Republik Rakyat China atau yang sering juga disebut sebagai Republik Rakyat Tiongkok adalah sebuah negeri yang mulai bangkit dan diperhitungkan dalam tatanan perekonomian dunia sebagai raksasa ekonomi dunia baru. Bukan hanya dalam bidang ekonomi, Kekuatan Militer Republik Rakyat Tiongkok juga diperhitungkan oleh masyarakat internasional.
Kebangkitan Republik Rakyat Tiongkok ini, tidak serta merta datang dari langit, begitu banyak hambatan dan rintangan mengawali perjalanan keberhasilannya menuju negeri Tiongkok yang mandiri. Semua berawal dari pilihan yang tepat ketika pada tanggal 1 Oktober 1949, Republik Rakyat Tiongkok akhirnya memutuskan dan menjatuhkan pilihannya untuk membangun masyarakat Sosialis Marxis-leninis. Tetapi Republik rakyat Tiongkok bukan Uni Soviet atau Rusia, juga bukan Amerika, melainkan Tiongkok dan rakyatnya sendirilah yang paling tahu bagaimana mereka belajar membenahi kesalahan, mengkoreksi dan mengubah serta melakukan penyesuaian berdasarkan kebutuhan dan kepentingan bagi negerinya sendiri.
Sebagai gambaran bagaimana ketika terjadinya puncak perang dingin antara Kapitalisme Amerika Serikat dan Komunisme Uni Soviet. Waktu itu pada pertengahan tahun 1958 ketika Pemimpin Uni Soviet Nikita Kruschev berkunjung ke Beijing dan bertemu dengan Mao Dzedong dan Zhou Enlai. Demi “persahabatan abadi” Kruschev membujuk Mao membangun Pakta Pertahanan Bersama. Dan dia juga tawarkan mendatangkan para ahli Uni Soviet guna memasang instalasi nuklir di Tiongkok.
Mendapat tawaran yang sangat menarik dari Nikita Kruschev, dengan tegas Mao yang didampingi Zhou menolak tawaran dari pemimpin Uni Soviet itu. Mao tajam bertanya, jari siapa yang siap di atas tombol peluncuran ? Beberapa tahun kemudian baru terungkap kata-kata pedas antara dua pemimpin komunis itu. Mao konon mengatakan dengan penuh percaya diri : “Walaupun harus pakai celana kolor, Tiongkok mandiri akan membangun instalasi nuklirnya sendiri, dan juga oleh ahli-ahli Tiongkok sendiri !” kata kata ini mirip seperti apa yang pernah dikatakan oleh pemimpin besar Indonesia Soekarno yang juga pernah mengatakan Go to hell with your aid, sebuah pernyataan dari Soekarno yang tegas dan berani karena Soekarno tidak ingin Indonesia menjadi pengemis dan peminta-minta hutang kepada negara lain apalagi kalau bantuan tersebut berlatar belakang politik yang bisa mengorbankan kedaulatan dan kebebasan politik negara, jelas ditolak keras oleh Soekarno.
Mendapat jawaban dari Mao, Pemimpin Uni Soviet Nikita Kruschev sempat sengit dan berkata : “Ah, petani Cina celana kolor pun tak punya !”. Padahal waktu itu para marsekal dan jenderal RRT begitu sangat tergiur oleh tawaran Kruschev, antara lain Peng Dehuai, dan ketika itu sempat mengkritik Mao karena telah bersikap dogmatis ke kiri-kirian. Mengapa menolak ? Bukankah suatu kemajuan hebat bagi angkatan bersenjata RRT dan bagi Tiongkok menjadi kekuatan nuklir dunia ?
Belakangan walau pun harus menunggu enam tahun lebih, terbukti garis mandiri Mao dan Zhou Enlailah yang paling benar. Pada 16 Oktober 1964 untuk pertama kalinya, Tiongkok meledakkan bom atomnya, tanpa tergantung negeri mana pun di dunia, juga tidak tergantung negeri sesama komunis. Tiongkok RRT yang mandiri langsung berubah status sebagai kekuatan nuklir dunia ! Inilah pembelajaran luar biasa tentang arti penting bersikap mandiri ! bayangkan dengan para politisi dan para aktivis Indonesia, baik profesional maupun amatiran, mereka patut merenungi pengalaman berharga bagaimana Tiongkok menilai hakekat mandiri, juga apa hasil politiknya bila teguh konsekuen bersikap mandiri, Dengan kemandirian yang konsekuen, Tiongkok mampu memanfaatkan optimal konflik dua adikuasa Uni Soviet dan Amerika Serikat bagi kepentingan nasionalnya sendiri.
Sungguh luar biasa, bagaimana awalnya ketika berjuta-juta hektar padang rumput yang membentang luas dan tidak produktif namun semua kini telah bermetamorfosa menjadi wilayah industri maju dan teknologi tinggi berkembang begitu pesat serta pembangunan prasarana format raksasa tersebar di seluruh negeri, tingkat kemakmuran melonjak naik, pertumbuhan ekonomi membikin dunia terkagum-kagum, sedangkan Tiongkok sendiri mengakui kesejahteraan belum merata. Sungguh tantangan maha besar bagaimana mereka meratakan serta mendistribusikan kesejahteraan bagi 1,3 milyar manusia, jumlah 1/5 penduduk dunia. Begitu juga kita bisa lihat dinamik koreksi diri, bukan saja teknis tetapi juga meliput salah urus dan salah garis politik, ekonomi, budaya, sosial. Bahkan juga tidak henti-hentinya berlangsung pembenahan tesis-tesis ideologi, benar-benar Luar biasa ?
Kemandirian ala Tiongkok ini tentunya bisa menjadi bahan renungan yang sangat berarti bagi para pemimpin kita, bagaimana Tiongkok yang di sindir habis oleh pemimpin Uni Soviet Nikita Kruschev sebagai negeri yang petaninya saja tidak punya celana kolor tetapi mereka mampu membangun negerinya serta bangkit sebagai bangsa yang berdaulat. Penulis jadi teringat kata-kata Bung Karno ketika masih berkuasa sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia, beliau dengan tegas menolak keras bantuan kapitalisme dunia yang sarat dengan berbagai jerat ketergantungan. Dengan seruan “Go to hell with your aid !, Bung Karno mantap mau mendidik rakyat Indonesia dan membangun karakter bangsa agar tidak menjadi bangsa pengemis karena kemerdekaan tanpa kemandirian tidak lain adalah semi kolonialisme.
Mengapa kita perlu belajar dari Tiongkok, walaupun tentu saja bukan berarti kita menyontek habis apa yang sudah dilakukan di Tiongkok, karena sudah tentu kondisi sosial politik serta budaya masyarakat Tiongkok sangat berbeda dengan Negara Indonesia, yang dapat kita lakukan adalah menarik Essensi nilai-nilai universal terbaik dari watak dan gaya kepemimpinan mandiri yang mereka lakukan. Pemimpin mereka mempunyai sikap mandiri revolusioner, bekerja untuk kepentingan rakyat tanpa pamrih, cerdas, kreatif, berilmu, beradab dan anti korupsi. Nilai-nilai universal itulah yang dimana saja tetap akan valid dan sangat berguna, bukan saja untuk masyarakat Tiongkok, Indonesia pun memerlukan nilai-nilai luhur tersebut.
Sumber :
Buku : Zhou Enlai Potret Seorang Intelektual Revolusioner