FDS, 'Agama' Hanya Ekstrakurikuler?
 Studi Analisis Pasal Pemendikbud 23/2017
Oleh: Akhmad MuadinÂ
PERATURAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23/2017 Tentang Hari Sekolah masih harus dikaji operasionalnya. Pasal 2 mengatur "Hari Sekolah dilaksanakan 8 jam sehari atau 40 jam seminggu". Ini memicu penolakan sejumlah guru dan siswa bahkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak Permen dimaksud. Benar saja, jika dianalisa pasal per pasal dapat membebani pengelola sekolah, guru dan siswa. Contohnya Pasal 3, disebutkan "Hari sekolah digunakan guru melaksnakan beban kerja guru".
Redaksi ini jauh dari semangat transformasi pengetahuan, seolah beban kerja guru adalah titik beratnya. Aturan ini mengesankan, Mendikbud Muhadjir Effendy tak rela guru punya luang waktu sedikit santai. Padahal pengetahuan tak diukur lamanya durasi mengajari, melainkan teknik guru mentransformasi. Ini diperkuat pasal 10 ayat (1) "Guru yang belum dapat melaksanakan ketentuan Pasal 2 tetap melaksanakan ketentuan 40 jam seminggu untuk memenuhi beban kerja guru.." ayat (2) "Siswa yang belum dapat melaksanakan ketentuan Pasal 2, tetap melaksanakan ketentuan jam sekolah sesuai beban belajar kurikulum.."
Sepertinya Mendikbud memiliki 'kejar tayang' sampai harus 'memaksa' guru dan siswa. RELIGION 'SECOND' EDUCATION Mendikbud meletakkan pasal krusial karena dapat 'menyinggung' karakter pendidikan keagamaan. Sebab kegiatan keagamaan hanya berkategori ekstrakurikuler, Pasal 5 ayat (7) menyebutkan "Kegiatan ekstrakurikuler keagamaan meliputi madarasah diniyah (Madin), pesantren kilat, katekisasi, retreat, baca tulis Alqur'an dan kitab suci lainnya". Mungkinkah Mendikbud mewujudkan pendidikan karakter, sementara (hanya) menempatkan keagamaan sebagai 'secondline' education saja?
Idealnya, Mendikbud tak tutup mata, bahwa Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag memiliki 21.521 Pondok Pesantren dan 37.102 Madin. Kolaborasi jam belajar pendidikan formal dan Madin sudah berjalan puluhan tahun dan tak ada masalah. Kini jam sekolah ditambah 8 jam, praktis 'menggerus' jam Madin. Idealnya Mendikbud membuka mata, Madin dan pesantren justru berperan sangat konkrit menguatkan pendidikan karakter. Madin dan pesantren mengajarkan takdhim-ketaatan Kiai, guru dan ustadz, dari cara berujar hingga bertingkah laku, di sekolah apakah mengajarkan itu? Madin dan pesantren mengajarkan skema kemandirian dari bangun tengah malam, qiyamullail,mandi,subuh,ngaji,berangkat sekolah formal, Madin siang, setoran hafalan (sorogan) sore, sholat maghrib berjamaah, ngaji petang, belajar malam, istirahat dan begitu seterusnya.
Mereka tanpa diminta akan secara habbit bergotong-royong. Sementara di sekolah sederet aturan diformalkan tanpa terpatri menjadi habbit (kebiasaan). Lalu soal bakat, keterampilan dan keahlian siswa. Mendikbud harusnya bersyukur, memiliki siswa fasih baca tulis Alquran lengkap dengan metodologi nahwu, shorof dan tafsirnya. Harusnya syukur siswa memiliki kedalaman ilmu hadits, ushul fiqh, tarikh (sejarah) Islam hingga balaghahnya (ilmu bahasa dan sastra).
Harus bangga jika siswa sangat ahli berbahasa Arab dan Inggris, juga harus bangga karena siswa hafal beberapa bahkan 30 juzz Alquran. Pertanyaannya apa sanggup sekolah formal mengajarkan semua itu? karakter macama apa yang Mendikbud kehendaki?
 wallahu a'lamu bishawab.