Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang berkembang begitu cepat membawa perubahan pada banyak hal dalam kehidupan sosial. Salah satunya dalam mendorong gerakan sosial, termasuk misalnya, gerakan “perlawanan”. Hastag atau tanda pagar (#) menjadi alternatif yang cukup efektif untuk menyebar gagasan lewat sosial media.
Di era internet, lebih-lebih setelah hadirnya sosial media (sosmed), membangun suatu gerakan sosial menjadi lebih mudah, bahkan bisa berbiaya murah. Bandingkan dengan cara-cara konvensional seperti pertemuan langsung, pemasangan pamflet dan spanduk di tempat umum, dan sebagainya yang membutuhkan biaya cukup besar. Di era sosmed, kendati cara-cara tersebut masih diperlukan tapi setidaknya bisa dikurangi. Penggagas gerakan cukup “bergerilya” lewat sosial media dengan bermodal hashtag, biayanya terjangkau dan penyebarannya lebih massif.
Hashtag adalah posting pada layanan sosial media seperti Twitter, Google+, identi.ca, dan facebook, yang bisa ditandai dengan memasukkan satu atau beberapa tag yang diawali dengan tanda hash (#).Kata yang ditandai ini akan muncul dalam halaman hasil pencarian dan juga digunakan sebagai kata dalam trending topic.
Sejumlah gerakan sosial, tercatat sukses memanfaatkan sosial media. Sebut saja misalnya, gerakan koin Prita dalam kasus pemidanaan Prita Mulyasari pada akhir 2011. Prita didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni Internasional lewat email yang disebarakannya. Dia dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Lalu ada pula perlawanan terhadap upaya kriminalisasi dua anggota KPK Bibit-Chandra. Gerakan sosial ini sempat menguat dan menjadi tranding topic di media sosial, di mana akhirnya keduanya dibebaskan.
Tidak hanya di Indonesia, di Amerika Serikat, pada tahun 2011 pernah muncul gerakan Anti Wall-Street yang tersebar hanya dalam waktu kurang dari tiga minggu. Gerakan ini diluncurkan di Twitter pada 13 Juli 2011 dengan hashtag #OccuppyWallStreet. Bahkan gerakan ini kemudian dimobilisasi ke seluruh penjuru dunia sehingga demonstrasi besar pun hampir terjadi di seluruh dunia ketika itu.
Fenomena keberhasilan lain misalnya dari dunia politik. Sebut saja, Fahira Idris, pengusaha parcel yang juga aktivis twitter. Dia berhasil lolos ke Senayan sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Periode 2014-2019 dari DKI Jakarta. Fahira terbilang aktif di media sosial, salah satunya Twitter. Putri politisi Golkar Fahmi Idris ini sejak 2008 aktif mengampanyekan perlawanan terhadap minuman keras (Miras) yang masih diperjual-belikan secara bebas. Dia menggunakan hashtag #AntiMiras dan membentuk Gerakan Anti Miras (Genam) di sejumlah daerah.
Meski keberhasilan Fahira ke kursi Senayan didukung oleh banyak faktor, tapi tak dimungkiri bahwa aktivitas pemilik 150 ribu follower twitter ini di media sosial, ikut mendongkrak suaranya. Fahira Idris mendulang setengah juta suara dari warga Jakarta. Banyak orang hanya mengenal Fahira Idris lewat media sosial karena hashtag #AntiMirasnya.
Hashtag #MenolakGaptek
Djalaludin Pane Fondation (DPF), sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan booming sosial media di era internet ini. Lebih-lebih, lembaga ini konsen pula dengan program-program edukasi berbasis TIK kepada masyarakat. Hashtag #MenolakGaptek pun diluncurkan lewat akun twitter @terdidikTIK.
Mengawali gerakan tersebut, pada Minggu (25/5) yang lalu DPF mengajak sekelompok anak muda yang diidentifikasi sebagai para agen terdidikTIK untuk bagi-bagi stiker di jalur Car Free Day. Mereka juga mengenakan seragam serta membawa spanduk yang menyerukan ajakan kepada publik agar terdidik TIK dan menolak gaptek.
[caption id="attachment_309680" align="aligncenter" width="448" caption="Agen terdidik TIK gerilya stiker di jalur CFD Jakarta, 25/5/2014"]
Pada stiker yang mereka bagikan terdapat kode QR yang apabila di-scan dengan aplikasi QR di smartphone, pengguna langsung diarahkan ke akun facebook dan twitter gerakan terdidik TIK ini.
Menurut Executive Director DPF, Hendra Yudha, gerakan sosial ini berangkat dari keprihatinan terkait maraknya penyalahagunaan TIK akhir-akhir ini. Menurut dia, tujuan gerakan ini mendorong masyarakat agar sadar tentang pentingnya penggunaan dan pemenfaatan TIK secara produktif dan edukatif.
Sementara itu, Bily Fannan, penggagas sekaligus koordinator gerakan ini menyatakan bahwa orang Indonesia pada dasarnya senang dengan aktivitas kumpul-kumpul, gotong-royong, dan kebersamaan. “Oleh karena itu, gerakan sosial ini kita awali dengan gowes rame-rame, kegiatan yang fun, dan bisa terlibat langsung dengan publik,” kata dia.
Bily menambahkan, kegiatan tersebut hanya permulaan dan sifatnya masih kecil-kecilan. Sebab gerakan sosial #MenolakGaptek dan #terdidikTIK ini masih akan terus digalakkan lewat sosialisasi di sosial media, yaitu lewat twitter @terdidikTIK atau fanpage Facebook /terdidikTIK.
Pada akhirnya, internet dan sosial media jangan sekadar digunakan untuk kepentingan hiburan semata, namun mestinya digunakan untuk melakukan “perlawanan” terhadap kondisi sosial yang semula tidak baik agar menjadi lebih baik tanpa harus menunggu bantuan atau kebijakan dari pemerintah. Hashtag kini seolah telah menjadi gerakan sosial baru yang memberi ruang kepada siapa pun untuk melakukan perubahan dan “perlawanan” sosial. (imam tamaim)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H