Saya bertanya ini bukti kegundahan dan kejengkelan dengan pejabat kampus yang kini marak dalam kasus korupsi, baik itu mereka yang sudah terbukti korupsi atau mereka yang sedang diselidiki dalam kasus korupsi. Dua kampus yang pernah saya tinggali ternyata tidak bersih dari kasus-kasus korupsi, dua kampus itu Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonesia. Penulis merupakan lulusan sarjana sosial dari Kampus UNJ Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, setelah menyelesaikan studi sarjana, memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana di kampus Universitas Indonesia, Departemen Kesejahteraan Ilmu Sosial, FISIP. Sewaktu masih menjadi warga UNJ, kasus yang sedang diselidiki dan disidik aparat hukum ialah pengadaan alat laboraturium komputer yang melibatkan Pembantu Rektor III bidang Kemahasiswaan, inisial FA, dan Salah satu dosen di Fakultas Teknik yang berperan sebagai ketua panitia pengadaan proyek, inisial TM. Pada saat itu, UNJ menjadi headline berita di berbagai media massa, bukan karena prestasi akademik atau pengabdian masyarakat, namun pejabat kampus diduga melakukan korupsi dalam proyek yang diselenggarakan. Saat itu penulis sedang disibukkan dengan urusan skripsi, tidak mengikuti perkembangan kasus dengan serius, karena skripsi menjadi prioritas utama dalam keseriusan, namun satu pandangan penulis terhadap kasus korupsi bahwa orang-orang yang disebut kaum intelek, biasa hidup menjadi birokrat tidak bisa lepas dari godaan untuk berbuat korupsi.
Setelah menyandang status sebagai alumni kampus UNJ, penulis menyandang status baru sebagai warga kampus UI, kampus kuning atau kampus hutan (penulis biasa menyebutnya). Bulan Juni kemarin, mulai terkuak kasus korupsi di kampus itu, pejabat kampus yang dibidik ialah Wakil Rektor II Universitas Indonesia, inisial TN. “Beliau” dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam proyek pengadaan IT Perpustakaan kampus Universitas Indonesia. Jumlah saksi yang udah diperiksa mencapai 40 orang termasuk Bapak Rektor dan mantan Rektor Yang Terhormat. Saat ini penulis semakin antipati terhadap pejabat kampus, bahkan dalam benak terkonstruksi bahwa pejabat itu merupakan calon-calon koruptor. Wajar saja memang, kewenangan, fasilitas, kekuasaan yang dimiliki ataupun yang diberikan kepada pihak pejabat kampus membedakan mereka dengan warga kampus yang lainnya, seperti mahasiswa kupu-kupu, mahasiswa aktivis, dosen kritis, dosen peneliti, dosen pengajar, dosen-dosen biasa.
Dua kampus yang dekat dengan pusat pemerintahan Indonesia, statusnya kampus negeri. Kampus hijau (sebutan kampus UNJ) dikenal penghasil tenaga pendidik Indonesia, kampus kuning (Sebutan kampus UI) dikenal penghasil intelektual dan tokoh. Semuanya itu cuma kebanggaan lampau, jika korupsi sebanding atau lebih kuat dalam membentuk citra negatif dan justru berujung pada makin terbangunnya sikap pesimis, satu contoh itu ketika mempertanyakan kampus sebagai sarang koruptor. Kasus korupsi yang melibatkan birokrat kampus tidak berhenti hanya pada dua kampus yang disajikan dalam tulisan ini, masih banyak kampus lain yang dosen, wakil rektor bahkan rektornya diduga terlibat dalam kasus korupsi, dengan berbagai modus. Tidak elok penulis menyebut nama-nama kampus itu, mungkin para pembaca lebih mengetahui kasus di berbagai kampus tersebut. Penulis berharap jika saat ini tampak tingkat korupsi di kampus semakin tinggi, setidaknya manfaat untuk masyarakat luas juga semakin tinggi, terbuka akses untuk menikmati pelayanan pendidikan murah dan peningkatan kualitas pelayanan bagi warga di kampusnya. Dugaan kampus sebagai sarang koruptor dapat tergantikan dengan sarang orang-orang intelek, namun bedanya punya integritas dan anti korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H