Kuintip isi pesan singkat yang baru saja datang. Dari Eri.
Kau bertanya “Siapa?”
“Mas Eri”, kataku
“Ngapain dia?”
“Gapapa…cuman nanya kabar aja”, paparku singkat.
Kututup layar handphoneku lalu kita melanjutkan acara makan siang yang telah kita rencanakan sejak beberapa Minggu lalu. Kau tetap tampak tampan, dengan tubuh proporsional yang tidak terlalu mengurus dan tidak juga menggendut.
Ekspresi damaimu itu sudah lama kunantikan. Ekspresi damai yang siap pecah menjadi tawa tersipu jika “kutembak” dengan pandangan maut di salah satu sudut matamu. Ya…hanya aku yang tahu dimana letak sudut pemecah ekspresi damai-dinginmu itu.
Aku sudah sangat dekat denganmu…
Dengan hatimu…
“Gimana kemaren 1 bulan di Bandung?”, tanyamu memecah ekespresi diam-kangenku.
“Ah…menyenangkan sekali. Menjalin rekan kerja baru, bertemu dengan teman-teman seprofesi. Overall menyenangkan”, jawabku dengan lugas.
“Ada gangguan ga?”, lanjutmu.
“Hah? Gangguan apa?”, godaku sambil tersenyum.
“Yaaaa…biasaaa…fans-fansmu itu…”, ujarmu dengan nada sedikit mengejek.
Ya…karantina hampir satu bulan demi memperjuangkan satu gelar Gadis Sampul rupanya cukup membuatmu khawatir. Pasalnya memang ada satu sosok yang selama ini kamu bilang beritikad buruk untuk mendekatiku. Fotografer itu, Eri. Hahaa…tapi aku selalu menyambut kekhawatiranmu dengan canda menenangkan…dan tetap memegang kepercayaanmu menjadi yang nomer satu.
Aku sudah sangat dekat denganmu…
Dengan kebiasaanmu…
Dengan gembok di hatimu…
Dengan jiwamu…
Eri, fotografer majalah Ibukota itu, dia memang mempesona. Bukan hanya aku yang mengatakan demikian, tetapi sebagian besar model-model cantik itupun mengatakan hal serupa. Mengamini sampai hampir terkena bujuk rayunya. Hahaaa…ya…Eri memang terkenal suka tebar pesona. Dia memang sangat lihai dalam mengambil hati wanita.
Pernah sekali waktu, aku hampir terbuai dalam rayuan kata-kata manisnya. Tapi untunglah…kekuatan hatimu, Armand-kekasihku, telah membawaku melupakan semua bujuk rayu Eri.
Memikirkanmu seringnya membuatku nyaman…
Membuatku gemas dan geregetan tak tertahankan…
Armand…tiap memandangmu, rasanya aku selalu ingin menjadi kelinci manja yang tidak lagi hanya ingin melihat, tapi bahkan ingin segera membenamkan tubuh mungilku ke pelukanmu. Bagiku…kamu adalah sebagian dari kedamaian. Bagiku, sebagian besar kedamaian yang diberikan Tuhan untukku, tersalur melaluimu…
“Tolong jangan pergi ya…”, pintamu suatu kali dengan ekspresi hampir menitikkan air mata.
“Tidak Armand…aku akan selalu disini, menemanimu sampai kamu sembuh”, janjiku.
Kaupun menggenggam erat tanganku…sambil menahan segala kesakitan yang mungkin kau rasakan selama proses kemotherapy itu. Kucium penuh hormat keningmu yang hangat dan kubiarkan berjam-jam waktu tak tergantikan itu berlalu, demi membuatmu merasa lebih nyaman.
Tuhan…tolong jaga jiwa kami untuk selalu dapat saling mengisi, ijinkan untukku dapat selalu mendampinginya sampai nanti akhir hayatnya…