Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pihak Paling Bersalah dalam Banjir Jakarta

20 Januari 2014   11:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_317054" align="alignnone" width="620" caption="tempo.co"][/caption]

Kota Jakarta memang Ibukota Negara. Harus lebih kuat dan lebih tegar dibanding kota-kota lain di tanah air. Nyatanya kota ini tampak paling rapuh oleh apapun. Termasuk rapuh oleh banjir. Pemangkunya kerap selalu angkat tangan. Siapa sebenarnya yang paling bersalah?

Memecahkan kerumitan penanganan dan alternatif banjir langganan Kota Jakarta, seharunya bukan absolut milik Jokowi-Ahok. Jakarta bukan milik mereka berdua. Jakarta sebagai Ibukota Negara adalah miliki semua orang yang merasa dirinya sebagai Warga Negara. Jokowi-Ahok hanyalah mediator yang kebetulan dipercayai atau dipasrahkan rakyat untuk memegang kepemimpinan, demi memudahkan urusan kota Jakarta.

Kembali ke kepemimpinan di masa lalu untuk menjatuhkan akar-sebab juga tak ada gunanya. Tak menyelesaikan masalah. Seratus persen menyalahkan kepemimpinan yang sekarang juga lebih sia-sia. Buang-buang energi. Banjir di depan mata, bahkan sudah menenggelamkan segala hal.

Redakan kebisingan kata-kata yang tak perlu yang malah menghabiskan terlalu banyak energi. Semua pihak perlu duduk bersama. Harus berkorban untuk meredakan segala jenis kepentingan sepihak, termasuk kepentingan politis. Ini Ibukota Negara sudah mau tenggelam, kok masih tenang-tenang saja dengan keributan yang tak penting.

Jadi siapa pihak yang paling bersalah jika demikian dalam hal ini?

Ini Dia Akar Banjir Jakarta

Menarik apa yang saya baca dari Abdul Muhari, peneliti Indonesia pada Hazard and Risk Evaluation di International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS), Tohoku University.

Dilansir kompas.com, Muhari menyatakan bahwa berdasarkan hasil observasi dan simulasi yang dilakukan Tim-nya untuk mengetahui penyebab banjir Jakarta, 17 Januari 2013, ditemukan bahwa tingginya debit air yang mencapai 180 meter kubik perhari, dan ketinggian air di Manggarai dan Karet, lebih banyak disebabkan oleh sampah. Sampah tersebut sampai menutupi tiga dari empat pintu air di Karet.

"Efek terhalangnya tiga dari empat pintu air di Karet berpotensi menyebabkan peningkatan tinggi muka air di segmen Manggarai-Karet sampai 10 meter, dari ketinggian yang seharusnya hanya enam meter jika empat pintu air tersebut bekerja sempurna," terang Muhari.

Dijelaskan Muhari, di tahun 2013, debit air di Kanal Banjir Barat, khususnya Manggarai dan Karet, sangat tinggi dibanding hujan pada tahun-tahun sebelumnya. Fenomena tersebut bagi Muhari adalah mengherankan, perlu dipertanyakan. Sebab, curah hujan di Katulampa pada hari sebelum banjir Januari 2013 hanya 107 mm, jauh lebih rendah dibanding curah hujan saat banjir 2007 yang mencapai 409 mm.

Maka, lanjut Muhari, andaikata sampah tak menutupi tiga dari empat pintu air di Karet, ketinggian air takkan lebih dari enam meter. "Berarti, meskipun tanggul Latuharhary mengalami local subsidence sampai satu meter, banjir besar di kawasan Sudirman-Thamrin Bulan Januari 2013 tidak akan pernah terjadi!" tegasnya.

Hal lainnya, Muhari juga menyebutkan bahwa amblesnya secara mendadak tanggul, seperti di depan Pintu Air Karet, menjadi indikasi adanya ketidakberesan dengan konstruksi tanggul secara keseluruhan. Karena itu, jelas Muhari, pemeliharaan tanggul secara berkala sangat penting, tak terkecuali tanggul-tanggul kecil. Maka, baginya amat tepat langkah normalisasi sungai dan waduk dan relokasi permukiman yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Meski demikian, langkah tersebut belumlah cukup. Langkah lain yang sama pentingnya adalah dukungan dari berbagai pihak.

"Upaya normalisasi sungai dan waduk hanya akan memberi hasil maksimal dan berkelanjutan jika ditunjang oleh perbaikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang berujung pada perubahan perilaku," katanya.

Jadi, siapa pihak yang paling bersalah jika demikian dalam hal ini? Menurut saya, jelas pihak yang paling bersalah adalah yang pihak yang enggan bersatu padu mengatasi banjir, termasuk untuk meninggalkan tradisi tahunan, yaitu kebiasaan untuk saling menuding satu sama lain.

Sudah saatnya kambing hitam dimasukkan kandangnya. Karena kandang lebih tepat baginya, jika dibiarkan di jalanan bisa menyebabkan macet. Kasihan tukang becak. Jaya Indonesiaku.

[caption id="attachment_317055" align="aligncenter" width="500" caption="akuhebat.com "]

13901931121815728229
13901931121815728229
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun