Mohon tunggu...
Tamara Palupi
Tamara Palupi Mohon Tunggu... Wiraswasta - owner of God's given so called positive vibes

i'm all about social media, internet, passion, sharing, living a life, architect, interior, decoration, graphic, color, travelling and writing for sure.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

And the Truth is...

11 Agustus 2010   07:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:08 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ya, semua ini hanya fiksi.

“Please...no no no.Aku membutuhkanmu Saat”, pinta Ted padaku.Itu pertama kalinya aku minta putus dengannya.Dan dengan segala kata-kata dan air matanya, aku mengurungkan niatku “pergi” darinya.

Begitulah kira-kira yang terjadi 3 tahun ini.Berpuluh kali aku minta ia pergi dariku, atau aku yang ingin pergi darinya, tapi tidak sekalipun perpisahan kami benar-benar terjadi.Dia selalu menggunakan alasan bahwa kami saling membutuhkan, kami saling tergantung, kami harus saling menopang, bahwa dia membutuhkanku (alasan paling sering) dan oh...satu lagi, alasan bahwa aku yang merubahnya.Menjadi lebih baik, katanya.

Pada satu kesempatan, aku memang sangat tersanjung dengan alasan-alasan Ted mempertahankanku.Apalagi jika ia sudah menyebut-nyebut tentang aku yang menjadi “cahaya penerang” dalam keluarganya.Ya, sebelum aku datang dalam kehidupannya, hubungan Ted dengan keluarganya berjalan sedingin es.Kata Ted itu karena ia membelot untuk melanjutkan pendidikan di sekolah bisnis.Ayahnya ingin ia meneruskan usaha keluarganya, perusahaan real estate ternama di negeri ini.Tapi hubungan itu berangsur baik setelah aku datang, mencairkan suasana diantara mereka.Katanya.

Namun di lain kali, aku merasa hilang tiap kali berada di sisinya.Aku merasa tidak bisa memilih beberapa hal penting yang kuinginkan, yang inisiatifnya berasal dari kepalaku sendiri.  Kalimat seperti “Eh, jangan itu deh...kamu tahu kan ponco sudah gak musim lagi dalam beberapa bulan ini”, ketika aku hendak membeli baju model ponco terbaru untuk kukenakan di acara pantai beberapa minggu lalu atau “Humm...kayanya mendingan dipadu sama blazer abu-abu saja, Saatchi.Syal hijau ga akan matching dengan kemejamu”,“Mending gak kesana dulu sayang...ini kan malam Minggu.Kamu kan tahu, aku tidak terlalu suka tempat yang ramai seperti itu” atau alasan-alasan lain yang entah bagaimana, biasanya selalu kupatuhi dengan tunduk taat.

Ted,Aku begitu mencintaimu sampai-sampai aku lupa bagaimana mencintai diriku sendiri.

Siang itu aku makan siang dengan beberapa teman kantor di area lounge lantai dasar.Vina membicarakan tentang pacarnya yang semalam melamarnya.Santi terus menerus berkomentar tentang bagaimana jam makan siang ini menyelamatkan hidupnya, katanya ia hampir sekarat saking laparnya.Bayu mengikuti pembicaraan Vina dan Santi dengan antusias.Sedangkan aku, hanya menyimak saja tanpa banyak berkomentar.Ahh...siang ini aku ingin sekali menyalakan sebatang rokok, karena memang lounge ini berfungsi sekaligus sebagai smoking area.Kucari-cari lighter yang rasanya tadi kusimpan di kantong tasku.Tadi aku memang sempat bertabrakan dengan seseorang di pintu dekat kasir, tapi rasanya...ah entahlah, aku lupa.Sepertinya tadi aku terlalu banyak melamun.Nyawaku tidak disini...sambil terus kuaduk-aduk isi tasku, sampai tiba-tiba... “Hello Saatchi Atmawirya...” , sapa seseorang.Dan kulihat lighterku di tangannya.

“Haaaaaaaaaah? Dannyyyyyy?” ucapku setengah histeris.Daniel Pandjaitan, seniorku waktu kuliah arsitektur dulu.Ia adalah salah satu pria paling charming di kampus.Hahaaa, ya...kepalaku lalu menerawang pada masa beberapa tahun lalu.He was the first Man who had me at hello. Dengan tubuh atletisnya yang tinggiiiiii, (aku kurang tahu pasti ukuran tinggi badannya dalam cm, tapi aku suka menyebutnya dengan Si Tinggiiiiii. Ya, dengan huruf i yang cukup banyak) dia adalah orang pertama yang membuatku merasa seperti ikan yang menggelepar-gelepar saat pertama kali dia menyebut “hello” padaku. Aaaaaah....

Oke kembali ke dunia nyata. Haha...aku tiba-tiba saja bisa menjadi sangat “fantasius” (sebutanku untuk orang yang suka berfantasi) jika ingat tentang satu orang di hadapanku ini.

“Saatchi!” Danny membuyarkan lamunanku.“Are you okay?”

“Ah, Danny...! Iya, aku kaget saja.Aku hanya ingin memastikan kamu ini Danny.Kok...tiba-tiba...eh, apa kabaaaar?” sapaku dengan degup dada kencang dan bertanya dalam hati “Kok dia tahu nama lengkapku?”, sambil kuulurkan tanganku bersalaman dengannya.

Iyak, dan kami berbincang singkat selama kurang lebih 15 menit.Waktu istirahat kantor yang hanya 1 jam ini rasanya ingin kuperpanjang menjadi 3 jam.

Danny baru saja tiba di Jakarta rupanya.Selama beberapa tahun ini ia bekerja di negeri Singa selepas menyelesaikan pendidikan di kampus kami.Ia adalah sosok inspirasional junior-juniornya, smart dan sering memenangkan sayembara-sayembara desain.Dan oh iya, secara random aku ingat Danny ini sukanya gonta-ganti pacar tapi dengan tipe-tipe cewek yang selalu saja berbeda. Dia bukan hanya memacari cewe cantik tampang model tapi kadang juga cewek yang kami bilang “biasa banget”.Dan aku...I was invisible back then...

Danny, ah...pikiran tentang idola kampus ini membuatku melayang-layang...

“Ted, aku lagi di Aksara mau beli buku design yang udah kuincer beberapa Minggu lalu”, ucapku di telepon.“Oke, kalo udah di rumah segera ngabarin yah.Aku beli sesuatu buat kamu”, kututup telepon setelah kujawab “Oke. bye” Yang tidak kuberitahukan adalah, bahwa aku di Aksara bersama Danny, kami berdua sedang duduk di bagian cafe dari bookstore ini.

Tiba-tiba Danny mengeluarkan kotak berbentuk persegi panjang yang ramping.Dia membukanya sambil berkata “Saatchi, masih ingat ini?” Omaigattt...itu pensil sketsa kesayanganku jaman kuliah!Pensil mekanik yang isinya berdiameter2mm. Bahkan samar-samar masih ada label namaku yang berbunyi “Saatch!” Pensil itu hilang pada hari aku harus presentasi studio 7 tentang kawasan! Bagaimana mungkin itu ada di tangannya? Dan...kenapa masih ada sampai...sekarang?

Kuhisap sebatang lintingan tembakau berfilter ini.Beberapa minggu lalu dua peristiwa itu terjadi dalam waktu hampir bersamaan.Kebimbanganku antara perasaanku pada Ted (yang mungkin juga kebimbanganku pada jati diriku sendiri) dan datangnya sosok lama yang dulu sering kuperhatikan diam-diam, yang ternyata selama ini mencariku dan terus menjadi fantasi di kepalaku.

Aku bukannya tidak cinta Ted, bukannya tidak lagi sayang padanya.Hanya saja aku merasa “hilang” bersamanya, aku jadi lupa hal-hal yang kusenangi, hal-hal yang membuatku bahagia.Dan mungkin aku takut akan “kepastian” kemapanan karena di satu sisi aku masih ingin hidup bebas, melayang kemana-mana.

Aku juga bukan mencintai Danny, karena insting dan hatiku-pun tidak cukup kuat berkata demikian.Kedatangannya terlalu...cepat mungkin.Terlalu cepat jika aku harus menamai perasaanku padanya sebagai sayang atau cinta.Aku memang dulu diam-diam mengamatinya dari jauh, tapi pure karena dia memang “berkilau” di kampus.Cewek manapun juga pasti akan tahu tentang reputasinya yang baik dan charming itu.

Aku rasa, aku hanya sedang butuh sendiri.Kukatakan pada Ted bahwa kami tidak putus, tapi aku akan sangat menghargai jika ia sekarang berperan sebagai sahabat untukku.Aku hanya sedang ingin mengamati apapun dari jauh.Dan pada Danny, kata-kataku tidak berubah.Kutekankan bahwa aku tidak bisa dan tidak bersedia menjadi seseorang yang teristimewa di hatinya.Aku sudah bertunangan, aku akan menikah dengan Ted sebentar lagi.Tapi Danny juga sama keras kepalanya dengan Ted. Berkali-kali ia selalu menggarisbawahi kalimat bahwa dia akan menunggu.Dan iya, Ia tetap bergelayutan di kepalaku.

Aghh...aku bosan menjadi naif.Aku bosan terlalu memikirkan orang lain.Aku bosan bersikap manis kepada semua orang.Aku bosan bersikap terlalu berhati-hati pada hampir setiap insan.Aku bosan mempertimbangkan kalimat “Aku membutuhkanmu”.Namun “Biarlah sesekali orang lain yang terluka asal aku bahagia” juga tak pernah semudah yang aku duga.

Kumatikan percikan api kecil di ujung benda ini sampai asapnya menghilang. Perlahan kumasuki pintu boarding pesawat.Besi terbang ini sebentar lagi akan membawaku ke negeri 1001 malam, ke negeri seberang.Dimana aku punya harapan baru, aku bisa memandang semuanya dari kejauhan, berharap cara berpikirku akan menjadi lebih obyektif.Membawa hatiku kepada hidup yang lebih tepat.

Aku lari? Entahlah...

I started looking for excuses

I started looking for the warning sign,

When the truth is...I miss you...

Yes the truth is...that I miss you so...

(clodplay - warning sign)

I miss both of you.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun