Dokter Tiwi yang juga merupakan penulis buku Sang Bayi tersebut mengatakan bahwa aturan cuti 6 bulan menurutnya sudah ideal ukurannya. Namun ibu pekerja yang menjadi bagian dari roda perekonomian keluarga, yang mengharuskan ibu untuk tetap bekerja selama masa menyusui, maka ibu tersebut haruslah didukung dengan kebijakan perusahaan, seperti memberikan fasilitas laktasi, menyediakan konselor atau motivator laktasi, dan yang terpenting ibu memiliki waktu kerja yang fleksibel, agar tetap dapat menyusui, atau memerah ASI dengan berkualitas di antara jam kerja.
“Dukungan di tempat kerja harus proporsional, karena ibu pekerja benar-benar harus diberi kebebasan memompa ASI. Secara klinis, ASI itu harus diperah atau dikosongkan secara rutin, paling tidak 2 jam sekali. Jadi jangan menunggu waktu makan siang saja,” ujar Dokter Tiwi yang juga aktif sebagai anggota Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Undang Undang KIA disambut baik oleh masyarakat Indonesia. Masa cuti 6 bulan bagi ibu pekerja yang menyusui juga sangat dinanti-nantikan kehadirannya. Namun begitu, pilihan untuk bekerja dengan gaji penuh, dan diberikan waktu kerja yang fleksibel minimal sampai ibu selesai memberikan ASI Eksklusif menjadi pendekatan yang lebih baik dan ideal, baik secara penelitian maupun pendekatan praktis secara klinis.
Waktu kerja fleksibel menawarkan keseimbangan yang baik antara karir dan tanggung jawab keluarga, serta memungkinkan ibu untuk tetap produktif di tempat kerja sambil merawat anak mereka. "Jadi ingat, menyusui itu harus dibarengi juga dengan ketahanan ekonomi keluarga. UU KIA adalah tonggak penting dalam memberikan perlindungan kesehatan dan kesejahteraan ibu pekerja, sehingga harus didukung oleh semua pihak," pungkas Dr. Ray.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H