Mohon tunggu...
Tamara Palupi
Tamara Palupi Mohon Tunggu... Wiraswasta - owner of God's given so called positive vibes

i'm all about social media, internet, passion, sharing, living a life, architect, interior, decoration, graphic, color, travelling and writing for sure.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Narendra Putra (2)

4 Agustus 2010   10:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:19 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

*Tahun ini...*

Entah berapa ratus kali detik kusempatkan untuk mengetahui ‘adakah harimu sekian detik tentangku?’
Dan untuk kesekian kali aku kecewa. Tetap nihil, Ren. Tak ada kabar berita, tak ada tanda tanya darimu untuk sekedar tahu bagaimana keadaanku sebenarnya.

Tak adil memang. Tak adil untukku dan mungkin untukmu, bahkan untuknya. Tak adil untukku berharap bahwa kau akan membawa pergi lari hatiku. Hati yang katanya kamu butuhkan, bukan sekedar kamu inginkan.
Tak adil untukmu karena…karena…karena…oh, ternyata aku tidak menemukan alasannya. Mungkin sebenarnya adil-adil saja bagimu, tapi (mungkin) dengan beberapa logika dan pertimbangan diri saja, kamu memutuskan tidak membawaku pergi kemana saja kamu suka. Sedangkan tidak adil untuknya karena dialah selama ini yang menjaga hatiku. Tentu tidak adil jika kamu begitu saja membawa lari harta yang ia jaga hampir seperlima waktu hidupnya. Sangat tidak adil untuknya.

Tapi aku mau dibawa lari. Aku membuka diri.
Sayangnya, kamu tidak pernah punya nyali.
Logikamu membiarkanmu menusuk-nusuk hati, hatimu sendiri.
Dan sekarang, aku tidak tahu harus dibawa kemana rasa seperti ini. Rasa bahwa aku mengingatmu setiap hari. Rasa bahwa mengetahuimu tidak menyampaikan apapun padaku itu menyebalkan sekali. Rasa bahwa aku memanggilmu dalam tangis terakhirku sebelum tidur…dan kamu tidak mengetahui… Kesemuanya itu sangat membuat payah diri.

Malu. Malu rasanya ketika sudah kuberanikan diri untuk menyatakan perasaan, tapi ternyata…yang terjadi hanyalah khayalan.
Hampir dua pertiga jalan kurasakan bahwa aku sedang hanya bicara pada batu nisan. Pada sebuah tembok rapuh di jalan yang tidak akan pernah mengerti bahasa makhluk dengan angan.

Akhirnya aku hanya ingin menuliskan bahwa…
“Wahai kamu, Narendra Putra...ketahuilah bahwa selama ini aku berusaha membuka diri. Tapi entah kenapa bayangan dan imagi di kepala ini sangat jauh lebih indah dan tinggi dibandingkan dengan…nyali, nyali yang kuingin kamu miliki”

Kamu (mungkin) tidak pernah menyadari hal-hal yang kuisyaratkan…

Kamu (mungkin) tidak pernah terhubung dengan hati ini…paling tidak, tidak di saat sekarang.

Kamu (mungkin) perlu kusingkirkan.
Kusingkirkan dari kepala yang entahlah, aku tidak tahu bagaimana harus kubuang.

Semoga kamu mengerti…bahwa semua yang akan terlihat di permukaan, nantinya adalah ‘keputusan’
Tak perlu lagi kau usik ada kebenaran apa di balik sebuah keputusan.
Mungkin suatu hari akan ada waktu untuk kita, tapi entah kapan.
Mungkin juga semuanya hanya akan menjadi kenangan.

Saya suka kamu, tapi tidak bisa memilihmu, Rendra...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun