Berpuluh tahun, di antara rebah doa-doa kami bergumam. Apa kabarmu anak-anak cucu? Kami sesap begitu sepat kabarmu dari tanah yang sempat ditimpa mesiu. Dan kini menjadi rumah bagi jasad-jasad kami.
Â
Demi negeri yang dahulu kami ukir dari rembesan darah. Melapisinya dari ruh yang kukuh ditelan musuh. Pun, kami tak peduli meski rubuh tubuh di tanah.  Oh sungguh, tanah ini penuh berkah. Tak terperi kami memperjuangkannya. Agar lestari dicecap anak-anak cucu hingga berabad-abad kemudian. Kami tanami tiap-tiap pekarangannya dengan sejumlah kisah. Kisah-kisah yang bisa kalian bawa ke ubun-ubun mimpi.
Â
Tetapi amboi, kisah apa gerangan yang telah kau ujar-ujarkan kini di tiap-tiap pekarangan itu? Mengapa buahnya kian pahit nan getir? Terasa hingga di liang- liang kubur kami? Bendera-bendera yang kau kibarkan itu pun, berkibar membawa kobar. Yang membakar. Mengeringkan doa-doa yang dulu kami sempuh. Lepuh. Susah kami labuh.Â
Â
Seberapa lama sebenarnya kisah-kisah kami engkau taruh sampai kemarau? Hingga seakan kembali mengisahkan cerita-cerita lama yang pernah kami halau-halau? Mungkin pancaroba menjadi celahmu.  Tetapi sudah pasti dari bintik-bintik gelapmu sendiri itu, masih tersisa cercah sinar. Menyeka lusuh dari sekian lembar yang pernah kami tinggalkan. Cecaplah kembali secuil demi secuil. Biarkan bendera yang kau pasang itu, semeriah kisah panjang yang dulu sewaktu kami berkorban untuk melekatkannya kuat di ufuk-ufuk kemerdekaan.Â
Â
Oh sungguh. Sadar dan bangunlah. Sebelum datang waktu kau pulang
tiba-tiba sudah hilang. Semua tambatan. Agustus 2015Â
Â