Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Puisiku Gentar di Pusaramu

15 Agustus 2015   19:38 Diperbarui: 15 Agustus 2015   19:38 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah berapa tahun kita merdeka? Sejauh itu apa yang kau rasakan tentang mimpi-mimpi di tanah kau dilahirkan ini? Aku tahu. Ya aku tahu.

Kau pasti sedang sibuk. Sibuk sekali. Mengurusi hidupmu. Panjang napasmu. Tersengal oleh berapa banyak sisa uang di kantongmu. Apa keberuntungan masih memberimu sedikit celah ruang. Ruang untuk sesuap nasi esok hari. Kau menunduk. Kepalamu tersudut di permukaan tanah yang tak lagi berkerikil. Tak lagi mempan oleh resapan air hujan. Tumpah ruah. Membanjiri beranda kala bandang hujan.

Ya ya. Ya aku mengerti. Aku mengerti apa yang sempat kau ragukan. Biarkan dulu ia menggelinding ke tanah. Biarkan ia lepas dahulu dari kerangkeng isi kepalamu. Biarkan dulu beberapa saat, atau beberapa waktu begitu. Agar kendali napas lega kau sela.

Sebab apa? Kau berjuang mati-matian hanya ragamu. Daya pikirmu masih. Masih terkendala di langit kesebelas. Maka turunlah engkau sebentar. Di beranda-beranda pikiranmu sendiri. Ada apa di sana?

Tanah-tanah belum kau semai. Aliran-aliran air belum kau seduh. Hembusan demi hembusan udara kau biarkan fana. Hingga bahkan napas kami tak mampu lagi kau lekati. Baka dan fana menjegalimu. Untuk menanam akar anak-anak cucumu kelak.

Tidak. Oh tidak. Sudah seberapa kau lupakan bara kami untukmu? Nyalimu tandas. Hatimu kehilangan api. Tak ada lagi kembara bambu runcing kami di belantara ingatanmu.

Diamlah beberapa jeda. Menyelami gemetar kami. Atas tanah-tanah yang katanya tak bertuan. Yang kami perjuangkan untukmu. Yang kami baka-kan urat nadi. Berisi urat napas,anak-anak cucu.

Diamlah sebentar. Mengingat sengal kami. Merekam tekad. Dan tubuh-tubuh yang kini abadi. Terbujur rapi dan beberapa tak diketahui. Demi munajat. Munajat cinta. Akan tanah. Tumpah darah.

Tempatmu mengabdi. Di bilik-bilik sunyi. Agustus 2015

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun