjadi pada perang Rusia-Ukraina. 

Minyak mentah jenis brent. Harganya ketika terjadi gejolak di Palestina sempat naik, lalu turun di Desember, kemudian kembali merangkak naik akibat adanya blokade perdagangan oleh Kelompok Houti dan ketegangan Iran-Israel. Muncul pertanyaan, apa hubungan minyak dengan kurs dolar? Maka jawabannya ada di tingkat inflasi.

Salah satu komponen penyumbang terbesar inflasi di Amerika adalah harga bahan bakar, yang tentu disumbang oleh minyak mentah. Harga minyak yang terus naik dan berpotensi tetap tinggi akibat tensi Iran-Israel dapat menjadi indikasi awal bahwa inflasi Amerika akan tetap tinggi dalam beberapa waktu ke depan. 

Ini semakin menutup harapan terjadinya penurunan suku bunga dalam waktu dekat. Ketika kondisi Israel-Iran semakin memanas, maka potensi perang sangat terbuka. Saat terjadi ketidakpastian, aset yang dipegang oleh investor biasa disebut "safe haven", itu adalah emas dan dolar Amerika. Ketegangan ini akan meningkatkan kembali permintaan atas dolar.

Ketika Rupiah babak belur, BI tidak mungkin akan diam melihat saja. Sudah tentu dia bergerak. Ada 2 kebijakan yang bisa dilakukan oleh Bl, yaitu menaikkan suku bunga, sehingga dapat menahan laju capital outflow dan menstabilkan rupiah dengan intervensi di pasar valas. 

Menaikkan suku bunga acuan (BI7DRR) akan sangat berisiko dan menekan perekonomian dalam negeri. Sebab suku bunga saat ini sudah sangat tinggi. Dengan tingkat suku bunga sekarang, ekonomi sudah mulai engap-engapan, apalagi kalau makin tinggi?

Bukti bahwa ekonomi mulai engap-engapan, yaitu risiko kredit bermasalah (NPL) perbankan naik, ini diikuti oleh laba bersih bank-bank besar yang mayoritas turun pada 2 bulan pertama tahun ini. 

Laba bank besar, kecuali BCA, turun pada 2 bulan pertama tahun ini. Lebih bijak jika pengendalian Rupiah dilakukan dengan intervensi di pasar valas. Sebab risiko kenaikan suku bunga akan sangat banyak. Dengan cara ini diharapkan rupiah tidak lagi makin merosot dan diharapkan rupiah dapat menguat lagi menuju Indonesia emas 2045.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun