Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar dari Sistem Belajar PAUD di Swedia

18 Januari 2014   11:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 2366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_316604" align="alignnone" width="600" caption="doc | intisari-online.com "][/caption]

Amat menarik ketika membaca di Kompas.com, bagaimana Swedia menerapkan sistem belajar pada anak-anak usia dini. Dalam proses belajarnya, anak-anak didik benar-benar diperlakukan sebagai anak yang sesuai dengan tumbuh-kembang mereka, yaitu fase bermain.

Alasan saya tertarik mengenai sistem Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ala Swedia, karena tiga hal penting yang saya baca dari kompas.com.

Pertama, adanya pembentukan nilai-nilai moral yang kuat pada mentalitas atau kepribadian anak-anak didik, yaitu menganggap penting penanaman nilai-nilai kejujuran, kemandirian, kepercayaan diri, kerja sama, toleransi, dan menghargai orang lain. Selain itu, sejak dini anak-anak diajarkan konsep persamaan jender. Penanaman nilai-nilai moral tentu saja amat penting.

Tanpa disertai oleh kekuatan nilai moral, maka institusi pendidikan hanya akan melahirkan orang-orang pintar secara logika, namun amat lemah secara pembentukan kepribadian, menimbulkan generasi-generasi yang disebut oleh Daniel Goleman sebagai generasi yang bodoh secara emosional.

Kedua, dalam proses belajarnya, ruang kelas tak menjadi prioritas utama anak-anak didik. Di sekolah PAUD Swedia, mereka juga menerapkan sistem pembelajaran di luar kelas, seperti menelusuri hutan, mengunjungi museum, atau piknik di taman kota. Jika cuaca dingin tak begitu ekstrem, mereka bermain dengan gumpalan salju tebal yang menutupi hamparan pasir halus di playground sekolah.

Pembelajaran di luar sekolah menjadikan anak mengenali dan mencintai alam dan lingkungan sekitar di mana mereka berada, tumbuh dan dibesarkan. Pembelajaran semata teoritis di dalam kelas, hanya akan menjadi konsumi daya hapal, tetapi tidak secara kualitas pemahaman dan kesadaran.

Ketiga, selain penanaman nilai-nilai moral yang kuat, belajar di luar kelas, hal penting yang paling saya catat adalah penguatan dimensi kerekatan dan keterampilan emosionalitas anak-anak didik dengan lingkungan sosial. Ya, ini poin yang amat penting. Sebab tak sedikit orang-orang terdidik, yang malah terasing dari lingkungan sosialnya. Alih-alih memberikan inspirasi, rasa peduli atas sosial justru amat rendah. Hasil yang terjadi, lantas terbentuk kelas-kelas sosial antara kelas terbelakang dan kelas elit yang terdidik. Tentu saja, kepintaran orang terdidik tersebut tak memberikan sumbangan berarti bagi sosial di mana ia berdiam.

Bagaimana di Indonesia?

Saya belum tahu bagaimana sistem pendidikan nasional di Swedia, apakah seperti di Indonesia yang menganggap amat penting perolehan angka-angka akademis melebihi yang lainnya, seperti kualitas nilai-nilai moral, maupun kualitas kepekaan sosial.

Secara pendapat subjektif saya pribadi, saya menilai untuk sistem pendidikan di tanah air, pemerolehan angka-angka akademis masih menduduki peringkat teratas. Fenomena ini bisa terbaca dari berlomba-lombanya sekolah supaya anak-anak didik mereka meraih angka paling teratas secara akademis.

Mengutip pengamat pendidikan Prof. Daniel M Rosyid, Guru Besar ITS, Surabaya, sistem sekolah saat ini di tanah air lebih menekankan agar anak menjawab yang benar, ketimbang lebih menekankan menjawab yang jujur. Karena mementingkan menjawab yang benar demi angka terbaik, mereka lantas mengenyampingkan pentingnya menjawab yang jujur. Demi jawaban yang benar, para guru bahkan rela melakukan tindakan tidak jujur, seperti memberikan contekan.

Dalam kurikulum PAUD yang saya baca dari Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012), berikut Tujuan PAUD:

1.Kesiapan Memasuki Tingkat Lanjut

2.Mengurangi Angka Mengulang Kelas

3.Mengurangi Angka Putus Sekolah

4.Mempercepat Pencapaian Wajib Belajar SD 9 Tahun

5.Meningkat Mutu Pendidikan

6.Mengurangi Angka Buta Huruf Muda

7.Memperbaiki Derajat Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini

8.Meningkatkan Index Pembangunan Manusia

Dari kedelapan tujuan tersebut, saya melihat tujuan utama PAUD adalah dalam rangka persiapan memasuki usia sekolah lanjutan; seperti percepatan baca-tulis(poin 1, 2, 3, 4, 5 dan 6), sedangkan untuk poin 3 (Kurangi Angka Putus Sekolah), 7 (derajat kesehatan dan gizi) dan 8 (Indez Pembangunan Manusia) saya belum paham seperti apa penerapannya di lapangan, sebab belum melihat secara langsung. Belakangan ini, saya sedang tertarik terjun dalam soal cara belajar anak di usia dini. Tulisan ini adalah bagian dari cara saya meneliti dan dan menekuni lebih dalam soal pembelajaran sejak usia dini.

Tradisi Tawuran, Konvoi dan Kesurupan

Tiga fenomena di atas, diakui ataukah tidak, saat ini identik dengan kalangan pelajar hingga mahasiswa. Bagi saya, tiga fenomena tersebut bisa dijadikan indikator lemahnya penguatan nilai-nilai karekter bagi generasi pelajar di tanah air.

Tawuran jelas merupakan indikasi mudahnya kaum pelajar terpancing gejolak emosinya, dan rendahnya cara mereka mengendalikan diri. Ini jelas merupakan warning perlunya memberikan penekanan pentingnya perhatian lebih dunia pendidikan pada penanaman nilai-nilai moral.

Konvoi, biasanya disertai dengan hura-hura di jalanan. Mereka juga mencoret-coret seragam, berkendara tanpa menaati aturan berkendara, dan bahkan bisa saling singgung di jalan dengan sekolah lain sehingga riskan tawuran.

Kesurupan, fenomena satu ini bagi saya terbilang ajaib. Sebab, beberapa aneh muncul. Misalnya, para pelajar yang mengalami kesurupan massal, justru di saat mereka sedang melakukan doa bersama. Ini aneh, bagaimana mungkin setan dan jin mulai kebal doa?

Menyadari kenyataan di atas, saya menyimpulkan bahwa sistem pembelajaran kita terlalu banyak diwarnai ketegangan secara mental-psikologis, sehingga para pelajar mudah terdesak oleh tekanan. Tekanan-tekanan tersebut kemudian meledak dalam bentuk tawuran, konvoi, dan kesurupan. Fenomena ini makin menyadarkan saya tentang kebenaran penelitian Daniel Goleman dengan teori kecerdasan emosinya itu.

Kembali pada sistem PAUD ala Swedia, hal penting yang bisa diambil adalah pentingnya anak-anak sejak usia dini diperkenalkan cara belajar yang menyenangkan, proses pembelajaran yang interaktif, tak saja di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas.

Proses pembelajaran yang semata teoritis, angka-angka akademis dan terforsir di dalam kelas, pada hakikatnya telah mengerangkeng kreativitas, pengenalan nilai-nilai sosial, dan aktualisasi diri siswa itu sendiri.

Lagi-lagi saya ingat ungkapan Daniel M Rasyid, “Sekolah harusnya membuat anak nelayan semakin lihai melaut, anak petani makin mahir bertani, dan bukan malah sebaliknya,”.

[caption id="attachment_316605" align="alignnone" width="306" caption="doc | www.indormasi.com "]

13900200531065089134
13900200531065089134
[/caption]

Catatan Higienis Lain:

Cinta Tak Harus Ganteng

Perayaan-Keren Dunia: Hari Tanpa Celana, Mau?

Warning; Anak Pintar Rental Gagal!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun