Mohon tunggu...
Tamam Malaka
Tamam Malaka Mohon Tunggu... social worker -

pejalan yang menyukai sunyi tetapi pun menyenangi keramaian alam pikir umat manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beginilah Jika Bonek Jadi Walikota ...

24 Maret 2014   16:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:33 2098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_328112" align="alignnone" width="560" caption="doc.pribadi"][/caption]

Ada kesan aneh dan janggal, saat saya menghadiri acara modis bareng Risma yang digelar Kompasiana, Sabtu, 22/03/2014 lalu di gedung Kompas, Jl. Jemursari. Suasananya terlalu biasa. kalo tak mau dibilang terlalu berisik. Sebagai sosok walikota, Risma tampak sangat biasa-biasa saja. Tak ada sesuatu yang amat istimewa sebagaimana sosok elit pejabat yang seharusnya.

Kami menunggu cukup lama dari jadwal yang sudah ditentukan. Risma tak jua menampakkan diri meski jam sudah memaparkan waktu yang amat lama. Saya mulai merasakan tanda-tanda sebagaimana umumnya para pejabat yang lama ditunggu tak muncul-muncul, Risma pasti urung datang! Ya, itu wajarlah. Seorang pejabat pemerintahan, apalagi selevel Walikota, pastilah berjibun kegiatannya. Ya mestinya satu jadwal terlampaui, pasti sudah ditunggu jadwal-jadwal lain yang sama penting prioritasnya. Saya menyiapkan diri untuk ditelan kekecewaan atas ketidakhadirannya ini.

“Kalo saya lebih senang menulis Cerpen. Teman-teman sekampus juga jadi Kompasianer. Kami merencanakan tulisan-tulisan kami dibentuk semacam buku. Sekarang sudah ada kok yang kami buat jadi buku bersama,” kata Kompasianer yang sejak jam-jam pertama menjadi teman ngobrol saya. Dia mengaku Kompasianer asal Sidoarjo. Saya tak hapal namanya. Maklum urusan mengingat saya paling kurang bejo. Lupa melulu. Termasuk para Kompasianer hari itu yang ngobrol dengan saya.

“Kosong?” seseorang membuyarkan obrolan kami. Lelaki setengah baya muncul di belakang. Kami langsung membersihkan kursi di tengah kami yang kosong dan kami isi dengan kue dari panitia. Kakinya basah kuyup. “Meski sudah pake jas hujan, celana masih saja kena basah hujan. Saya pikir tadi pasti telat, eh kok masih aman-aman saja. Bu Risma belum muncul ya?” katanya tanpa berkenalan. Padahal kami belum pernah bertemu, apalagi saling berkenalan. Tapi dia santai saja membuka obrolan. Nyelonong nih orang, batin saya (ha ha ha).

“Loh hujan to mas? Deraskah?” tanya saya. Lelaki ini kemudian tertawa. “Nggak semata hujan mas. Derasnya amat sekali. Jalan-jalan jadi macet. Saya jadi cari jalan dalam. Bu Risma mestinya juga kejebak hujan,” jawabnya. Saya membuang napas lega. Salah kiranya prasangka saya. Rupanya sedang hujan, ya pantes saja jika Risma terlambat.

“Kosong ya??” lagi-lagi terdengar pertanyaan. Kali ini di sebelah kanan saya. Seorang lelaki muda membungkuk. Kompasianer perempuan yang juga saya belum saya kenal via Kompasiana mempersilakan ia duduk. Tetapi Kompasianer satu ini langsung tekun dengan konsentrasinya sendiri. Kami tak saling sapa. Bukan saya tak ingin menyapanya, saya sendiri sedang terlibat obrolan kencang dengan dua Kompasianer di depan saya. Sesekali obrolan dua Kompasianer ini terlihat segar dan sesekali tampak seperti sedang bertengkar. Saking serunya yang dipercakapkan.

[caption id="attachment_328114" align="alignnone" width="480" caption="dua kompasianer adu otot pikiran | doc. pribadi"]

13956272412139484813
13956272412139484813
[/caption]

[caption id="attachment_328115" align="alignnone" width="480" caption="menulis diary mbak? | doc.pribadi"]

1395627413664547488
1395627413664547488
[/caption]

Percakapan kami sejenak terhenti, ketika para Kompasianer di depan sama-sama melongokkan kepalanya ke belakang. Kami jadi ikut-ikutan melongok ke arah yang sama. Tampak kerumunan orang di pintu masuk. Kerumunan itu lantas buru-buru disambut para Kompasianer untuk sekedar bersalaman. Sosok paling ditunggu ternyata telah datang.

Begini Ini Jika Bonek Jadi Walikota ...

Sejak awal sampai akhir memang saya merasakan suasana yang aneh dan janggal. Ketika Risma datang pun demikian, sampai ketika dia mulai tampil berbicara, hingga tiba kesempatan para Kompasianer untuk interaktif dalam pertanyaan, keganjilan makin saja kentara.

Risma muncul dengan kondisi sangat biasa, tak sebagaimana umumnya pejabat tinggi muncul di sebuah forum. Di mana mestinya bakal muncul pula suasana penuh wibawa, rasa segan untuk mendekat karena dikepung pengawalan, dan rasa enggan bertanya leluasa karena harus mempertimbangkan sopan santun dan etika yang kuat, sebagaimana berhadapan dengan seorang pejabat.

Dandanannya Risma juga amat standar, barangkali melihat dan berkomunikasi dengan Risma, layaknya sedang berkomunikasi dengan sahabat, atau saudara perempuan kita sendiri. Atau bahkan juga kita seolah sedang berkomunikasi dengan seorang ibu. Rasa-rasanya, memang tak ada jarak yang membatasi.

Selesai memaparkan programnya, Risma pun menerima berbagai pertanyaan dari para Kompasianer. Banyak yang ditanyakan, namun saya paling berkesan ketika suasana agak berisik dan tegang ketika seorang Kompasianer yang mengaku Bonek tampil dengan pertanyaan menggugat Risma akan keberpihakannya kepada Persebaya. Baginya, Risma sama sekalitidak jelas berpihak kepada yang mana. Malah seakan Risma mengenyampingkan Persebaya yang asli dan telah lama berdiri. Saya tak begitu paham soal persebakbolaan, jadi tak bisa terlalu banyak mengupasnya. Saya tulis sebagaimana ingatan dan catatan kecil saya waktu itu, karena saya tak membawa alat perekam.

Jawaban Risma mengejutkan. Cara berbicara Risma yang sejak awal kalem-kalem saja, tahu-tahu berubah sangar dan keras. Baru kali ini saya merasakan aura keras Risma yang selama ini banyak dibicarakan publik. Oh, begini rupanya sosok Risma yang sangar dibicarakan orang itu, batin saya.

“Lhoh, saya tidak berpihak bagaimana?! Apa kalian tidak ingat apa yang perbuat selama ini untuk kalian? Mengurus ke sana ke mari ketika ada dipenjara dan ada peristiwa-peristiwa lainnya?! Masak saya dianggap mengenyampingkan kalian?? Yang benar saja loh!” kata Risma tangkas. Saya kaget ketika Kompasianer balik menyahut dari posisi duduknya, “Ya tapi kan Ibu harus jelas keberpihakannya!”

Risma tak kalah garang. “Berpihak sama yang mana?? Lha ya gimana, kalian semua itu anak-anak saya. Ya harus saya bela semuanya dong. Saya kan harus adil sama anak-anak saya. Semua harus saya perlakukan sebaik-baiknya. Saya tak bisa membela salah satu di antaranya. Wong semua anak-anak Surabaya. Kalian itu satu saudara sebangsa. Mereka adalah potensi dan prestasi Kota Surabaya!”

Kompasianer Bonek masih tak mau kalah. Dia mengusulkan kenapa Risma tidak melakukan sesuatu untuk mendudukkan persepakbolaan tersebut. Jawaban Risma, soal perselisihan dunia persepakbola bukanlah kewenangannya. Sebagai walikota, posisinya hanyalah berusaha mendudukkan diri sebagai sosok Ibu bagi anak-anaknya (bonek) yang sebagaimana mestinya. Bagaimana caranya, sehingga kedua pihak sama-sama berprestasi. Ia sendiri tak memiliki kapasitas untuk memaksa PSSI. Kapasitas dan perannya adalah bagaimana ia harus menyatukan energi potensi dan prestasi anak-anaknya ke pentas tertinggi.

[caption id="attachment_328116" align="alignnone" width="400" caption="sorotan kompasianer | doc. pribadi"]

1395627769918997784
1395627769918997784
[/caption]

Penasaran dengan kegarangan Risma, saya terpaksa berdiri karena duduk paling belakang, sembari melirik Kompasianer. Ajaib, ternyata meski garang dan sangar suasananya tetap gayeng. Beberapa kali jawaban Risma dan sahutan Kompasianer memancing tawa. Ya saya pikir inilah ciri khas komunikasi khas Jawa Timuran, termasuk Surabaya. Surabaya sebagai bagian wilayah Majapahit, memiliki ciri khas sikap tanpa basa-basi. Langsung kepada inti pemecahan persoalan. Ketegasan menyatu dengan kegamblangannya dalam berkomunikasi. Tentunya, cara sikap tersebut antar daerah di tanah air memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri.

Percakapan antara Walikota dan anak-anak muda ini bagi saya mencerminkan egaliterisme yang kuat. Di mana benar-benar menampilkan wajah komunikasi tanpa jarak dan tanpa lika-liku birokasi (ewuh-pakewuh) etika yang berbelit. Yang justru menyulitkan untuk menyamakan energi kesepahaman satu sama lain. Dari sini, saya melihat betapa pentingnya pemimpin yang terbuka dan siap membuka diri pada rakyat, terutama kalangan mudanya.

Pertanyaan lain adalah keheranan Kompasianer asal Malang, mengapa dana Pemkot Surabaya tidak jebol dengan menggratiskan banyak fasilitas publik, seperti fasilitas pendidikan. Jawaban Risma simpel, bahwa pendanaan pasti mencukupi asalkan celah korupsi bisa ketat ditutupi.

Risma memang Bonek yang jadi Walikota. Berani mendobrak apa yang sekiranya perlu didobrak. Di akhir acara, ketika didaulat moderator memberikan pesan-pesan, Walikota menyampaikan beberapa baris pesan membuat bulu kuduk merinding. Saya pikir bakal berikan pesan-pesan normatif, nyatanya pesan kebangsaan. Risma sepertinya menyoroti kondisi anak-anak muda bangsa yang kerap saling berebut ego, dan meluas terhadap gejolak sikap kepemimpinan, intrik dunia politik, dan energi membangun bangsa yang lantas terabaikan. Intinya seperti ini yang sempat terekam dalam catatan kecil saya:

Kita ini adalah bangsa yang besar. Kita memiliki semuanya. Semua kebutuhan yang harus dimiliki sebuah bangsa. Kita harus belajar mengelola ego, ego yang pengen menang, ego pengan menonjol sendirian, ego yang ingin kalahkan semuanya.

Sungguh, bangsa ini dibangun dengan proses yang amat panjang oleh perjuangan para pahlawan kita, yang sampai berdarah-darah. Kita harus mampu mengatur ego ingin kalahkan semuanya. Mari kita curahkan ego kita demi bangsa agar kembali sejajar dan setara dengan bangsa-bangsa yang lain di dunia. Biar dihargai dan tidak lagi diolok-olok oleh bangsa-bangsa yang lain..”

Satu lagi yang amat berkesan bagi saya di acara ini, adalah upaya Risma melakukan Rekonsiliasi anak-anak bangsa sesuai yang menjadi wilayah Risma, yaitu bukan hanya soal pertentangan antar-anak-anak muda di Surabaya yang terbelah, tetapi sekaligus juga kaitannya secara umum dengan anak-anak Malang vs Bonek yang sama-sama pecinta berat dunia sepak bola, dan anak-anak bangsa pada umumnya.

Ia amat berharap mereka saling berangkulan dan satu energi mengarahkan seluruh energinya untuk bangsa. Sebab, jelas Risma, kekuatan bangsa terletak pada kekuatan anak-anak mudanya. Mereka yang nantinya meneruskan kepemimpinan bangsa yang besar ini. Sebab, jelas Risma, bagaimana bisa membangun bangsa, jika energinya sudah lebih banyak terkuras dan terbuang percuma untuk gontok-gontokan dengan sesama anak-anak bangsa. “Bagaimana kemudian kita menghadapi ancaman dari luar sana?" tegasnya.

Sebenarnya masih banyak topik lain yang dibahas, hanya saja, saya yakin sudah diulas kawan-kawan yang lain.

[caption id="attachment_328118" align="alignnone" width="480" caption="kir-jaksel.blogspot.com"]

1395627997879845127
1395627997879845127
[/caption]

Salam Kobar Semangat Kebangsaan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun