Mohon tunggu...
Tamara MarsyaSafitri
Tamara MarsyaSafitri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Prof.K.H.Saifuddin Zuhri Purwokerto

Saya merupakan mahasiswa semester tiga yang memiliki ketertarikan dibidang jurnalistik. Laman ini dibuat sebagai wadah yang akan menampung tulisan-tulisan terkait dengan jurnalistik yang saya buat. Selain itu saya juga memiliki keterterikan dibidang bisnis, saat ini saya sedang menajalankan bisnis hijab printing.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kenyataan Pahit dibalik IPK 4.00

4 November 2024   17:53 Diperbarui: 4 November 2024   20:17 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum mencuatnya fenomena sarjana pengangguran di Indonesia aku tidak mempermasalahkan ambisiku mengejar IPK 4.00. Apapun akan aku korbankan demi mempertahankan IPK 4.00. Bagiku semua orang mendambakan kesempurnaan IPK sebab tidak semua mahasiswa mampu memperoleh IPK 4.00. Menurutku, IPK sempurna adalah bentuk kegeniusan. Namun, siapa sangka di zaman sekarang IPK 4.00 justru yang paling sulit dapat kerja?

Sebuah fakta kontradiktif dimana mahasiswa yang berjuang mati-matian belajar siang malam justru yang paling dihindari recuter dipasar kerja. Mengapa? Bukankah itu tidak adil?. Seharusnya mahasiswa yang lebih bekerja keras lebih pantas mendapatkan pekerjaan ketimbang mahasiswa yang malas-malasan, setengah-setengah, dan acuh pada kompetensi akademik.

Pahit menerima kenyataan bahwa zaman kini telah berubah. Mungkin IPK 4.00 dizaman sebelum modernisasi dan digitalisasi adalah hal yang membanggakan, sebab untuk menemukan sumber referensi yang relevan membutuhkan perjuangan yang serius. Berbeda halnya, untuk generasi sekarang yang sudah dimanjakan oleh internet. Semua akses pendidikan dapat dijangkau dengan mudah. Oleh karenannya, mendapatkan IPK 4.00 bukan lagi perkara yang mustahil.

Ditambah lagi, ketatnya persaingan perguruan tinggi memaksa tenaga pendidik memberikan kemudahan berupa nilai A kepada mahasiswa sebab nantinya nilai tersebut akan berdampak pada akreditasi yang mempengaruhi statistik kualitas perguruan tinggi. Oleh karena itu, memiliki IPK 4.00 bukan lagi menjadi satu-satunya hal yang utama untuk diperjuangkan.

Dalam prosesnya, mendapatkan IPK 4.00 membutuhkan waktu dan kosentrasi yang khusus. Meskipun seringkali mahasiswa di dorong oleh dosen namun, mahasiswa juga perlu mengusahakannya. Sebagai mahasiswa dengan IPK 4.00 aku merasa membutuhkan energi yang lebih dalam belajar. Aku terlalu perfeksionis dalam mengerjakan tugas dan menjadi super individualistis. Jujur saja sampai saat ini meskipun IPK ku 4.00 aku belum tergabung secara aktif pada organisasi apapun, dan belum banyak mengikuti kepanitiaan di kampus.

Menurutku berbincang dan berosialisasi diluar kelas itu membuang waktu. Lebih baik aku langsung pulang kerumah, membaca buku, membuka laptop, dan menyempurnakan tugas-tugasku. Siapa sangka habbits demikian justru merampas skill bersosialisasiku. Aku merasa sangat minder ketika mendengar teman-temanku yang IPKnya dibawah 4.00 namun sudah memiliki sejumlah pengalaman dan memiliki jaringan sosial yang lebih luas.

Mereka yang mendapat IPK dibawah 4.00 bukan berarti tidak mampu,  tapi mereka berusaha mengesampingkan kesempurnaan demi mempertahankan keseimbangan. Mereka sadar, berorganisasi membutuhkan energi dan waktu yang ekstra. Tidak jarang membuat mereka lelah sehingga memungkinkan mereka jadi kurang maksimal dalam mengerjakan tugas. Meskipun terlihat tidak setara, kenyataannya konsep belajar yang demikianlah yang sesungguhnya bermanfaat.

Kini pasar kerja tidak hanya membutuhkan selembar ijazah sekalipun dengan IPK yang sempurna, justru pasar kerja lebih membutuhkan tenaga yang kompeten dan expert dalam bidang tertentu. 

Penting untuk menyadari bahwa mahasiswa juga perlu menuntut ilmu di luar kelas guna mendapatkan ilmu praktis. Dikelas mahasiswa hanya mendapatkan pengetahuan secara teoritis, sedangkan dilapangan mahasiswa memiliki kesempatan mendapatkan pengetahuan secara praktis. Dengan kegiatan praktis, secara perlahan dapat mengasah keterampilan mahasiswa serta dapat memperkenalkan mahasiswa dengan dunia profesional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun