Mohon tunggu...
Tee Talope Rapusti
Tee Talope Rapusti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

A passionate woman in the creative arts. A woman who leads first with her heart and then her head. An attractive woman. Love for one's mate and sense of protectiveness for friends and loved ones. A loyal woman on your side.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Telusur (Malam) Sejarah Kota Serang

23 Juli 2011   22:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:26 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Tapi manusia bukan cetakan tunggal mumi adam diatas bumi, yang ditaruh dalam gelas, tanpa sejarah, tanpa keterlanjutan kebudayaan."(Goenawan Mohammad-Catatan Pinggir 2)

Malam ini saya mengawali perjalanan dari terminal Pakupatan yang tidak begitu jauh dari tempat bermukim saya. Saya sengaja tidak mengambil jalan yang biasa di lalui bila berjalan kaki, dan memilik langsung menelusuri jalan setapak ke terminal. Ini bukan tanpa sebab, bukan karena saya ingin cepat naik angkutan umum juga, tapi karena saya ingin tahu bagaimana keadaan terminal saat malam hari. Yah, meski tampak seperti biasa, kumuh, dan banyak jalan berlobang pun air yang menggenanginya. Selain itu, sampah juga banyak. Halah, ini sih sudah pasti ada.

Dengan kamera handycam Sony (harusnya merekam, saya mempergunakannya untuk memotret, hehe), saya pun memotret plang gerbang (halah, apa sih namanya? gapura?) terminal. Lalu meneruskan perjalanan ke kampus saya, yang juga dekat dengan terminal (UPT, Universitas Pinggir Terminal, kami menyebutnya), Untirta. Nggak aneh sih kampus malam hari, karena saya sering menghabiskan malam di sana, haha.. Perjalanan pun dilanjutkan menuju ke daerah Pasar Royal. Niat awal saya melakukan perjalanan ini yakni melihat-lihat masih adakah bangunan tua berplang "cagar budaya" di daerah Royal, dan alun-alun?

Yakz, angkot saya hentikan di kawasan Taman Sari. Di sana ada tugu perjuangan rakyat Banten, dan saya pun langsung masuk. Sekedar info, dahulu di daerah ini dipercaya banyak manusia jadi-jadiannya, alias banci, dan penjaja sek komersilnya. Saya pun baru saat ini memberanikan diri ke daerah ini dikarenakan tempatnya menarik, dan juga... Hey! Sekarang ada tempat makannya juga! Konsepnya seperti food court gitu, atau gaya kafe-lah... Banyak orang-orang yang berkunjung ke sana, juga anak-anak kecil yang berlarian di sekitar tugu itu. Saya hanya memotret sebentar, dan tidak makan di sana meski perut saya teriak: MAKAN DONG! Ah! Kantong saya tidak begitu tebal, mending saya makan mie saja di kostan. Halah...

Setelah keluar, hal pertama yang saya cari di daerah Pasar Royal adalah bangunan bekas bioskop merdeka (kalau tidak salah itu namanya), tapi..... JRENG! Alhamdulillah saya tidak menemukannya. Daerah Royal sudah berganti rupa semuanya. Dan mungkin saja dalam pikiran saya, bekas bioskop tahun jadul dan termasuk bangunan cagar budaya itu nasibnya sama, menjadi milik pribadi dan diperjualbelikan. Jadilah bangunan baru, toko atau ruko. Healah, mbok ya, pemerintah kota itu seharusnya menjaga bangunan-bangunan seperti ini... Bangunan peninggalan Belanda, dan bernilai sejarah. Saya memaki-maki dalam hati, dan tentu yang mendengar hanya perut saya yang berbunyi: KRIUK... KUK, KUK, MAKAN, KUK.. (oke, itu lebay)

Saya terus berjalan menuju ke jalan Diponegoro, sekali lagi perut saya teriak melihat plang MARTABAK ASSEN. (healah, sudah berapa tahun saya tidak memakannya? Hah, nanti saja). Mata saya agak berbinar melihat bangunan di areal kantor bupati, bangunannya masih khas indies(kolonial) meski ada pemugaran di sana-sini, tapi sepertinya tidak merubah bentuk aslinya. Walaupun, saya tidak tahu bangunan baru yang bentuknya modern itu dulunya bangunan apa, tapi itu sedikit mengganggu pemandangan sejarah saya. (Wew)

Saya memotretnya, juga kantor gubernur yang hanya tampak pagar luarnya saja. (Malem cuy, kameranya nggak begitu bagus untuk memotret isinya). Berlanjut ke depan Mardiyuana, (SD, apa SMP?), gedung Joang (eh, gitu nulisnya ya?), klinik TNI, Hotel Mahadriya (katanya sih, dulunya ini rumah dokter jaman Belanda, kenapa jadi hotel?), dan berakhir di Mall Serang (kalau tidak salah, dulunya ini adalah markas Makodim 0602, dan kalau di runtut ke dalam sejarahnya, di sanalah saksi bisu perjuangan pejuang Serang berada, tapi yang anehnya, kenapa malah jadi mall? Begog pisan, bukan?).

Menurut pikiran sotoy saya, bukankah dana pemeliharaan cagar budaya itu ada? Lalu kenapa malah tidak dipergunakan untuk merawatnya? Kalau saya jadi seperti bapak-bapak atau ibu-ibu di kursi sana, saya pasti akan mati-matian mempertahankan tempat-tempat bersejarah itu. TIDAK DIROMBAK, apalagi DIGUSUR. Terus kalau Dinas Tata Ruang Kota beralasan nggak bagus, karena ini untuk memperindah Kota. Saya akan jawab, makan tuh indah, kalau anak cucu nggak tahu tempat-tempat nenek moyangnya mempertahankan Banten khususnya Serang, buat apa? Saya hanya mencintai sejarah, termasuk sejarah Serang, itu saja. Saya juga tidak mau menjadi anak muda yang melupakan sejarah, dan tempat-tempat atau bangunan-bangunan bersejarah itu bisa menjadi basis utama untuk mengingatkan saya, juga anak-anak muda lainnya. Saya sebal mendengar rengekan para orang tua yang bekerja dan yang mendiami gedung yang sudah tua, dan ingin merombaknya menjadi gedung mewah. Orang tua yang tidak tahu diri, saya memakinya. Kenapa tidak menambahkan cat saja, dan jangan memugar dari bentuk aslinya? Itu kan lebih ekonomis, dan juga lebih berperasaan. Uangnya untuk perbaikan jalan yang sudah sedemikian memalukan, atau untuk pemugaran terminal misalnya? Jangan karena mendiami gedung tua, lalu memugarnya, maka bangunan yang termasuk cagar budaya itu hilang. Ini bikin miris. Ingatlah kata Paman Karno (caelah, maksud saya Bung Karno): “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.” (Pidato HUT Proklamasi 1966, Soekarno)

Alhasil, perjalanan saya malam ini tidak bisa menemukan plang "cagar budaya". (Haelah, itu plang pada ke mana ya? Digigit tikus, apa digondol maling? Apa karena perjalanan ini malam hari? Baik, besok pagi saya ke sana lagi! *penasaran*). Dan perjalalanan wisata malam bertitel sejarah ini pun jadi tidak masuk akal, alias nihil, juga perut yang hingga saya menulis cerita ini masih berdemo: "MAKAN! MAKAN! MARTABAK ASSEN!" (halah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun