Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anas, Johan Budi, dan Menteri Luar Negeri ...

11 Januari 2014   12:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:56 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anas memang alot. Kalimat-kalimatnya bak mesiu yang bisa meledak hebat sewaktu-waktu tanpa bisa ditebak kapan waktunya. Membuat lawan-lawannya sibuk mencari alat penjinak yang mampu meredam efek berbahayanya.

[caption id="attachment_315146" align="alignnone" width="400" caption="doc | www.rimanews.com"][/caption]

Terus-terang, mengamati barisan kalimat Anas sampai saat ini saya hanya bengong bertubi-tubi. Saya benar-benar tak paham sama sekali dengan setiap apa yang dilontarkannya. Lebih-lebih ketika menyimak efek kalimatnya yang mampu membikin suasana jadi hening. Membuat semua orang bertanya-tanya, apa misteri di balik susunan ucapan yang ia sodorkan kepada media.

Terlepas dari kasus yang membelitnya, walaupun saya tak mengerti apa yang tengah diucapkannya, namun sanggup menarik minta cukup besar para kuli berita, tiba-tiba saya merasa dapat menikmati sensasi bahasa komunikasi Anas yang sarat misteri. Hemat saya, Anas memiliki keunggulan atau talenta di bidang penguasaan bahasa dan komunikasi yang kompleks.

Di arah berbeda, sosok lain yang tak kalah kuat keunggulan berbahasa dan berkomunikasinya adalah Juru Bicara Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Johan Budi. Baru kali ini saya merasakan sensasi seorang Jubir yang benar-benar total memiliki kedalaman dan kemampuan dalam menerapkan posisinya sebagai Juru Bicara. Johan mampu menempatkan dirinya sebagai diri pribadi, dan dirinya sebagai sosok Jubir KPK yang berkarakter.

[caption id="attachment_315147" align="alignnone" width="465" caption="doc | www.republika.co.id"]

13894166081788338925
13894166081788338925
[/caption]

Johan selalu berhasil keluar dengan tangkas dari setiap jerat pertanyaan awak media yang kerapkali menohok, tajam dan mendetail dalam menggali berita-berita paling aktual. Seorang Johan nyatanya tetap kalem, santai, dan tetap fokus pada tema penting yang perlu dan tidak perlu ia informasikan ke publik. Ia mampu meredam pertanyaan riskan yang memerlukan jawaban, tetapi jawaban tersebut sebenarnya bersifat sama riskannya jika diberikan.

Johan mampu memetakan masalah, dan selalu siap memberikan informasi yang memuaskan, tanpa harus mengeluarkan semua informasi. Ia mampu mendistibusikan informasi secukupnya, tanpa harus melebar ke mana-mana.

Secara posisi antara Anas dan Johan memang berbeda, tetapi sebenarnya keduanya memiliki kesamaan bakat yang hebat, yaitu kemampuan melakukan diplomasi tingkat atas. Kemampuan dan kesabaran diri dalam mengelola situasi. Mereka telaten dalam urusan menahan diri dan tidak terpancing oleh medan situasi yang terdesak, rumit dan berat sekali pun.

Saya membayangkan andaikata dua sosok ini adalah menteri luar negeri. Pasti sedap. Kemampuan mereka menyortir informasi, mengolah dan memberi pernyataan yang tepat dan di saat yang tepat adalah modal paling diperlukan dari seorang menteri luar negeri. Lihat saja seperti Iran, Kuba, dll, mereka mampu menangkal lawan tanpa harus menggunakan senjata. Cukup dengan bermodal diplomasi yang kuat, kekuatan bahasa mereka malah mampu melawan negara-negara dengan kekuatan senjata tempur paling berkelas. Sesuatu yang dulu pernah juga dilakukan oleh Bung Karno.

Yang pasti, banyak hikmah besar bagi kita sebagai generasi muda bangsa ini dari kasus Anas dan anak-anak bangsa lainnya yang sedang bergulat dengan sangkaan korupsi, bahwa cerdas dan berprestasi saja ternyata belumlah cukup. Banyak godaan-godaan kuat yang bakal malang-melintang ketika kita sedang berada dalam puncak prestasi.

Maka di situ, kita juga memerlukan sumber pegangan lain yang perlu dirawat sejak dini. Sejak meniatkan diri terjun ke dunia politik. Mengutip Danah Marshal dalam karyanya, Spiritual Quotient, kita juga perlu belajar menemukan makna pilihan hidup yang kita tempuh. Apakah yang paling bermakna dari jalan hidup, dari visi dan cita-cita? Sekedar meraih jabatan? Materi, posisi, atau apa?

Ah, entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun