Wanita kelahiran 20 Juli 1928 ini bernama Sudjinah, muda, cantik dan wajahnya sangat Indonesia banget, namun dibalik paras ayunya, Sudjinah adalah wanita yang sangat berani dan turut aktif digaris depan pertempuran saat perang merebut kemerdekaan, Remaja Sudjinah adalah salah satu anggota Mobile Pelajar, juga Pemuda Putri Indonesia. Pada tahun 1949, ia menjadi kurir Batalyon Bramasta di selatan Bengawan Solo. Tahun 1950, Sudjinah kembali ke Solo, melanjutkan sekolah dan kemudian ke Yogyakarta untuk menyelesaikan SMA.
Lulus dari SMA pada tahun 1952, Sudjinah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada (UGM). Sayang, ia tak menyelesaikan pendidikan sarjananya karena beasiswanya terhenti di tengah jalan. Namun di kampus biru inilah, Sudjinah semakin aktif terlibat di Pemuda Rakyat (PR) yang merupakan kelanjutan dari Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan juga berkecimpung di Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang merupakan cikal bakal terbentuk Gerakan Wanita Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Gerwani.
Sudjinah disamping aktif sebagai kader Gerwani, ia juga seorang Jurnalis freelance di sejumlah surat kabar dan penerjemah untuk kantor berita Pravda milik Uni Soviet. Sudjinah juga banyak menulis cerita-cerita pendek, Salah satu bukunya yang berjudul "Terempas Gelombang Pasang" yang diterbitkan Pustaka Utan Kayu tahun 2003, Sudjinah berkisah tentang "Rumah Setan" . Ini adalah sebuah bekas sekolah Tionghoa di ruas Jalan Gunung Sahari yang dipakai sebagai tempat penyiksaan para korban yang ditangkap karena keterkaitan mereka dengan G30S/1965. Penyiksaan luar biasa yang terjadi di rumah itu membuatnya layak disebut demikian.
BukuTerempas Gelombang Pasangadalah bagian dari kisah Sudjinah yang pernah mengalami masa-masa pahit ketika Sudjinah dan kawan-kawan seperjuangan ditangkap pasca gestapu karena dituduh sebagai aktifis Gerwani yang difitnah terlibat dalam peristiwa lubang buaya. Sudjinah mulai ditangkap pada 17 Februari 1967 dan pada bulan Juni 1967, Sudjinah bersama teman seperjuangannya Sulami dipindahkan ke kamp tahanan lain yang membuat mereka kemudian bertemu dengan Sri Ambar dan Suharti Harsono yang ditangkap lebih dulu pada September 1966.
Di rumah penyiksaan di jalan gunung sahari itulah, Sudjinah bersama Sulami ditempatkan di sel sempit yang penuh dengan bercak darah di tembok. Hampir tiap hari mereka mendengar jerit kesakitan dari ruang yang dipakai untuk tempat interogasi.
Dalam interogasi, Sudjinah dipaksa mengakui aktifitasnya dalam gerakan bawah tanah, Namun ia bungkam sehingga pukulan rotan serta bertubi-tubi siksaan yang dilakukan oleh delapan interogator di tubuh telanjangnya tetap tak mampu membuatnya bicara. Juga intimidasi psikologis saat ia dipaksa menyaksikan penyiksaan seorang kawan yang digigit telinganya hingga putus.
Alih-alih bicara, Sudjinah justru muntah di wajah interogatornya karena tak tahan menahan muak. Ia muntah persis saat wajah interogator tersebut mendekat dan nyaris menyentuh pipinya. Akibatnya, ia kembali dipukuli dengan rotan hingga pingsan.
Berikut ini pengakuan Sudjinah dan Sulami :
"Lihatlah, kamu akan di lempar ke lubang itu kalau tidak mau menceritakan siapa teman-temanmu, kau akan kami kubur hidup-hidup!" Saya hanya menutup mata. Mengapa saya harus menjadi pengkhianat dengan menceritakan kerja bawah tanah saya kalau akhirnya akan dibunuh? Itulah yang tersirat dalam benak saya. Mereka dapat memukuli saya sampai... mati, namun saya tidak akan mengkhianati teman-teman(Sudjinah, tahanan Gerwani di Bukitduri)