Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(FF150) Lelaki itu, Pahlawan yang tak Kelihatan

10 November 2015   17:16 Diperbarui: 10 November 2015   17:16 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Maafkan ayah. Jika nanti nggak tak tinggalkan warisan harta benda. Semuanya sudah ayah curahkan untuk biaya pendidikan kamu dan saudaramu yang lain. Warisan harta kelak bisa membuat kalian rebutan warisan,  padahal harta habis juga nantinya tapi warisan ilmu bisa membuat kalian tahu caranya cari uang dan menjaganya agar tetap berkah," begitu kata-kata yang dulu pernah diucapkannya.

Kurasa itu sudah berlalu puluhan tahun yang lalu. Kini, kata-kata itu masih memiliki gema yang kuat. Tak lekang dalam ingatan. Apalagi setelah sekarang sudah punya anak. Semakin terasa saja betapa keramatnya itu susunan kata-kata. Sekiranya beliau meninggalkan warisan harta, entah apa yang terjadi. Yang pasti, tentu saja kami takkan pernah sekolah dan juga mengenyam pendidikan mondok di Pesantren.

Sudah pasti juga kami tak punya bekal ilmu. Ilmu dunia dan ilmu-ilmu akhirat. Bisa saja, kami bisa menghalalkan segala cara demi sebanyak-banyaknya uang. Kami tidak akan pernah belajar makna-makna dan sejatinya kehidupan. Kami mungkin tidak akan pernah belajar cara menghargai dan menghormati orang lain. Cara mensyukuri dan menikmati kesederhanaan hidup yang terkadang beratnya terasa untuk dipikul.

Engkau membuatku belajar menghargai kerja keras. Membuatku belajar merasakan nikmat kegagalan. Meyakini bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan hidup bukan soal sedikit dan banyaknya harta benda. Tetapi seberapa kita memberi sebanyak mungkin manfaat kepada sesama.

Dan ketika kami mulai punya anak-anak, kami semakin sadar. Betapa nakalnya kami dulu padamu, juga pada kekasih tercintamu yang cantik nan bersahaja itu. Ya kami benar-benar merasakan, betapa tidak mudahnya memposisikan diri sebagai sosok orang tua yang kuat menjaga keteladanannya sepanjang hari. Sepanjang waktu.

Ya mungkin engkau kini sudah lama tiada. Tetapi sungguh. Begitu kami sekarang juga sudah jadi orang tua bagi anak-anak kami, hadirmu terasa jauh lebih dekat. Lebih akrab. Dan lebih terasa betapa teladanmu itu, kini menghidupi ruang-ruang batin kami sepanjang waktu.

Setiap kali melihat kenakalan anak-anak kami, aku seakan melihat dirimu yang senyam-senyum di kursi sana. Yang berderet di beranda rumah. Membuatku urung memarahinya. Setiap kali anak-anak kami meminta uang jajan, aku seperti melihat betapa kerasnya engkau berjuang mencari nafkah. Dan aku tak pernah tahu, bahwa peluh yang membasahi sekujur bajumu itu demi kami.

Ayah. Pahlawan sejati itu sesungguhnya adalah engkau. Yang mengajari kami lebih banyak teladan ketimbang seribu nasehat yang bertubi-tubi banyaknya. Dan kurasa aku mengagumi caramu memilih sosok pendamping. Wanita cantik yang setia di belakangmu itu. Menuang hidup yang paling bermakna.

Mungkin di sana banyak sekali para pahlawan yang luar biasa dan tanpa pamrih. Tetapi tanpa kepahlawananmu di ruang keluarga, mungkin kami susah merasakan arti dan makna rasa kepahlawanan itu. Tugu Pahlawan (2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun