Hapuskan watak korupsi itu susah, dan mungkin pikiran sontoloyo. Walau penanganan korupsi sudah merembet hingga ke para petinggi, dan berhasil digelandang ke dalam sel, tokh masih banyak juga yang tetap percaya diri melakukannya.
[caption id="attachment_323896" align="alignnone" width="560" caption="www.gen22.net"][/caption]
Setidak-tidaknya, ketika menyaksikan KPK sudah tak main pandang bulu dalam memburu dan nyata-nyata benar-benar menjebloskan pelakunya ke dalam penjara meski dia punya posisi cukup kuat, maka seharusnya sudah mampu mengirim daya getar dan daya gentar yang amat maksimal bagi siapa pun yang masih berhasrat korupsi.
Faktanya? Jika menelusuri data-data yang diberitakan media-media, tetap saja masih ada yang ngotot untuk diam-diam mempraktekkan ilmu kayak model siluman itu. Sepertinya, fenomena tersebut bukan lagi soal jera atau tidak jera. Tetapi juga soal mentalitas. Karena itu, model pemberantasan korupsi dengan cara-cara formal saja belumlah mencukupi syarat.
Maka perlu juga penanganan yang juga bersifat pembentukan mentalis baru. Tradisi korup sejatinya memang akarnya adalah mentalitas. Mentalitas yang sudah dipelihara selama berpuluh-puluh tahun lamanya sehingga mampu mengakar sebagai karakteristik atau kultur. Sesuatu yang sudah mengakar, maka amatlah sulit mencabutnya. Mencabut secara paksa sama saja bunuh diri, karena ia sudah menjadi bagian dari irama darah dan putaran kesadaran otak.
Sejak Menuju Pelaminan
Ada manfaatnya juga kasus biaya nikah menjadi isu panas nan liar. Sebab, tak hanya berdampak baik bagi kalangan yang akan melangsungkan pernikah, lebih-lebih rata-rata adalah kalangan menengah ke bawah, tetapi muncul gagasan jenius mengenai model pemberantasan korupsi.
Dilansir kompas.com, dalam rangka membahas tindak lanjut revisi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang tarif atas penerimaan negara bukan pajak di Kemenag, termasuk tarif nikah dan gratifikasi di lingkungan KUA, yang dihadiri Menag, Dirjen Anggaran Kemenkeu, serta perwakilan Bappenas, dan Kemenkokesra, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengemukakan hal yang amat cerdas nan menggigit.
KPK, tutur Adnan, memiliki harapan besar agar Kantor Urusan Agama (KUA) ikut berpartisipasi dalam menyiarkan nilai-nilai integritas kepada pasangan calon pengantin. Dengan begitu, makaakan lahirlah keluarga-keluarga baru yang berintegritas melalui tangan-tangan KUA.
“KPK berharap nantinya, keluarga yang menikah itu, keluarga baru, kita berharap akan muncul keluarga-keluarga berintegritas. Kita harapkan KUA bisa menyiarkan nilai-nilai KPK sehingga muncul keluarga berintegritas melalui tangan-tangan KUA,” kata Adnan.
Ya benar sekali. Baiknya Menag mengamini harapan hebat KPK tersebut. Kalau saja segera direalisasi, tentunya membutuhkan perencanaan yang khusus dalam proses aplikasinya. Kalau hanya berupa slogan dan kalimat mutiara, jelas hasilnya adalah angin yang hambar. Menerpa kemudian hilang dari ingatan. Lebih-lebih, jika yang menyampaikan juga hanya berangkat dari menghapal dari bahan bacaan, yang juga dibaca hanya pada saat pernikahan bakal dilangsungkan.
[caption id="attachment_323895" align="alignnone" width="280" caption="www.cakechooser.com "][/caption]
Salam air mata kebahagiaan ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H