[caption id="attachment_410562" align="aligncenter" width="255" caption="foto: get2iarea.blogspot.com"][/caption]
(1)
“Huh, kalau perempuan tipikal begini sih banyak Ndre...”
“Peduli amat dengan omonganmu Li...”
“Muke gile. Lama-lama kau tak ubahnya Arya Dwipangga yang mencintai perempuan yang tidak seharusnya ia cintai, sampai merepotkan diri terluka-luka hingga busa-busa syair-kemair tak rundung putus,” sindir Ali. Andre tidak menyahut balik. Ia asyik memandangi perempuan yang duduk di bangku depan kampus dengan sangat takjubnya. Ali garuk-garuk dagu. Tak habis mengerti.
“Kalau saja kau lebih memperjuangkan si Mila itu justru lebih baik. Impianmu mengembangkan bisnis tentu cepat terwujud. Ayah Mila kan seorang pengusaha. Tidak sulit baginya memberikanmu sokongan modal yang mencukupi untuk itu..”
Andre menatapnya tajam. Ali terbahak. “Ayahnya emang pengusaha, tapi anaknya? Oh, belum tentu. Belum tentu ia juga punya sifat yang sama. itulah masalahnya Li..”
Ali menyipitkan matanya. Andre menghela napas dalam-dalam. “Mila memang pantas dijadikan pacar, tetapi tidak jika dijadikan calon istri,” tambah Andre. Ali tambah bingung. “Sudahlah, susah bagimu mengerti ini jika tidak mengalaminya sendiri,” kata Andre lagi.
(2)
Andre ingat bagaimana hidupnya dulu. Berantakan dan hampir saja ia menghanguskan cita-cita hidupnya sendiri. Itu bermula setelah ibunya wafat, dan tak lama kemudian ayahnya menikah lagi. Ayahnya yang pengusaha tembakau yang berhasil, tiba-tiba bangkrut, setengah tahun setelah ia punya istri lagi. Saat itu, ia masih sibuk menyelesaikan skripsi. Uang saku bulanannya tiba-tiba dipotong sampai setengahnya.
Itu menjadikan Andre kelabakan, kebutuhan hidupnya di Surabaya tak pernah lagi cukup. Apalagi kebutuhan untuk skripsi juga banyak. Ia terpaksa menjual motor tiger kesayangannya, dan membeli sepeda motor butut, sekedar ia bisa jalan kemana-mana tanpa jalan kaki. Ya bagaimana lagi? Jika tak begitu, kuliahnya bisa gagal. Ia juga pasti merasa malu pulang kampung. Masak pulang hanya untuk jadi pengangguran??
Si Ningsih, pacarnya sebelum sama Mila, saat itu juga tahu-tahu malah meninggalkannya tanpa alasan. Langsung saja ia jadi terpuruk. Ia hampir putus asa menyelesaikan sisa akhir kuliahnya. Ia merasa menjadi manusia yang paling sial.
Beruntung, suatu hari ia mampir di sebuah musalla. Di musalla itulah ia bertemu si perempuan berkerudung kuning emas itu. Gara-garanya, sandalnya hilang. Perempuan itu malah bela-belain membelikannya sandal jepit.
“Saya khawatir, yang mencuri itu salah satu di antara anak-anak asuh saya, nggak apa-apa ya saya belikan sandal jepit ya mas. Uangnya nggak cukup beli sandal kayak punya sampeyan, saya hanya minta sampeyan maafkan kelakukan anak-anak asuh saya..” kata perempuan itu waktu itu memelas.
“Maksudnya anak-anak asuh?”
“Iya. Anak-anak yang ngaji itu kan saya yang ngajar.” Perempuan itu lantas menceritakan latar belakang semua anak-anak yang diajarinya ngaji itu. Ternyata mereka rata-rata anak dari gelandangan dan keluarga yang menggantungkan hidupnya dari memungut sampah dan menjualnya kembali.
Andre trenyuh dan salut.
“Berarti sampeyan ndak dibayar nih ngajarin mereka?”
“Anak-anak dan orang tuanya saja sudah mau, kan sudah hal luar biasa mas. Boleh saja orang tuanya miskin, tapi anak-anak ini harus jadi lebih baik dari orang tuanya. Mereka harus diajari nilai-nilai agama dan wawasan keilmuan meskipun sedikit. Ya saya hanya sedikit membantu saja mas.”
“Lha, terus sampeyan ini sudah kerja apa gimana?”
“Saya masih kuliah mas…”
“Wow, hebat sekali. Sampeyan masih meluangkan waktu untuk mereka!”
“Jangan terlalu memuji saya,” katanya tersipu malu. “Saya ini kan hanya meyakini sebuah prinsip juragan besi tua, apa yang kita anggap sampah itu bisa jadi emas. Anak-anak ini dilihat sebagai sampah jika tak dididik. Saya ingin mereka semua ini kelak jadi emas yang diperhitungkan orang…
Andre termangu. Kata-katanya itu, membuat merinding.
“Sebenarnya, kata-kata soal juragan besi itu saya dapat dari seseorang.” Lanjut perempuan itu. “Orang itu pernah bilang, bahwa banyak orang yang dulunya banyak kesempatan dan uang, karena kurang pandai memanfaatkan dan mensyukurinya secara tepat, akhirnya sesuatu yang semula emas itu akhirnya teronggok jadi sampah yang seakan tak bernilai sama sekali. Saya rasa, anak-anak ini juga begitu..”
Andre lagi-lagi termangu dengan ucapannya. Ia merasa tersengat. Kata-kata itu juga mirip dengan pesan almarhum ibunya. Ia masih ingat, ibunya selalu mengingatkan masa-masa sulit ayahnya jadi pebisnis tembakau. Karena itu, ia memintanya agar uang saku bulanan ditabung, dan sebisa mungkin digunakan untuk belajar membuka usaha.
“Orang tuamu boleh-boleh saja seorang pengusaha yang berhasil, tetapi jika kamu sukanya hanya bisa menghamburkan uang, ya kelak dia bisa jadi orang gagal nak. Orang tuamu ini kelak pasti meninggalkanmu dan tak bisa lagi menghidupimu... “
Ingat perkataan almarhum ibunya, Air mata Andre saat itu hampir saja melimpah keluar, kalau saja ia tak segera pamit pergi pada perempuan kerudung kuning emas itu. Rasa khawatir ketahuan menangis, sampai ia lupa menanyakan nama dan nomor telpon. Sesuatu yang ia sesali sampai saat ini.
Sejak setelah pertemuan itulah, ia termotivasi belajar untuk membuka bisnis kecil-kecilan. Sisa penjualan motor ia pergunakan untuk membuka warung kopi. Dan yang lebih penting lagi, perempuan itu telah mengingatkan perbedaan ibunya dan istri baru ayahnya. Ibunya sosok perempuan yang pandai mengelola keuangan, sedangkan ibu tirinya suka sekali bersolek. Senang sekali belanja barang-barang mahal.
Ali mendengarkan curhat Andre dengan khidmat.Meski lama berteman dengan Andre, sebenarnya Ali tak menyangka ada simpanan kisah dramatis di balik keberhasilan usaha Andre. Ia kini tahu apa yang menyebabkan Andre memilih Sundari. Selama ini ia hanya tahu orang tua Andre bangkrut, tapi apa yang terjadi di balik semua itu Andre tak banyak bercerita.
“Gara-gara pertemuan di musalla itu, tabungan sisa jual motorku kubuat berbisnis kecil-kecilan. Perempuan itu memang luar biasa. Aku jadi semakin sadar, perempuan seperti apa yang pantas kujadikan permaisuri. Mungkin dia emang tak cocok kujadikan pacar, cocoknya kujadikan istri ” kata Andre sembari terkekeh.
“Hohoho, jadi serius nih besok kita ke rumah pak Muslih?” Andre mengangguk. Pak Muslih adalah dosen ekonomi di kampus mereka. Di situlah ternyata perempuan kudung emas itu tinggal. Ia jadi pembantu pak Muslih untuk membiayai hidup dan studinya. “Ya kurasa begitu, harus secepatnya. Sebelum muncul janur kuning yang melengkung!”
“Busyet dah kau, ha ha ha”
Malam itu sungguh menjadi malam yang membahagiakan bagi dua sahabat itu.
(3)
Jantung Andre berdenyut-denyut. Dari balik pintu yang terbuka, muncul seorang perempuan membawa nampan minuman. Begitu ia akan menempatkan minuman, perempuan kerudung emas itu menatapnya kaget sejenak, sebelum kemudian ia berlalu pergi.
“Loh, putri jenengan pak? Saya kok belum pernah lihat sebelumnya?” tanya Andre. Ia pura-pura menanyakan itu untuk meredakan ketegangan. Pak Muslih tertawa pendek. Ia menggeleng. “Bukan nak Andre. Dia itu anak sahabat saya. Setahun lalu ayahnya wafat. Padahal dia itu tulang punggung keluarganya. Anaknya masih lima. Dan anak tadi itu anak tertua. Dia tak suruh bantu-bantu di sini sembari meneruskan kuliahnya. Kan kasihan juga berhenti tengah jalan. Ya semoga nanti dia bisa mandiri selepas kuliah, bisa ikut bantu adik-adiknya itu..”
“Wah, menarik juga kisah dibaliknya itu ya pak Muslih..”
“Iya nak. Dan rencananya, mau saya jodohkan dengan si Hasan. Anak saya paling sulung. Ya biar sekalian dia menjadi bagian dari keluarga saya. Lha, gimana? Ayahnya itu dulu sehabat terbaik saya. Dia yang dulu bantu saya biayai saya kuliah. Dari dia saya sering hutang biaya studi. Hutang budi yang susah saya bayar. Ya saya bayar ke anaknya saja. Lagian anaknya juga baik kok..”
Hati Andre seperti robek-robek separuh mendengar penuturan pak Muslih. Setelah lama berbincang, Andre pun pamit pulang. Pak Muslih mengantarkannya hingga pintu depan. Lalu ia masuk lagi ke dalam. Dengan gontai ia buka pintu pagar. Rasanya separuh napasnya tertinggal di ruang tamu pak Muslih.
(5)
“Sudah mau pulang mas?”
Andre mengangkat kepala. Perempuan kerudung kuning emas itu yang ternyata menyapa. Ia sedang membuang sampah yang terletak di depan pagar.
“Iyy..iya dik, eh mbak..” katanya gelagapan. “Lha, motornya itu mau sampeyan tinggal ta?” katanya lagi. Andre kembali gelagapan. Rupa-rupanya ia sampai lupa semua hal gara-gara kabar buruk dari pak Muslih. Ia kembali lagi ke dalam. Tapi ia balik lagi ke luar pagar. Ia mengeluarkan bundelan kertas dari tas besar yang ia sanggungkan di punggung. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi bajunya.
“Mbak, eh siapa namanya ya? Lupa saya..”
“Sundari mas. Ada apa ya?”
Andre tak langsung menjawab. Dengan degub jantung dan tangan agak linglung ia menyerahkan bundelan kertas di tangannya.
“Ini.. ini apa ya mas?”
“Untuk sampeyan dik, eh, mbak Sundari,” katanya kalang kabut. Amelia tampak kaget. Dengan tanda tanya ia buka bundelan kertas itu dengan penasaran. Segera terlihat sebuah gambar seorang perempuan. “Apa ini gambar ibu Kartini??? Kok mirip sekali??”
“Mungkin sekali lihat, itu seperti gambar Kartini Mbak Sundari. Tapi sebenarnya…” Andre tak melanjutkan kata-katanya, ia khawatir terlalu ngobrol bakal ketahuan Pak Muslih. Ia segera berbalik, naik ke punggung motor dan segera bersiap menghidupkannya. Sundari jadi kebingungan melihat sikapnya.
“Mungkin saja Mbak Sundari bukan jodoh saya, tapi saya berharap dari lukisan itu sampeyan tahu, bahwa bagi saya, Mbak Sundari itu sebagaimana halnya Kartini…”
“Loh, ini apa ya maksudnya sihh???”
“Sampeyan itu bak Kartini bagi hidup saya, yang telah membangunkan peradaban seorang lelaki dari keruntuhannya..” kata Andre sembari menyalakan mesin motor.
“Masih ingat sewaktu kita bertemu di musalla?” Sundari menatapnya tak mengerti.
“Musalla???” tanyanya balik, lalu kembali ia melihat-lihat lukisan perempuan di tangannya. Lukisan itu memang sekilas mirip Kartini, tapi setelah agak lama, baru ia menyadari sesuatu. Lukisan itu, ternyata lebih mirip wajah dirinya sendiri. Lukisan itu memang seakan memadukan dua wajah, ya wajah Kartini dan wajahnya sendiri.
“Bagaimana bisa sampeyan melukisnya sampai seperti ini??” tanyanya. Tetapi orang yang ditanyanya sudah tak ada lagi. Ia semakin bingung. Saking khusyuknya sampai ia tak menyadari kepergian laki-laki itu.
[caption id="attachment_410560" align="alignnone" width="657" caption="foto: pikes-peak.info"]
Selamat Hari Ibu Kita Kartini. Dan semoga kita semua dapat meneladaninya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H