"Maafkan ayah. Jika nanti nggak tak tinggalkan warisan harta benda. Semuanya sudah ayah curahkan untuk biaya pendidikan kamu dan saudaramu yang lain. Warisan harta kelak bisa membuat kalian rebutan warisan, padahal harta habis juga nantinya tapi warisan ilmu bisa membuat kalian tahu caranya cari uang dan menjaganya agar tetap berkah," begitu kata-kata yang dulu pernah diucapkannya.
Kurasa itu sudah berlalu puluhan tahun yang lalu. Kini, kata-kata itu masih memiliki gema yang kuat. Tak lekang dalam ingatan. Apalagi setelah sekarang sudah punya anak. Semakin terasa saja betapa keramatnya itu susunan kata-kata. Sekiranya beliau meninggalkan warisan harta, entah apa yang terjadi. Yang pasti, tentu saja kami takkan pernah sekolah dan juga mengenyam pendidikan mondok di Pesantren.
Sudah pasti juga kami tak punya bekal ilmu. Ilmu dunia dan ilmu-ilmu akhirat. Bisa saja, kami bisa menghalalkan segala cara demi sebanyak-banyaknya uang. Kami tidak akan pernah belajar makna-makna dan sejatinya kehidupan. Kami mungkin tidak akan pernah belajar cara menghargai dan menghormati orang lain. Cara mensyukuri dan menikmati kesederhanaan hidup yang terkadang beratnya terasa untuk dipikul.
Engkau membuatku belajar menghargai kerja keras. Membuatku belajar merasakan nikmat kegagalan. Meyakini bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan hidup bukan soal sedikit dan banyaknya harta benda. Tetapi seberapa kita memberi sebanyak mungkin manfaat kepada sesama.
Dan ketika kami mulai punya anak-anak, kami semakin sadar. Betapa nakalnya kami dulu padamu, juga pada kekasih tercintamu yang cantik nan bersahaja itu. Ya kami benar-benar merasakan, betapa tidak mudahnya memposisikan diri sebagai sosok orang tua yang kuat menjaga keteladanannya sepanjang hari. Sepanjang waktu.
Ya mungkin engkau kini sudah lama tiada. Tetapi sungguh. Begitu kami sekarang juga sudah jadi orang tua bagi anak-anak kami, hadirmu terasa jauh lebih dekat. Lebih akrab. Dan lebih terasa betapa teladanmu itu, kini menghidupi ruang-ruang batin kami sepanjang waktu.
Setiap kali melihat kenakalan anak-anak kami, aku seakan melihat dirimu yang senyam-senyum di kursi sana. Yang berderet di beranda rumah. Membuatku urung memarahinya. Setiap kali anak-anak kami meminta uang jajan, aku seperti melihat betapa kerasnya engkau berjuang mencari nafkah. Dan aku tak pernah tahu, bahwa peluh yang membasahi sekujur bajumu itu demi kami.
Ayah. Pahlawan sejati itu sesungguhnya adalah engkau. Yang mengajari kami lebih banyak teladan ketimbang seribu nasehat yang bertubi-tubi banyaknya. Dan kurasa aku mengagumi caramu memilih sosok pendamping. Wanita cantik yang setia di belakangmu itu. Menuang hidup yang paling bermakna.
Mungkin di sana banyak sekali para pahlawan yang luar biasa dan tanpa pamrih. Tetapi tanpa kepahlawananmu di ruang keluarga, mungkin kami susah merasakan arti dan makna rasa kepahlawanan itu. Tugu Pahlawan (2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H