Mendekati hari wafatnya Gus Dur, saya banyak termenung dan baca-baca ulang buku dan pemikirannya. Betapa beliau sungguh-sungguh tokoh luar biasa. Tiba-tiba di dalam sunyi dan diam, di kepala muncul desingan kata-kata, “Inilah yang sesungguh-sungguhnya syirik yang sejati,”. Saya terpana. Dan bahagia. Lalu teringatlah Kompasiana yang lama tak saya sambangi. Inilah isinya ...
[caption id="attachment_387081" align="aligncenter" width="350" caption="harianterbit.com"][/caption]
Kehidupan dibagi dalam empat tahapan, yaitu mereka, kemudian muncullah aku, kamu, dia dan kembali lagi pada prinsip pertama, yaitu mereka. Puncaknya adalah tahapan, kita semua.
Ketika manusia lahir, ia tak menyadari posisi dirinya. Yang ia sadari bahwa ada kumpulan orang-orang di sekitarnya. Karenanya, ia hanya melirik, menangis atau tertawa.
Setelah mengenali adanya diri yang disebut mereka, kemudian ia merasakan aspek dirinya di tengah orang-orang banyak. Saat itulah, ia berkata inilah `aku`. Apa saja yang berada di sekitarnya, maka ia sebut `aku`. "Ini aku, ini ayah dan ibuku, dan benda ini adalah milikku".
Setelah itu, muncullah kesadaran bahwa selain aku, ternyata ada juga pihak lain, yaitu `kamu`. Ternyata juga tak semua hal adalah miliknya, tetapi beberapa hal adalah milikmu. "Itu juga ayah dan ibumu. Benda ini bukan punyaku, tetapi punyamu,". Maka, belajar memetakan bagian kepemilikan. Mana milikku. Mana milikmu.
Selanjutnya, ia lagi-lagi menyadari. Masih ada pihak lain, yaitu si dia. Ternyata selain ada benda milikku, dan milikmu, juga ada benda-benda yang bukan milikku dan milikmu, tetapi milik dia. Karenanya, ia kembali memilah dan memilih barang-barang kepemilikan.
Ternyata itu semua masih belum selesai. Selain ada milikku, milikmu, juga milik dia, ada juga yang bukan, yaitu beberapa bagian ada juga yang milik mereka. Dari sini, ia makin menyadari tak setiap benda milik orang-orang terdekatnya, tetapi ada juga miliki orang-orang yang mungkin jauh posisi darinya.
Ketika ia menganggap setiap benda masing-masing punya pemiliknya tersendiri, lagi-lagi ia masih keliru. Ternyata ada juga benda yang bukan milikku, milikmu, miliknya dan milik mereka. Tetapi adalah miliki semuanya. Di sini ia mulai mengenal adanya kebersamaan, yaitu kita semua.
Meskipun begitu, hal itu masih saja keliru. Sebab semua hal di kehidupan ini, masih bisa hilang meski jelas-jelas itu milikku, milikmu, miliknya, milik mereka dan milik kita semua.
Barulah ia menyadari bahwa semua kepemilikan itu hanya pinjaman. Hanya titipan dari zat yang menyela dalam pikirannya dan kadang berbisik dalam hatinya dan berkata, "Ini semua kepunyaan-Ku!".