Stunting masih menjadi salah satu permasalahan serius di Indonesia. Walaupun prevalensi stunting nasional turun sekitar 0,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya, namun angka ini masih jauh dari target penurunan sebesar 14 persen pada tahun 2024. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah pun menyusun kerangka penanganan stunting dalam bentuk 2 langkah intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Untuk intervensi gizi spesifik dilakukan oleh sektor kesehatan, serta bersifat jangka pendek, dan khusus ditujukan pada anak di 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Sedangkan intervensi gizi sensitif sasarannya lebih luas lagi, yakni masyarakat umum, dengan intervensi melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan.
Stunting sendiri merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan tinggi badannya berada di bawah standar. Tak hanya mempengaruhi kondisi fisik, stunting juga berdampak terhadap kemampuan kognitif dan perkembangan otak anak.
Faktor Risiko Stunting Pada Anak
Mengingat betapa pentingnya permasalahan stunting ini, Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) pun melakukan sebuah kajian, dengan hasil rumusan berupa rekomendasi strategi intervensi yang tepat sasaran dalam upaya penurunan dan pencegahan stunting di Indonesia. Informasi tersebut disampaikan FKI pada kegiatan media briefing yang digelar pada hari Kamis, 19 September 2024 di Greyhound Cafe, Jakarta.
Direktur Ekesekutif FKI, Prof. Nila F. Moeloek mengatakan bahwa buruknya kualitas air minum serta minimnya akses sanitasi menjadi faktor risiko stunting pada anak. Berdasarkan data BKKBN tahun 2023, secara nasional, terdapat 30 persen keluarga yang berisiko stunting, dengan kasus stunting paling banyak berada di daerah 3T. Bahkan 7 provinsi, yakni NTT, Papua Tengah, Kalimantan Barat, Papua, Papua Barat, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan memiliki prevalensi stunting tertinggi, dengan angka masih di atas 50 persen risiko stunting. Â
"Dari data statistik tersebut ditemukan bahwa daerah-daerah yang masih tinggi prevalensi stuntingnya merupakan daerah yang sulit mendapatkan akses air minum. Ketiadaan akses air bersih dapat meningkatkan risiko stunting 1,42 kali. Ketiadaan fasilitas buang air besar dan septic tank juga dapat meningkatkan risiko stunting 1,27 kali. Begitupun dengan Berat Lahir Rendah yang dapat meningkatkan risiko stunting 2,39 kali, dan bayi prematur 2,12 kali," papar Prof. Nila.
Menurutnya lagi, permasalahan stunting tidak hanya dengan intervensi gizi saja, namun juga harus dilihat dari segi sanitasi lingkungannya. Sanitasi, akses air bersih, serta skrining dan cegah anemia sejak ibu hamil merupakan 3 faktor berdaya dampak besar untuk pencegahan risiko terjadinya stunting.
7 Rekomendasi FKI untuk Pencegahan Stunting  Â
Dari kajian yang telah dilakukan secara independen oleh FKI tersebut, maka dihasilkan 7 rekomendasi untuk pencegahan stunting jangka panjang, yaitu:
- Perawatan continuum care, dengan cara rutin memeriksakan kesehatan untuk cegah anemia. Ibu hamil dengan anemia berisiko melahirkan anak stunting. Untuk itu, perlu dilakukan skrining anemia dan intervensi prioritas cegah stunting berkelanjutan, serta dengan meningkatkan kualitas pelayanan Antenatal Care.
- Komitmen kepemimpinan pemerintah daerah untuk lebih fokus pada permasalahan stunting yang ada di daerahnya masing-masing.
- Intervensi dan pencegahan dari hulu berbasis keluarga, dengan salah satu fokus penting pencegahan anemia pada ibu hamil.
- Integrasi pelayanan dan edukasi hingga tingkat kecamatan.
- Lintas sektor, terutama memasukkan aspek sanitasi dan akses air bersih.
- Tata kelola kolaboratif dengan posyandu, puskesmas, dan PKK.
- Mengoptimalkan edukasi pangan sehat dan gizi seimbang. Â
FKI berharap masalah sanitasi dan akses air bersih dapat menjadi sorotan pemerintah, karena merupakan langkah strategi untuk mencegah stunting, selain dengan cara intervensi gizi. Rekomendasi ini diharapkan juga bisa diterapkan oleh pemerintah daerah, karena masing-masing daerah memiliki faktor penyebab stunting yang berbeda. Dengan kolaborasi semua pihak, diharapkan target penurunan dan upaya pencegahan stunting di Indonesia dapat dicapai. Â Â